Desakan Sikola Mombine Usut Tuntas Kasus Dugaan Bullying Anak di Togean

PALU, MERCUSUAR — Yayasan Sikola Mombine menyatakan keprihatinan dan kemarahan atas kasus dugaan kekerasan verbal yang dialami almarhum Amri, seorang anak di bawah umur asal Desa Beko/Awo, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-una. Tekanan psikis berat yang dialami Amri usai dituduh mencuri oleh aparat desa diduga menjadi penyebab ia mengakhiri hidupnya sendiri.

Menurut keterangan keluarga, Amri dituduh mencuri uang sebesar Rp500.000 oleh Sekretaris Desa berinisial SM tanpa dasar bukti yang jelas. Tuduhan tersebut disampaikan secara terbuka di hadapan masyarakat, menciptakan tekanan sosial dan mental yang luar biasa bagi korban. Hanya lima hari setelah peristiwa itu, Amri ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri.

Yayasan Sikola Mombine menilai peristiwa tragis ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam menjamin perlindungan anak dari kekerasan psikis dan stigma sosial. Tuduhan sepihak dan menyudutkan dari aparat desa bukan hanya melanggar etika, tetapi juga secara hukum bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa tindakan yang menyebabkan penderitaan secara psikis, termasuk perlakuan yang merendahkan martabat anak, merupakan bentuk kekerasan serius.

Direktur Eksekutif Sikola Mombine, Nur Safitri Lasibani, menyatakan bahwa tidak ada alasan yang dapat membenarkan kekerasan verbal terhadap anak. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut mencerminkan penyalahgunaan kuasa yang harus segera ditindak secara hukum. Negara, menurutnya, memiliki kewajiban untuk hadir melindungi warga, apalagi anak-anak dari kelompok rentan.

Sikola Mombine mendesak Pemerintah Kabupaten Tojo Una-una untuk memberikan atensi penuh terhadap kasus ini. Pemerintah diminta menjamin keadilan bagi keluarga korban, termasuk bantuan hukum gratis sesuai Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum untuk Warga Miskin serta layanan pemulihan psikososial. Tindakan administratif terhadap oknum Sekdes juga perlu segera dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), termasuk klarifikasi terbuka dalam forum resmi seperti rapat dengar pendapat bersama DPRD.

Penegakan hukum juga menjadi sorotan. Sikola Mombine meminta jajaran Polres Tojo Una-una agar memproses laporan keluarga dengan cepat, profesional, dan transparan, serta menjamin pendekatan yang berperspektif perlindungan anak. Lembaga ini juga meminta Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Provinsi Sulawesi Tengah untuk segera melakukan intervensi hukum dan psikososial secara konkret, serta mendampingi keluarga korban sepanjang proses hukum berlangsung.

Tak hanya di tingkat daerah, perhatian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga dianggap penting. Yayasan berharap kasus ini bisa menjadi perhatian nasional, sebagai pengingat bahwa anak-anak dari komunitas marjinal pun berhak atas perlindungan penuh dari negara.

Sikola Mombine menolak menyebut kejadian ini sebagai musibah semata. Mereka menyebutnya sebagai bentuk kekerasan sistemik yang lahir dari pembiaran terhadap praktik intimidasi dan penyalahgunaan kuasa di tingkat komunitas.

“Tidak boleh ada lagi anak yang kehilangan nyawa karena kita diam,” tegas Nur Safitri. “Keadilan untuk Amri adalah tanggung jawab kita bersama.” */JEF

Pos terkait