Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) kawasan smelter nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, terutama pada ekosistem laut. Masyarakat adat yang selama berabad-abad bergantung pada sumber daya laut, kini menghadapi ancaman besar terhadap kelangsungan hidup dan budaya mereka.
KARTINI NAINGGOLAN – WARTAWAN MERCUSUAR
Selama 20 tahun, Fanisa (50) yang menjadi bagian dari masyarakat suku Bajo meninggalkan tanah kelahirannya di Pulau Salabangka, Morowali, dan berpindah ke Bahodopi dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik. Keluarga Fanisa adalah satu dari ratusan keluarga suku Bajo yang bermukim di pesisir Dusun Kurisa Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi.
Sebagai orang Bajo yang dikenal sebagai “orang laut,” Fanisa dan keluarganya sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Hasil tangkapan mereka dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ikan yang ditangkap biasanya dijual hingga ke kabupaten tetangga, seperti Morowali Utara, bahkan sampai ke Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari hasil melaut, Fanisa dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga, membangun rumah, dan menyekolahkan anak-anaknya.
Setelah kurang lebih 12 tahun, kemapanan hidup Fanisa bersama ratusan KK warga dan suku bajo lain di kecamatan Bahodopi mulai terusik, ketika masuknya perusahaan nikel milik PT IMIP.
Sejak tahun 2016, ketika PT IMIP mulai beroperasi, Fanisa dan warga Bajo di Dusun Kurisa tidak dapat lagi melaut. Air laut tercemar akibat aktivitas perusahaan, berubah warna, dan menjadi panas karena limbah PLTU yang dibuang langsung ke laut. Akibatnya, ikan-ikan pun menjauh dari pesisir.
“Sudah tidak bisa lagi kami melaut. kalau mau melaut harus lebih jauh lagi dari bibir pantai. Harus pakai minyak (BBM -red) puluhan liter supaya kami bisa dapat ikan,” kata Fanisa saat ditemui di kediamannya, Sabtu (25/10/2024).
Setelah ditinggal suaminya, Fanisa kini hidup sendiri bersama anak-anaknya dan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Saat ini, Fanisa hanya bisa berjualan kue keliling, karena laut tidak lagi dapat memberikan nafkah bagi mereka.
“Kami orang Bajo di Kurisa sudah tidak bisa lagi meneruskan keahlian kami sebagai orang laut. Kami orang Bajo kalau mau makan ikan harus beli. Dulu, kalau mau makan ikan kami tinggal pancing saja dari atas rumah, sekarang sudah tidak ada lagi karena air laut sekitar rumah kami sudah panas dan kotor, makanya ikan sudah hilang,” kata dia.
Fanisa bukanlah satu-satunya warga yang dirugikan akibat limbah. Ndayi, masyarakat suku Bajo yang telah menetap di Dusun Kurisa selama puluhan tahun, juga mengalami hal yang sama. Sebelum kehadiran perusahaan nikel, Ndayi tidak hanya mencari ikan di laut, tetapi juga membudidayakan rumput laut dan membuat keramba di bawah rumahnya.
“Dulu selain melaut untuk tangkap ikan, saya juga menanam rumput laut untuk dijual, dan juga ada keramba. Sekarang sudah tidak bisa karena air laut sudah tercemar, rumput laut tidak bisa tumbuh,” kata Ndayi sembari menunjukkan lokasi nelayan suku Bajo menanam rumput laut.
Ndayi menceritakan bahwa setelah perusahaan membuang limbah PLTU langsung ke laut, air di sekitar desa tercemar. Ikan di keramba mati, laut yang dulunya digunakan sebagai tempat berenang anak-anak kini tidak bisa lagi dipakai karena airnya sudah tercemar dan panas.
“Sudah ada beberapa orang meninggal karena jatuh di laut. Bukan karena tidak bisa berenang, tapi kemungkinan karena air lautnya panas,” ujarnya.
Ndayi dan warga sekitar sangat merasakan dampak dari pembuangan limbah perusahaan ke laut. Terutama di pagi hari, aroma busuk yang menyengat dan kepulan asap hitam memenuhi area pemukiman di Dusun Kurisa.
“Di pagi hari, asap hitam kelihatan jelas saat perusahaan membuang limbah ke laut. Kalau kami menginjak lantai rumah, telapak kaki akan menjadi hitam,” kata Ndayi.
Sudah beberapa kali, Ndayi bersama warga lainnya meminta solusi kepada pemerintah dan pihak perusahaan agar mereka dapat kembali melaut. Warga yang berprofesi sebagai nelayan akhirnya diberikan bantuan perahu oleh perusahaan, namun perahu-perahu tersebut tidak dapat digunakan karena biaya bahan bakar sangat tinggi.
“Waktu belum ada perusahaan, kalau mau melaut kami hanya pakai 1 liter minyak. Sekarang harus pakai 5—10 liter karena tempat tangkap ikan semakin jauh lagi, bahkan sampai ke desa lain supaya bisa dapat ikan,” kata dia.
Ndayi menambahkan bahwa sebagian besar perahu kini digunakan sebagai ojek perahu, untuk mengantarkan Anak Buah Kapal (ABK) ke kapal-kapal besar milik perusahaan yang tidak bisa bersandar di dermaga.
Tarif yang diberikan untuk mengantarkan ABK ke kapal besar biasanya sekitar Rp100 ribu per perjalanan. Layanan ini tidak tersedia setiap hari, melainkan hanya ketika ada kapal besar yang masuk. Menurut Ndayi, penghasilan dari menangkap ikan jauh lebih baik dibandingkan dari hasil ojek perahu.
“Sebagai nelayan, satu kali panen bisa menghasilkan 1 hingga 2 boks ikan dengan menggunakan perahu kecil. Jika dijual, harga ikan bisa mencapai Rp18 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram (kg). 1 boks itu isinya bisa sampai 50 kg,” tambahnya.
Ndayi mengungkapkan, sejak masuknya IMIP sekitar tujuh tahun lalu, dia dan warga lainnya tidak bisa melaut lagi.
“Kami hidup terkatung-katung, hanya berharap bisa menjadi buruh kasar dengan pekerjaan yang tidak menentu,” keluhnya.
Selvi, istri Ndayi, menjelaskan bahwa sebelumnya pihak perusahaan memberikan kompensasi berupa uang limbah sebesar Rp1 juta per tahun per KK dan uang debu sebesar Rp3,5 juta. Namun, dalam lima tahun terakhir, kompensasi tersebut tidak lagi diterima oleh warga yang terdampak.
“Kami tidak tahu kenapa kami tidak lagi menerima uang limbah dan uang debu sebagai kompensasi,” ujarnya.
Selvi menambahkan bahwa warga yang tinggal di sekitar perusahaan tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga banyak yang menderita penyakit akibat udara dan air yang tidak sehat. Bukan hanya anak-anak yang mengalami batuk dan gatal-gatal, tetapi juga banyak orang dewasa yang terkena dampaknya.
MASYARAKAT ADAT KEHILANGAN RUANG HIDUP
Suku Bajo adalah masyarakat adat yang mendiami beberapa kepulauan di Morowali. Mereka memiliki aktivitas di laut, sehingga sering disebut sebagai “orang laut.” Sebagian besar suku Bajo mendiami kepulauan Salabangka, namun banyak dari mereka juga kini bermukim di pesisir pantai di Kecamatan Bahodopi, seperti di Desa Fatufia, Labota, Bete-bete, Bahomakmur, dan Bahodopi, yang berada di sekitar area tambang.
Kearifan lokal masyarakat suku Bajo di Morowali masih sangat kuat, terutama dalam mempertahankan aturan adat yang mereka sebut dengan “pamali.” Konsep ini diterapkan untuk menjaga ekosistem laut, karena pelanggaran terhadap pamali dapat mendatangkan petaka.
Sudirman (60), salah seorang anggota suku Bajo yang tinggal di pesisir Desa Bete-bete, mengatakan bahwa hingga saat ini, pamali masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bajo.
“Kalau pamali dilanggar, akan mendatangkan musibah. Biasanya, ada ombak besar, kami tidak bisa mendapatkan ikan, atau terkena penyakit. Jika laut dirusak, kami pasti akan menghadapi musibah,” kata Sudirman, Sabtu (25/10/2024).
Musibah akibat pelanggaran pamali karena kerusakan laut, menurut Sudirman, sudah dirasakan. Ikan kini sudah tidak ada karena laut tercemar limbah dari PT IMIP, dan masyarakat juga mengalami penyakit seperti gatal-gatal dan batuk.
Masyarakat suku Bajo menyadari bahwa hilangnya mata pencaharian nelayan di Bahodopi, akibat ikan yang menjauh, berkaitan dengan pamali yang selama ini mereka percayai. Jika hal ini dibiarkan, akan mengancam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat adat suku Bajo.
“Kami tidak tahu harus kemana lagi, laut adalah hidup kami. Mau minta tolong sama siapa lagi ini kalau pemerintah cuma diam. Dorang (pemerintah -red) tahu kami ini nelayan menderita dan sudah tidak ada lagi ikan yang bisa kami tangkap, tapi dorang cuma ba diam. Kami dikase (berikan -red) bantuan uang tunai cuma habis untuk beberapa hari saja, terus bagaimana selanjutnya?,” tuturnya.
Menurut Sudirman, masyarakat nelayan bergantung sepenuhnya pada laut. Jika mereka dipindahkan atau direlokasi jauh dari laut, mereka tidak akan bisa bertahan. Jika dipekerjakan di perusahaan, mereka hanya akan menjadi buruh tambang, karena pendidikan dan keterampilan yang terbatas.
“Kami hanya tahu ba jala ikan. Mo disuruh (diperintahkan) ba kerja tambang, paling yang kami tahu cuma ba tako-toki (pukul-pukul) batu,” ujarnya.
Sudirman berharap pemerintah dan pihak perusahaan memberikan solusi untuk masyarakat, karena aktivitas pertambangan nikel di Bahodopi telah menghilangkan ruang hidup nelayan, khususnya masyarakat adat suku Bajo yang sejak nenek moyang mengandalkan hidup dari laut.
“Kalau laut ini rusak, kami so tidak bisa hidup. Dikase bantuan juga cuma untuk makan hari ini. Bagaimana anak cucu kami nanti? Dorang so tidak tau lagi itu berenang di laut,” kata Sudirman. (BERSAMBUNG)