PALU, MERCUSUAR – Tiga tahun pascabencana 28 September 2018, upaya wilayah yang terdampak bencana, yakni Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (PADAGIMO), untuk bangkit dari keterpurukan, tidak terlepas dari peran organisasi non pemerintah, baik lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Islamic Relief, sebuah organisasi Islam internasional yang memiliki perhatian pada permasalahan kemanusian, dengan berdasarkan pada nilai-nilai Islam dalam menjalankan program serta kegiatannya, merupakan salah satu organisasi non pemerintah yang hadir di momen-momen awal pascabencana tiga tahun lalu.
Islamic Relief yang berpusat di Inggris, dibangun pada 1984 di Birmingham, Inggris, dan tersebar lebih dari 40 negara di dunia. masuk di Indonesia pada 2003, merespon beberapa project di Pulau Jawa, lalu kemudian bencana Aceh pada 2004. Islamic Relief mulai masuk di Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 2018, tidak lebih dari 72 jam pascabencana gempabumi, likuifaksi, dan tsunami 28 September 2018 terjadi.
Sebagai salah satu organisasi kemanusiaan, Islamic Relief berusaha untuk menjadi lebih baik dan adil, untuk orang-orang yang masih hidup dalam kemiskinan. Selain itu, membantu dan memenuhi kebutuhan dasar orang-orang yang kekurangan, merupakan proyek utama dari Islamic Relief, termasuk membantu korban bencana di Palu, dengan program pertama, yakni mendistribusikan kebutuhan-kebutuhan pada penyintas bencana, seperti kebutuhan pangan, dan pengadaan hygiene kit.
Selain kebutuhan pangan, Islamic Relief juga mengadakan penyediaan shelter, sebulan pascabencana, dengan wilayah pertama di Desa Lolu, Mpanau dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan, masih banyaknya penyintas bencana yang membutuhkan tenda atau hunian sementara.
“Setelah 1 bulan, kami merespon di pengadaan shelter, karena dari hari pertama, masyarakat penyintas butuh tenda untuk tempat tinggal,” jelas Koordinator Islamic Relief Area Sulawesi Tengah, Fahmi Rahmatna, Kamis (30/9/2021).
Fahmi menjelaskan, dukungan tahap pertama yang mereka lakukan, yaitu respon tanggap darurat dengan waktu tiga bulan, kemudian pada masa transisi, setelah itu merespon bantuan-bantuan yang bersifat fisik, seperti pembangunan hunian sementara yang melibatkan masyarakat itu sendiri, lewat koordinasi erat dengan pemerintah kabupaten dan Kota Palu.
Selain membangun hunian sementara kata Fahmi, mereka juga membangun tempat bermain anak di daerah Lolu dan mendukung penyediaan sanitasi dan air bersih, dengan membangun sepuluh fasilitas air siap minum, yang difokuskan di Desa Lolu dan Mpanau, Kabupaten Sigi. Mereka juga membangun sekolah sementara dan merenovasi sekolah di 29 titik, sekira 72 kelas, di Kabupaten Sigi dan Kota Palu. Ada dua lokasi yang mereka dukung untuk pembangunan sekolah permanen, yakni di Desa Pakuli dan Bora, Kabupaten Sigi.
Menurut Fahmi, partisipasi penyintas bencana yang awalnya belum bisa mereka libatkan, menjadi salah satu kendala untuk tim Islamic Relief. Namun setelah satu tahun, mereka sudah melibatkan para masyarakat dan partisipasi mereka sudah terlihat. Untuk melakukan aksi kemanusiaan atau menyalurkan bantuan kepada masyarakat penyintas bencana kata Fahmi, mereka mengedepankan partisipasi penyintas itu sendiri, dan melibatkan mereka untuk segala aspek.
Bahkan penyintas dibebaskan untuk memberikan saran dan kritik mereka, dengan tujuan penyintas mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan orang lain. Mereka juga memberikan kebebasan kepada penyintas untuk memilih kebutuhan mereka, termasuk di mana mereka ingin berbelanja.
Adapun kriteria yang mereka berikan bantuan, yakni masyarakat yang berdampak bencana, dari keluarga yang kurang mampu, atau penghasilannya di bawah. Bantuan yang mereka berikan kata Fahmi, tidak dapat memenuhi kebutuhan semua orang, maka dari itu mereka mendistribusikan bantuan kepada orang yang tepat.
Pada tahun kedua di Sulteng, Islamic Relief berupaya untuk menguatkan kapasitas penyintas bencana, dengan memberdayakan para penyintas dengan membentuk kelompok usaha. Tim Islamic Relief berusaha mendukung usaha mereka, sehingga mereka bisa kembali berusaha dan kehidupannya bisa berkelanjutan.
“Tahun ini, kami mempunyai program bantuan untuk korban bencana dan dampak COVID, di mana kita ada output, yang pertama ada bantuan usaha, yang kedua pendistribusian bahan pangan,” tambah Fahmi.
Pendekatan yang mereka lakukan, yakni melalui pendekatan penguatan di tokoh agama dan rumah ibadah. Hal ini karena tokoh agama merupakan tokoh sentral di masyarakat, sehingga melalui penyampaian-penyampaiannya tentang bencana, atau informasi-informasi tentang keagamaan, mudah diterima masyarakat. Selain itu, rumah ibadah juga menjadi pusat saat kondisi darurat, karena secara psikologis, kita akan mencari rumah ibadah, saat menghadapi musibah.
Islamic Relief lanjut Fahmi, lebih mengedepankan sumber daya lokal, dan terus berupaya untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga lokal lain, khususnya di Sulteng sendiri. Tercatat, mereka pernah bekerja sama dengan Konsepsi, Rumah Zakat, PKPU, Imunitas, dan tidak lepas dari pemerintah daerah.
Upaya lainnya yang juga didorong oleh Islamic Relief adalah hadirnya forum pengurangan risiko bencana (FPRB) di daerah, yang digawangi oleh sumber daya lokal, yang memahami dengan baik aspek risiko bencana yang ada di wilayahnya. Islamic Relief turut mendukung lahirnya FPRB Sigi dan saat ini juga tengah mendukung upaya pembentukkan FPRB Kota Palu.
Dalam rangka memperingati tiga tahun bencana, sebagai upaya mitigasi dan edukasi untuk anak-anak ke depannya, Islamic Relief telah membangun dua tugu monumen, yang menceritakan atau menjadi simbol bahwa pernah terjadi bencana yang dahsyat di Kota Palu.
“Kami berharap ke depannya, anak-anak bisa mengenang sejarah bencana, dan menjadi penyadar masyarakat akan dampak bencana ke depan,” ujar Fahmi. MG5/JEF