PALU, MERCUSUAR – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng menyayangkan kejadian dugaan pengusiran wartawan saat rapat pembahasan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) serta rencana normalisasi sungai di Desa Olaya, Desa Air Panas, dan Desa Kayuboko, di ruang rapat Bupati Parigi Moutong (Parmout), pada Senin (20/10/2025).
Melalui pernyataan tertulisnya pada Selasa (21/10/2025), Wakil Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan PWI Sulteng, Udin Salim menyebut hal tersebut sebagai dugaan tindakan menghalang-halangi kerja jurnalistik dan kemerdekaan pers.
Menurutnya, mengusir wartawan yang sedang meliput kegiatan adalah pelanggaran hukum yang dapat dikenai sanksi pidana.
“Berdasarkan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tindakan ini menghambat kemerdekaan pers, yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan hukuman maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, kerja-kerja jurnalistik dilindungi hukum, sebagaimana ketentuan UUD 1945 Pasal 28-F yang menjamin hak warga negara untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi. Selanjutnya, UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 4 mengatur kemerdekaan pers dalam mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, menyimpan, dan menyebarkan informasi. Lalu Pasal 18 ayat (1) UU Pers menegaskan sanksi pidana bagi siapa saja yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat tugas jurnalistik, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Sementara pada Pasal 8 UU Pers menyebut wartawan dalam menjalankan tugasnya mendapat perlindungan hukum. Pemerintah dan masyarakat wajib memberikan perlindungan hukum terhadap wartawan yang menjalankan tugas profesinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
“Tindakan mengusir wartawan merusak kemerdekaan pers dan menghambat hak publik untuk mendapatkan informasi. Tugas jurnalistik sangat penting untuk fungsi kontrol sosial dan menginformasikan publik. Menghalangi kerja wartawan sama dengan menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang utuh dan akurat,” tuturnya.
Atas insiden yang terjadi di Parmout, PWI Sulteng mengeluarka pernyataan. Yakni rapat dapat bersifat terbuka dan tertutup sesuai kepentingan dan tujuan rapat. Olehnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Parigi Moutong melalui Bagian Prokopim dan atau Dinas Kominfo harus dari awal tegas menyatakan kegiatan tersebut tertutup atau terbuka.
“Pemberitahuan agenda rapat via grup WhatsApp Press Room dapat dimaknai sebagai undangan kepada wartawan untuk meliput, dan rapat bersifat terbuka,” bunyi pernyataan PWI Sulteng.
Selanjutnya, permasalahan tambang ilegal merupakan isu publik yang menjadi perhatian pemerintah nasional, provinsi, dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Isu tambang ilegal juga menjadi konsern pers, sebagai wujud kontrol sosial dan memenuhi hak informasi publik.
PWI Sulteng turut mendesak Wabup Parmout, Kepala Dinas Kominfo Parmout, serta bagian Prokopim mengklarifikasi dan meminta maaf secara terbuka atas dugaan tindak menghalang-halangi kerja jurnalistik wartawan dan kemerdekaan pers.
PWI Sulteng juga mendukung sepenuhnya wartawan bersangkutan untuk menindaklanjuti kejadian tersebut dengan membuat laporan ke Dewan Pers, Mendagri, dan Gubernur Sulteng. Selain itu, menugaskan LKBH PWI untuk melakukan advokasi/pendampingan jika dipandang perlu. */IEA