Warga Balaroa Butuh Huntap, Bukan Huntara

Balaroa

PALU, MERCUSUAR –  Warga yang menjadi korban selamat bencana gempabumi dan likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu,   tidak lagi menginginkan dibangunkan hunian sementara (huntara), tetapi langsung hunian tetap (huntap). Keberadaan huntap agar warga bisa hidup tenang dan kembali membangun kepercayaan diri. 

Demikian disampaikan Ketua Forum Korban Likuefaksi Kelurahan Balaroa,  Abdurrahman M Kasim.   Menyangkut  dana huntara yang nilainya Rp500 juta per unit dengan 12 bilik tersebut,  menurut Abdurrahman, sebaiknya dikompensasikan kepada korban likuefaksi agar bisa  membantu kehidupan mereka.   

Selain itu, warga Balaroa juga  menuntut agar hak-hak keperdataan yang lokasi mereka terdampak likuefaksi diberikan ganti rugi.  Sebab bagaimana pun masyarakat masih memiliki hak atas lahan dan pekarangan tersebut, sekalipun pemerintah telah mengeluarkan peta, bahwa lokasi yang terdampak likuefaksi masuk dalam zona merah atau tidak bisa lagi dijadikan pemukiman.

“Permasalahan ini pun harus jelas, agar masyarakat tidak bertanya-tanya dan memiliki kepastian hukum,” katanya.

Selain itu, pendistribusian logistik dan sembako terhadap warga korban harus berbasis data valid dan didistribusikan oleh pemerintah setempat. 

Ditambahkan Rahman Kasim, pihaknya juga akan melakukan gugatan ‘class action’ dengan melibatkan puluhan advokat di Sulteng. “Yang jelas jika tidak ada kepastian hukum atas hak-hak keperdataan korban, maka kami akan menempuh segala upaya termasuk gugatan class action,” tandasnya.

Bahkan, katanya, salah satu langkah yang akan ditempuh warga  sebagai bentuk protes, lahan yang terdampak likuefaksi akan dipagar keliling. Dan tidak tertutup kemungkinan sebagian warga juga akan kembali membangun hunian.

Warga mengancam tidak akan menggunakan hak pilihnya pada 17 April jika  harapan mereka tidak diapresiasi.

Disebutkan, ribuan warga Balaroa akan menggelar unjuk rasa hari ini, Senin (13/1/2019). Aksi ini guna menuntut hak dan keadilan mereka dari pemerintah, di mana  sudah 100 hari pascabencana, warga masih tinggal di tenda-tanda pengungsian.   Warga berencana mendatangi gedung DPRD Kota, kantor wali kota, kantor gubernur dan gedung DPRD Sulteng.  Pada gempa 7,4 SR, Jumat (28/9/2018), 47,5 hektar lahan  yang terdampak likuefaksi di Balaora.  Korban jiwa banyak berjatuhan sebab kawasan ini adalah perumahan padat penduduk.  BOB

 

Pos terkait