PALU, MERCUSUAR – Delapan tahun sejak Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una (Touna) Nomor 11 Tahun 2017 mengesahkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Tau Taa Wana, kepastian hukum atas wilayah adat mereka masih belum terbit. Hingga kini, penetapan formal melalui Surat Keputusan (SK) Bupati—dokumen yang menjadi dasar legal bagi perlindungan dan pengelolaan wilayah adat—belum dikeluarkan.
Padahal, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) telah mengakomodasi pengakuan tersebut dalam penataan ruang melalui Perda Provinsi Sulteng Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRWP 2023–2042. Namun pengakuan di tingkat daerah Kabupaten Touna tetap belum final.
Sekretaris Kabupaten Touna, Alvian Matadjeng, dalam sebuah FGD yang digelar pada 24 November 2025 di Palu menyatakan, masyarakat adat Tau Taa Wana telah mendiami sebagian besar wilayah daratan Kabupaten Touna, terutama di kawasan sulit akses. Menurutnya, penetapan Perda tahun 2017 tidak sejalan dengan pembentukan Tim Inventarisasi Kawasan Hutan Adat yang baru ditetapkan pada 2023.
“Pemkab Touna telah mendesak pihak terkait untuk segera menetapkan keputusan bupati, terkait tim inventarisasi kawasan hutan adat. Kawasan hutan adat sudah masuk dalam peta RTRW kabupaten, tetapi sifatnya masih indikatif, belum definitif,” ujar Alvian.
Persoalan tata ruang menjadi hambatan utama pengukuhan wilayah adat TTW. Revisi RTRW Kabupaten Touna yang dimulai sejak 2018 masih tertahan dalam proses lintas sektor, terutama akibat perselisihan batas administratif dengan Kabupaten Morowali Utara. Pemkab Touna, kata Alvian, tengah berupaya mengembalikan batas wilayah sesuai ketentuan RTRW 2012, yang berseberangan dengan Permendagri tahun 2019.
Persoalan batas ini kemudian berdampak pada wilayah adat TTW yang melintasi dua kabupaten. Dalam beberapa kesempatan, termasuk saat penandatanganan MoU Satu Data Indonesia, Bupati Touna telah mengangkat isu ini sebagai salah satu faktor yang memperlambat penerbitan SK pengakuan wilayah adat.
Fungsional Penata Ruang Ahli Muda Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng, Salman Ruslan menegaskan, integrasi hutan adat dalam tata ruang membutuhkan status hukum yang jelas. Hingga kini, kawasan hutan adat di Sulteng masih berada pada tahap penunjukan, bukan penetapan.
“Kehadiran Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 dan enam hutan adat yang sudah diintegrasikan ke dalam RTRW Sulteng 2023–2042 adalah langkah awal. Pemkab harus bekerja cerdas, cepat, dan keras,” ujar Salman.
Dalam diskusi tersebut, Kepala Divisi Advokasi JKPP, Imam Mas’ud, menekankan pentingnya kebijakan satu peta sebagai perangkat penyelesaian konflik ruang dan agraria. Menurutnya, RTRW dan RDTR seharusnya dapat menjadi rujukan bagi penyusunan peta wilayah adat yang konsekuen di darat maupun laut, sekaligus dasar pemberian izin pemanfaatan ruang.
FGD yang diselenggarakan oleh Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Sulteng dan JKPP menghasilkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, Pemkab Touna diminta memberikan perhatian khusus terhadap pengakuan formal wilayah adat TTW melalui penerbitan SK Bupati, serta mempercepat pembentukan Panitia MHA TTW. Profil MHA dan peta wilayah adat juga direkomendasikan untuk dimasukkan ke dalam geoportal.
“Semua kembali pada political will Bupati Touna, menunda atau mempercepat SK tersebut,” tegas Koordinator SLPP Sulteng, Agus M. Suleman.
Hingga kini, MHA Tau Taa Wana masih menunggu kepastian yang diharapkan dapat mengakhiri ketidakjelasan status wilayah adat mereka setelah hampir satu dekade proses pengakuan berjalan. */JEF






