PALU, MERCUSUAR – Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sulteng, Mohammad Hidayat Lamakarate mengapresiasi profesi apoteker yang juga sama pentingnya dengan dokter dan perawat.
Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara pada konferensi daerah dan seminar kefarmasian Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sulteng di Swiss-belhotel Palu, Sabtu (22/6/2019).
“Karena selain belajar obat, apoteker juga belajar membaca huruf-huruf resep dokter dan uniknya hanya mereka yang bisa,” katanya
Pada kesempatan itu, Sekdaprov membagi pengalaman mengurus sektor kesehatan di Kabupaten Banggai Laut, saat menjadi Penjabat Bupati beberapa tahun lalu.
Menurutnya, kendala yang dihadapi di Balut, seperti belum adanya dokter spesialis. Sehingga rumah sakit yang begitu besar sepi, karena pasien yang datang berobat hanya beberapa orang. “Mengapa? Karena mereka cukup berobat di Puskesmas saja,” katanya.
Untuk menyiasati hal itu, lanjut Sekdaprov, Ia lalu mendatangkan tenaga dokter spesialis dari luar pulau meski konsekuensinya pemkab harus membayar insentif tambahan plus menyediakan fasilitas rumah dan kendaraan dinas. Langkah itu cukup berhasil meyakinkan masyarakat berobat ke rumah sakit.
Namun langkah itu justru membuat masalah baru, yaitu apotek tidak sanggup mengcover obat-obat generik atau yang ditanggung BPJS. Ditambah lagi jumlah apoteker terbatas, yang belum merata di kabupaten berwilayah kepulauan itu. “Dari kisah ini, saya mengharapkan IAI mendata daerah-daerah mana saja di Sulteng yang kekurangan apoteker, supaya nanti bisa disebar secara merata,” ujarnya.
Ia juga meminta IAI gencar menyosialisasikan ke masyarakat tentang manfaat obat generik yang sebenarnya sama dengan obat paten yang diklaim lebih manjur tapi lebih mahal. “Ini sangat mengganggu psikologi masyarakat,” ujarnya menyoal masih ada masyarakat yang belum percaya kemampuan obat generik.
TERWUJUD KESETARAAN
Sementara itu, Ketua Umum IAI Pusat, Nurul Falah berharap terwujudnya kesetaraan antara apoteker selaku tenaga farmasi dengan dokter selaku tenaga medis.
Kesenjangan kedua profesi itu, katanya, bisa diatasi kalau saja dibangun sistem interprofessional education atau sistem pendidikan kolaborasi yang dikenalkan sejak para calon dokter, apoteker, perawat dan rumpun medis lainnya masih mengenyam pendidikan dibangku kuliah masing-masing.
“Supaya nanti waktu mengabdi terjadi kolaborasi antara tenaga farmasi dan medis. Jadi tidak ada yang merasa superior dan bisa saling menghargai,” jelasnya. BOB