MOROWALI, MERCUSUAR – Permasalahan terkait adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terbit di wilayah Kecamatan Bungku Tengah, sampai saat ini masih menjadi pembahasan. Pasalnya, Kecamatan Bungku Tengah merupakan kawasan pusat perkantoran dan administrasi, serta instansi pemerintah baik vertikal maupun daerah.
Selain itu, fasilitas umum seperti Masjid Agung, Masjid Tua Bungku, Islamic Center, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Rumah Adat dan Makam Raja Bungku, juga berada di Kecamatan Bungku Tengah.
Tercatat, sudah dua kali aksi unjuk rasa digelar. Yang pertama, dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa di Kota Palu. Terbaru, pada Selasa (18/7/2023) sekitar 800 massa dari Aliansi TepeAsa Moroso kembali menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Bupati Morowali.
Aksi tersebut bertujuan mendesak Pemerintah Kabupaten Morowali segera memproses pencabutan IUP yang ada di Kecamatan Bungku Tengah, karena merupakan Ibu Kota Kabupaten Morowali, yang masyarakatnya sebagian besar bermata pencaharian petani dan nelayan.
Kehadiran tambang di wilayah Bungku Tengah disinyalir akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan yang sangat luar biasa, dampak pencemaran air, udara, bencana longsor, bencana banjir serta konflik sosial.
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Morowali Nomor 7 Tahun 2019, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Morowali tahun 2019—2039 menyebutkan bahwa Kecamatan Bungku Tengah bukanlah bagian dari Kawasan Pertambangan Mineral Logam yang telah ditentukan. Namun, beberapa IUP nikel tetap diterbitkan di wilayah tersebut.
Data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan, bahwa luas keseluruhan IUP yang dikeluarkan untuk produksi mineral logam nikel mencapai 15.404 hektare.
Dalam aksi unjuk rasa, ada dua perusahaan yang disebut-sebut memiliki IUP di Kecamatan Bungku Tengah, yaitu PT Morowali Mineral Indonesia (MMI), dan PT Sugico Pendragon Energi.
Bupati Morowali, Taslim, pada pertemuan usai aksi unjuk rasa menjelaskan tentang perjalanan banyaknya IUP yang dicabut dari hasil proses di tingkat pusat, serta menyampaikan dukungannya atas tuntutan massa aksi, dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani beberapa pihak.
Atas permasalahan itu, Harian Mercusuar mencoba menemui Mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Morowali, Umar Rasyid.
Kepada media ini, Umar Rasyid membeberkan tentang proses terbitnya IUP sejak tahun 2007 di wilayah Kabupaten Morowali, yang pada saat itu Morowali Utara masih belum mekar.
Dikatakannya, IUP hanyalah sebuah izin, namun ada hal yang lebih besar yaitu hak agraria yang dimiliki oleh masyarakat, dan kegiatan pertambangan tidak akan terlaksana selama masyarakat melakukan penolakan.
“Selama masyarakat tidak menerima atau menolak masuknya tambang, maka saya yakin pertambangan itu tidak akan berjalan,” katanya.
Umar Rasyid mengungkapkan, sejak tahun 2007 melalui Bupati Morowali saat itu, Anwar Hafid, para pengusaha mulai melirik hasil bumi berupa nikel, sementara di Kabupaten Morowali belum memiliki peta potensi hasil tambang yang terkandung.
Maka pada saat itu, dengan kondisi yang sangat terbatas, dikeluarkanlah IUP di wilayah Morowali untuk memeroleh data dan mengetahui apa saja potensi hasil bumi yang ada.
“Saat itu, PAD Morowali masih sangat kecil, maka pemerintah memberikan karpet merah kepada investor untuk mengajukan IUP, sebagai salah satu upaya untuk mengetahui potensi bumi Morowali dan mendongkrak PAD,” ungkapnya.
Sampai pada tahun 2010, lanjut Umar Rasyid, ada lebih 200 IUP yang terbit di wilayah Morowali, hingga menjelang tahun 2014—2015 turunlah korsup dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk melakukan evaluasi terhadap pertambangan di seluruh Indonesia, dan Sulteng menjadi yang pertama sasaran korsup KPK.
“Dari hasil evaluasi, lebih dari 100 IUP tidak layak untuk dipertahankan karena tidak ada aktivitas, dan tidak menyelesaikan kewajibannya kepada negara, sehingga IUP itupun akhirnya dicabut,” ungkapnya.
Menurutnya, dasar utama penerbitan IUP saat itu adalah kondisi Morowali yang tidak memiliki sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga memberikan persyaratan yang tidak sulit kepada para investor untuk masuk ke Morowali, namun tetap mengacu pada UU Minerba.
Terkait adanya IUP yang telah dicabut namun kini telah hidup kembali, Umar Rasyid mengungkapkan bahwa pada saat pencabutan, tidak ada satupun pemilik IUP yang melalukan protes ataupun gugatan.
Menurutnya, gugatan pemilik IUP saat ini karena Pemerintah Daerah tidak melakukan registrasi izin, dan hampir semua putusan Pengadilan Tata Usaha Negara memerintahkan Pemerintah Daerah untuk melakukan registrasi.
Umar pun merasa ada yang ganjil terhadap proses dihidupkannya kembali IUP yang telah lama dicabut, karena sejak tahun 2016 atau diberlakukannya UU Minerba yang baru, kewenangan terkait pertambangan tidak lagi berada pada Pemerintah Daerah.
Terkait tuntutan masyarakat Kecamatan Bungku Tengah, Umar Rasyid mengatakan bahwa Pemerintah Daerah harus menyurat kepada Dirjen Minerba dengan tembusan kepada Gubernur, untuk mencabut IUP yang ada di Kecamatan Bungku Tengah atau dikeluarkan dari daftar MODI atau MOMI.
Langkah kedua, adalah Pemerintah Daerah juga menyurat kepada Dirjen Minerba untuk mengeluarkan WIUP di Kecamatan Bungku Tengah secara nasional. BBG.