Desa Sagea menjadi benteng terakhir di Halmahera Tengah, yang kini terancam oleh aktivitas pertambangan yang terus merambah dan memperluas konsesi lahan ke wilayah Desa Sagea.
Laporan: Kartini Nainggolan/Mercusuar, Desi Triana/Tribun Sultra, Yunita Kaunar/Kalaesang.id
Berdasarkan temuan investigasi Forest Watch Indonesia (FWI) dan Komunitas #Savesagea berhasil mengungkapkan luas konsesi aktivitas deforestasi seluas 392 hektar sejak Januari 2021-2023 September yang terjadi di wilayah DAS Sagea, meskipun terlihat kecil, namun luasan ini akan terus bertambah.
Deforestasi diakibatkan oleh pembukaan jalan hauling tambang dan pembuatan camp ekspirasi Perusahan tambang.
Wilayah DAS Sagea sebagian besar telah di beban izin pertambangan yang mulai beroperasi. Ada sekitar 6 izin Perusahan tambang di wilayah DAS Sagea. Seperti PT Harus Sukses Mineral, PT Weda Bay Nickel, PT Dharma Rosadi Internasional, PT First Pacific Mining, PT Gamping Mineral Indonesia, dan PT Karunia Saga Mineral.
Sementara PT WBN sendiri ter integritas dengan PT IWIP dan memiliki luas konsesi sebesar 45,065 hektar terbentang dari Halmahera tengah hingga Halmahera Timur.
Warga setempat telah berulang kali melakukan aksi demonstrasi untuk mempertahankan wilayah mereka. Kekhawatiran terhadap dampak destruktif terhadap lingkungan membuat mereka semakin teguh dalam perlawanan. Contohnya, pada tanggal 28 Oktober 2023, demonstrasi warga di area PT IIWIP di Kabupaten Halmahera Tengah, berakhir dalam kerusuhan yang bahkan menjadi viral di media sosial.
Puluhan kamera merekam aksi itu dan video disebarluaskan di media sosial dengan tagar #SaveSagea yang ramai diperbincangkan. Dalam sebuah video yang menjadi viral, terlihat aksi agresif kepolisian yang menggunakan gas air mata terhadap massa demonstran.
Massa yang terdiri dari warga Sagea, termasuk pemuda dan ibu-ibu, merasakan dampak gas air mata mulai dari iritasi di mata hingga tenggorokan. Bahkan, seorang pemuda dinyatakan pingsan, dan ibu-ibu mengeluhkan kesulitan bernapas akibat dampak gas air mata yang digunakan oleh aparat keamanan.
Aksi ini dilakukan oleh warga terdampak air Sungai Sagea yang kini tercemar limbah tambang. Pada bulan Agustus 2023, objek wisata Goa Boki Maruru keruh diduga akibat perluasan konsesi lahan pertambangan.
Akibatnya, Goa Boki Maruru terpaksa ditutup untuk sementara waktu. Kemarahan warga tidak hanya karena keruhnya Goa Boki Maruru, melainkan juga karena sungai ini merupakan satu-satunya yang tersisa dan mulai terancam rusak. Sumber air dari Goa Boki Maruru menjadi vital bagi kehidupan sehari-hari warga.
Pergerakan Koalisi Save Sagea, yang mewadahi para warga, telah berusaha menjadikan kawasan Goa Boki Maruru sebagai geopark nasional. Namun, kunjungan wisatawan berkurang drastis karena airnya keruh akibat tercemar oleh material tanah dari aktivitas pertambangan. Akibatnya, pemerintah daerah mengambil langkah tegas dengan menutup sementara kawasan objek wisata tersebut.
Mardani Legayelol, seorang pemuda aktif dalam perlawanan Save Sagea, tidak hanya terlibat dalam aksi demonstrasi bersama warga. Ia juga berkontribusi membangun pengetahuan warga tentang kelestarian lingkungan dan literasi melalui Fakawele Project. Proyek ini merupakan ruang pustaka di mana warga dapat mengakses berbagai informasi melalui arsip buku yang tersedia.
Fakta menunjukkan bahwa DAS Sagea, dengan luas 18.200,4 hektar, memiliki lima izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas 11.299 Ha. Sungai-sungai di wilayah ini, seperti Sungai Kobe, Ake Doma, Woe Sna, Ake Sake, dan Sungai Waleh, sudah tidak dapat terselamatkan. Goa Boki Maruru menjadi pertahanan terakhir bagi Desa Sagea.
Aktivitas pertambangan yang merambah ke Desa Sagea semakin mengancam masa depan mereka. Semangat perlawanan untuk menyelamatkan air dan udara sebagai sumber kehidupan pun semakin membara. Sungai Sagea, bersumber dari Goa Boki Maruru, memiliki nilai historis, adat, dan identitas yang tak ternilai. Olan, koordinator lapangan dalam aksi demonstrasi, bersama warga lainnya berjuang untuk menjaga apa yang tersisa dari desa mereka.
Mama Ima, yang berada di Folkop Coffee, juga berbicara tentang perubahan kehidupan setelah masuknya perusahaan tambang di Halmahera Tengah. Harapannya sederhana: mengembalikan Desa Sagea seperti dahulu, dimana warga bisa hidup tenang tanpa terganggu oleh aktivitas pertambangan.
Namun, realitanya hampir sebagian besar warga kesulitan mendapatkan kehidupan yang layak. Beberapa nelayan kehilangan pekerjaan karena hasil tangkapan ikan berkurang, dan para nelayan harus mengeluarkan ongkos lebih tinggi untuk melaut akibat minimnya ikan di lautan. Limbah smelter juga diduga merusak lingkungan, seperti tanaman mangrove, terumbu karang, dan kondisi air laut yang menjadi lebih panas.
Di Desa Lelilef Woebulen dan Desa Lelilef Sawai, yang menjadi pusat pabrik smelter PT IWIP, warga mengalami kesulitan mendapatkan akses air bersih dan terpapar debu tebal hitam yang merugikan kesehatan. Desa Gemaf juga terdampak dengan kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan dan lahan kebun yang habis dikeruk oleh perusahaan tambang. Bahkan, lahan pemakaman pun habis terjual demi aktivitas pertambangan yang masif, terlihat dari sebuah makam yang di beton depan rumah warga karena tidak ada lahan lagi untuk pemakaman.
PUNCAK KEHANCURAN TERJADI DI 2030
Direktur Wahana Lingkungan (Walhi) Provinsi Maluku Utara, Faisal Ratuela, menyatakan bahwa dampak aktivitas pertambangan di wilayah Halmahera sangat jelas terjadi tidak hanya di Sagea, tetapi juga di beberapa desa lainnya.
Faisal menyoroti perluasan wilayah konsesi sebesar 1.200 hektar yang direncanakan untuk membangun JETI di wilayah pesisir. Menurutnya, perluasan ini dapat membahayakan Goa Boki Maruru, sebuah sungai bawah tanah dengan sumber air dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kini dibuka untuk investasi PT IWIP dan grup lainnya.
“Ketika muncul ancaman ini, tidak ada kejadian instan tanpa faktor eksternal, terutama dengan terus dilakukannya perluasan wilayah konsesi. Sebagian besar Maluku Utara adalah wilayah pesisir dan pulau, dengan daya tampung terbatas, terutama di daerah DAS,” ujarnya.
Faisal menekankan bahwa di Sagea, tidak dapat diabaikan bahwa kondisi sungainya tidak normal dan berpotensi merugikan kesehatan manusia. Pentingnya pengawasan izin menjadi fokus, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang melarang eksploitasi di beberapa daerah yang harus dilindungi, terutama DAS.
“Karpet merah yang diberikan pemerintah seolah mengabaikan aspek ekologis, terutama di wilayah pesisir laut dan kepulauan. Kerusakan di darat dapat berdampak pada pesisir dan pulau,” katanya.
Faisal menyuarakan perlunya pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan semua pihak, termasuk warga yang paling terdampak, untuk menjawab ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Walhi juga mencurigai hubungan kerusakan lingkungan dengan pejabat negara yang memiliki kewenangan terkait investasi.
“Tampaknya pejabat negara yang terlibat sudah menikmati fasilitas mewah,” ungkapnya. Faisal mengingatkan bahwa pada tahun 2014, tiga perusahaan tambang mendapatkan izin untuk menambang di kawasan hutan lindung di Sage, menggarisbawahi perlunya evaluasi dan dorongan untuk mempertahankan moratorium tahap dua setelah moratorium tahap satu.
Faisal menekankan pentingnya audit terhadap pejabat yang terlibat dalam investasi, karena ada indikasi pengabaian pengawasan lingkungan yang dapat dianggap sebagai gratifikasi.
“Audit harus ditujukan pada pejabat berwenang, karena mereka memiliki fungsi kontrol namun terjadi eksploitasi secara masif,” katanya.
Dia juga memperingatkan bahwa model eksploitasi tambang secara masif dapat menyebabkan kehancuran lingkungan di wilayah sekitar tambang mencapai puncak pada tahun 2030. Banjir akan terus terjadi karena hutan yang mendukung tidak lagi mampu menahan air akibat pembukaan lahan untuk pertambangan.
Dari evaluasi Walhi, diperkirakan bahwa kehancuran ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Dia juga menyoroti bahaya kekumuhan yang terjadi di wilayah sekitar tambang, terutama di wilayah pesisir yang menjadi area smelter, yang dianggap terkait dengan investasi. Faisal menilai bahwa ini mencerminkan upaya mengabaikan aspek ekologi dan hak asasi manusia.
“Berdasarkan kasus sebelumnya, terutama di wilayah pesisir di sekitar tambang, ketika tidak dapat lagi mengatasi beban ekologi, solusi termurah yang diambil pemerintah adalah relokasi,” pungkasnya.
Perusahan PT IWIP ketika diminta konfirmasi atas Perusahan lingkungan yang berdampak pada masyarakat secara ekonomi, sosial dan kesehatan, PT IWIP hingga saat ini belum memberikan jawaban.
Melalui surat resmi yang disampaikan AJI Indonesia karena liputan ini merupakan liputan kolaborasi dengan nomor: 506/AJI-KU/Peng/XI/2023 dikirimkan melalui humas PT IWIP pada 14 November 2023, dan berulangkali dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp namun tetap belum memberi jawaban hingga berita diterbitkan. ***
(Tulisan ini merupakan hasil iputan Fellowship kolaborasi yang dilaksanakan AJI Indonesia, Traction Energi Asia dan Kalesang.id, SKH Mercusuar dan Tribunsultra.com)