Beberapa tuntutan Forbes Morowali diantaranya, mendesak PT Vale Indonesia segera membangun smelter di area konsesi, mendesak PT Vale segera membebaskan lahan untuk dimanfaatkan masyarakat Desa Lele dan Onepute Jaya.
Selanjutnya, ganti untung tanaman masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan kontrak local, dan meminta pemerintah pusat dan daerah agar menjamin ketersediaan lahan di area KK PT Vale Indonesia untuk dikelola masyarakat.
“Tuntutan kami, sangat jelas. Jika semua tuntutan tidak diindahkan maka kami mendesak pemerintah daerah dan pemerintah pusat cabut izin Vale, dan tidak memperpanjang lagi masa kontrak karya PT. Vale,” kata Jamil.
Ditempat yang sama Adi, selaku anggota Forbes, membeberkan adanya surat pernyataan yang disodorkan pihak vale ke pemilik lahan yang isinya dinilai merugikan masyarakat. Bahkan dalam surat itu penegasan agar masyarakat tidak menuntut apa-apa jika lahannya dikelolah PT. Vale.
“Surat pernyataan itu hadir tanpa ada komunikasi dengan pemerintah Desa. PT. Vale langsung ke masyarakat. Tidak hanya datangi ke rumah warga, tetapi datang di kebun-kebun warga untuk tanda tangan,” terang Adi.
Adi menambahkan bahwa, masyarakat memberikan ruang kepada pemerintah untuk menjembatani tuntutan mereka. Apalagi ada ucapan Presiden Jokowi, dan Kementerian BKPM, Bahlil Ladalia soal sanksi penelantaran lahan oleh pemilik izin kontrak karya dan IUP. Hal itu bisa menjadi alasan pemerintah pusat mencabut izin atau tidak melanjutkan perpanjangan kontrak karya PT. Vale.
“IUP dan lahannya ditelantarkan maka pemerintah akan mencabut izinnya. Tidak hanya menelantarkan lahan tetapi PT. Vale sudah mendustai masyarakat Morowali,” tambahnya.
Selain itu, Gubernur Sultra, Gubernur Sulsel, dan Gubernur Sulteng juga telah menyatakan sepakat tidak memperpanjang izin kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk.
Hal itu disampaikan ketiganya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen dan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM RI dan RDPU oleh Panja Vale Komisi VII di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.