PARIGI MOUTONG, MERCUSUAR – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Parigi Moutong (Parmout) menggelar diskusi publik membahas potensi ancaman sesar lokal di wilayah Teluk Tomini, di Parigi, Selasa (21/10/2025).
Diskusi tersebut menghadirkan Kepala Stasiun Geofisika Palu, perwakilan BMKG, sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), akademisi, praktisi lingkungan, organisasi masyarakat, serta media massa.
Dosen Teknik Geofisika Fakultas MIPA Universitas Tadulako (Untad), Abdullah dalam paparannya menjelaskan bahwa aktivitas seismik di wilayah Parmout terbilang tinggi, karena berdekatan dengan beberapa jalur sesar aktif di Sulawesi bagian tengah.
“Salah satu yang menjadi perhatian adalah potensi pergerakan sesar lokal di sekitar Teluk Tomini, yang bisa memicu gempa berkekuatan sedang hingga kuat. Karena itu, pemahaman terhadap karakteristik sesar menjadi sangat penting, dalam mendukung upaya mitigasi bencana berbasis sains dan kearifan lokal,” ujarnya.
Sementara Plt. Kepala BPBD Parmout, Rivai menyampaikan kegiatan tersebut merupakan bagian dari program edukasi kebencanaan yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi ancaman alam.
Ia menyebut, Kabupaten Parmout memiliki tiga sesar aktif yang berpotensi memicu gempa bumi, yakni Sesar Tokararu, Sesar Sausu, dan Sesar Tomini. Berdasarkan peta kajian risiko bencana, wilayah pesisir termasuk kawasan rawan gempa. Sehingga, kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat harus terus ditingkatkan.
“Kita tidak boleh lengah. Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa wilayah kita pernah terdampak gempa besar disertai tsunami pada era 90-an,” kata Rivai.
Wilayah pesisir Parmout pernah diguncang gempa bumi kuat dan disusul tsunami pada 20 Mei 1938. Gempa bermagnitudo 8,6 mengguncang Teluk Tomini dan memicu tsunami yang kala itu merusak permukiman warga, fasilitas umum, dan menelan korban jiwa di beberapa titik pesisir, terutama di wilayah Parigi dan sekitarnya.
Mengutip unggahan Kepala Bidang Mitigasi BMKG, Daryono, tahun 2021, tsunami kala itu melanda sedikitnya 14 desa di kawasan Parigi dan Ampibabo.
“Air laut di Toribulu sempat surut sejauh 80 meter, kemudian muncul tsunami setinggi 2 hingga 3 meter yang menyebabkan 17 orang meninggal dan ratusan lainnya terdampak,” tulis Daryono.
Sementara, data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan bahwa gempa bumi tersebut terasa hampir di seluruh Pulau Sulawesi hingga bagian Timur Kalimantan. Parigi menjadi daerah yang terdampak paling parah, dengan 18 orang meninggal, 942 rumah ambruk, dan 184 rumah rusak tersebar di 34 desa.
Dalam catatan lainnya, Masyhuddin Masyhuda dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sulawesi Tengah menuliskan “Pada 1938 terjadi gempa hebat yang menyebabkan air laut naik dan menyapu rumah-rumah serta pohon kelapa rakyat di sepanjang pantai Kampung Mamboro, Kabupaten Donggala.”
Berangkat dari pengalaman tersebut, BPBD Parmout menilai pentingnya literasi sejarah bencana untuk membentuk kesadaran masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami.
“Dengan memahami pola sejarah gempa dan potensi sesar lokal, masyarakat bisa lebih siap menghadapi ancaman serupa di masa depan,” ujar Rivai.
PERKUAT PEMETAAN SESAR LOKAL
Adapun hasil diskusi tersebut merekomendasikan agar Pemerintah Daerah memperkuat pemetaan jalur sesar lokal di pesisir Teluk Tomini, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana, serta mempererat sinergi antara instansi, akademisi, dan komunitas lokal.
Dengan upaya tersebut, diharapkan informasi terkait sumber-sumber gempa bumi, potensi tsunami, dan likuifaksi di wilayah Parmout dapat diakses secara cepat dan terbuka. Langkah tersebut dianggap strategis untuk membangun kebijakan mitigasi bencana berbasis data ilmiah dan implementatif.
“Diskusi publik ini menjadi langkah nyata menuju Parigi Moutong yang lebih tangguh, waspada, dan siap menghadapi ancaman gempa bumi serta tsunami di masa mendatang,” tandas Rivai. AFL