Tangkal Radikalisme dengan Moderasi Beragama

Zainal Abidin - Copy

PALU, MERCUSUAR – Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sulteng, Prof Dr H Zainal Abidin menilai sikap moderasi beragama dapat menjadi salah satu solusi mencegah tumbuhnya paham radikal dalam beragama.

Diterangkannya, moderasi beragama adalah cara beragama yang moderat atau tidak ekstrem. Dapat juga dimaknai dengan cara beragama yang damai, toleran dan menghargai perbedaan.

Moderasi beragama berada pada tataran sosiologis dalam wilayah praktik keberagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

“Pada tataran teologis, setiap orang berhak dan bahkan seharusnya meyakini kebenaran agamanya atau mazhabnya. Tetapi pada saat yang sama pada tataran sosiologis, juga dipahami bahwa orang lain pun memiliki keyakinan terhadap ajaran agama atau mazhab mereka. Karena keyakinan adalah wilayah yang sangat subjektif, wilayah hati,” jelasnya, di Palu, Senin (28/10/2019).

Lanjutnya, beberapa prinsip dalam moderasi beragama. Pertama, humanis yakni dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, lalu realistis atau sadar akan realitas keagamaan. Kemudian, terbuka yakni menerima sudut pandang yang berbeda. Selanjutnya, adil atau objektif dalam memberikan penilaian kepada siapa saja, serta saling kerja sama dalam kemaslahatan bersama, dan toleran menghargai dan menghormati perbedaan.

“Moderasi beragama diwujudkan dengan sikap toleran, yakni terbuka dalam menerima realitas perbedaan mazhab dan pemikiran keagamaan, termasuk perbedaan keyakinan. Pada akhirnya akan melahirkan kerukunan umat, mengimplementasikan nilai-nilai moral yang merupakan titik temu semua ajaran agama dalam kehidupan sosial, seperti keadilan, kejujuran, tolong menolong dan sebagainya,” ujarnya.

Dijelaskannya lagi, secara sederhana radikalisme dapat ditandai dengan sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Sikap fanatik, selalu merasa benar sendiri dan orang lain salah. Sikap ekslusif atau membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Serta sikap revolusioner cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Menurutnya, saat ini para pemuda atau mahasiswa menjadi salah satu sasaran utama penyebaran paham radikal. Salah satunya disebabkan karena usia muda biasanya berada pada fase pencarian jati diri. Hal itu menjadikan para pemuda sangat potensial untuk menerima paham-paham baru. “Minimnya pengetahuan agama juga menyebabkan dengan mudah seseorang dihadapkan dengan bahasa sederhana dan simbol agama yang diklaim lebih religius. Sebut saja kata jihad yang banyak disalahartikan oleh kelompok garis keras, kata jihad dimaknai begitu saja dengan perang,” pungkasnya. CR1

Pos terkait