Kematian HR (25) tahun pada 8 Juni 2020 malam merupakan kasus kecelakaan kerja pertama yang terdokumentasi terjadi di PT. Gunbuster Nickel Industry (GNI), Morowali Utara sejak perusahaan itu beroperasi. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) diabaikan hingga menyebabkan rentetan kasus kecelakaan kerja hingga menewaskan buruh.
Pria asal Tanah Toraja, Sulawesi Selatan itu merupakan operator alat berat di PT. GNI. Ia ditemukan tertimbun longsor bersama eskavator sekitar pukul 20.00 WITA. Jenazah HR baru ditemukan dua hari setelah kejadian dan langsung dievakuasi.
Tahun 2021, satu kasus kecelakaan kerja juga terjadi. YSR (41) operator alat berat, tenggelam di laut setelah sebelumnya terseret longsor saat mengoperasikan eskavator di area penimbunan slot 2 Kecamatan Petasia, pukul 22.45 WITA, 24 Juni 2021.
PT GNI merupakan perusahaan pengolahan bijih nikel milik Tony Zhou Yuan, yang beroperasi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 2019, dengan nilai investasi sekitar Rp 42,9 triliun dengan kapasitas produksi 1,9 juta Nickel Pig Iron (NPI) per tahun.
Perusahaan swasta ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia di bidang hilirisasi minerba yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Terdapat 12.372 buruh yang kini bekerja, sebagian besar merupakan tenaga kerja lokal sebanyak 11.060 orang, dan sisanya tenaga kerja asing dari Cina.
Kecelakaan kerja kembali terjadi pada 2022, sebanyak enam kasus, dengan empat pekerja di antaranya meninggal dunia saat bekerja.
Serikat pekerja Nasional (SPN) mendokumentasikan 11 kasus kecelakaan kerja terjadi. Tapi angka sebenarnya yang tak sempat tercatat, bisa mencapai 20 kasus. Angka ini menunjukkan bagaimana PT GNI tidak mengimplementasikan K3 sesuai standar internasional yang mengharuskan “nol kecelakaan kerja”.
Toh, berbagai kasus itu tak membuat perusahaan segera berbenah memenuhi K3. Karena, dua kasus berikutnya kembali terjadi, menimpa NS (20) dan MD (20) yang meninggal dunia terjebak kobaran api setelah tungku smelter PT GNI meledak.
Kecelakaan kerja beruntun inilah yang memicu aksi mogok ribuan pekerja PT GNI pada Januari 2023. Tenaga kerja menuntut keadilan bagi korban, sekaligus meminta perusahaan memenuhi sejumlah tuntutan terkait K3
Aksi mogok itulah yang kemudian berakhir dengan bentrok antara tenaga kerja asing (TKA) dan pekerja lokal pada 14 Januari 2023. Tiga tenaga kerja PT GNI MS (19), warga Parepare, Sulawesi Selatan, XE (30), dan seorang warga negara asal Cina tewas saat bentrok.
- Mengabaikan Undang-undang dan Standar Internasional
Setiap pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan atas K3, demikian mandat Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemenuhan K3 bertujuan mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Lebih khusus lagi, kewajiban perusahaan memenuhi K3 diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Ketentuan ini berlaku bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 orang atau atau mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.
Direktur Program Tren Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan, khusus dalam industri smelting, K3 harus mempertimbangkan risiko paparan bahan kimia, bahaya fisik, kebisingan, radiasi, dan situasi kerja dalam ruang yang sempit.
Karena operasi smelter juga memiliki dampak lingkungan, maka K3 di perusahaan-perusahaan tersebut harus memperhatikan risiko dari polusi udara, limbah cair, bahan berbahaya beracun, residu dan limbah.
Tidak hanya terhadap pekerja, dampak lanjutan dari risiko kerja tersebut juga bisa meluas ke komunitas sekitar yang dekat atau berada pada daerah paparan dampak dari operasi smelter dan pemurnian.
Menurut Ahmad Ashov Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Lingkungan Kerja, telah mengatur tentang batas paparan terhadap bahan kimia dalam lingkungan kerja, termasuk dalam industri yang memproduksi dan menggunakan nikel dan senyawa nikel di tempat kerja.
Tidak hanya regulasi di Indonesia, ketentuan internasional terkait K3 di industri logam non-besi telah diatur oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Secara khusus, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Riset Kanker Internasional (IARC) pada 1990 mengklasifikasi logam dan senyawa nikel sebagai zat yang dapat memungkinkan menyebabkan kanker (karsinogen).
Oleh karena itu, dengan berbagai kecelakaan kerja yang terus terjadi pada PT GNI dan beberapa perusahaan sejenis, menurut Ahmad Asov, menjadi indikasi buruknya sistem pengelolaan K3. Dia mendesak pemerintah melakukan audit secara menyeluruh terkait kepatuhan perusahaan terhadap berbagai regulasi K3, sekaligus mengidentifikasi potensi bahaya dan risikonya.
“Audit menyeluruh tersebut kemudian digunakan dalam perencanaan ulang pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja, re-desain fasilitas dan sistem kerja yang aman, dan dalam persiapan dan komunikasi prosedur kerja yang aman,” kata Ahmad saat dihubungi via telepon, 22 Maret 2023.
Aspek-aspek lemahnya pemenuhan K3 PT GNI begitu kasat mata. Itu ditunjukkan dengan tidak adanya alat pelindung diri (APD) bagi pekerja sesuai jenis pekerjaan atau risiko kerja yang dihadapi. Kerusakan alat dan kendaraan sering kali berulang, seperti ban kendaraan operasional pengangkut bijih nikel yang tak layak, tapi tetap dioperasikan. Stok lampu hazard atau lampu isyarat bahwa kendaraan sedang berhenti karena keadaan darurat, juga sering kosong.
Kondisi gudang smelter yang sangat berdebu, tapi tak ada kanebo untuk membersihkan kendaraan, kerap berisiko pada kecelakaan. Debu dalam gudang juga menyebabkan ruangan menjadi gelap, sementara pengadaan mesin penghisap debu belum direalisasikan oleh perusahaan.
Salah satu karyawan PT GNI yang namanya enggan dipublikasikan, menuturkan bahwa sudah dua tahun menjadi buruh di PT GNI. Dia mengeluhkan karena APD yang diberikan perusahaan itu tak lengkap.
“Pertama masuk kerja saya hanya dibekali helm, tidak ada APD lain. Saya hanya pakai baju biasa, sementara pekerja dituntut harus menggunakan APD,” kata dia.
Tak satupun karyawan di PT GNI yang berani diwawancarai terkait kondisi di perusahaan itu. Beberapa karyawan PT GNI yang menjadi narasumber, meminta agar nama mereka dirahasiakan demi keamanan mereka.
Menurut keterangan beberapa pekerja, sebelum menandatangani kontrak kerja, perusahaan mengancam agar pekerja tak memberikan informasi apapun ke pihak luar, terutama kepada media. Peringatan itu juga tertuang dalam surat edaran yang dikeluarkan pihak perusahaan. Ketika ada pekerja yang melanggar, bisa langsung dipecat.
Salah satu operator alat berat juga menuturkan bahwa bekerja di smelter GNI penuh tekanan. Mereka dituntut menyelesaikan target pekerjaan, namun pihak perusahaan tidak pernah memperhatikan kesejahteraan maupun keselamatan kerja para buruh.
“Terkadang kendaraan yang kami operasikan sudah tidak layak. Bannya sudah botak tetap digunakan, sementara akses jalan menuju smelter sangat buruk. Kalau tidak hati-hati kami bisa celaka,” kata dia.
Belum lagi operator alat juga tidak dibekali masker, padahal jalur yang dilalui sangat berdebu yang dapat mengganggu pernapasan.
Tak semua pekerja sanggup bertahan di PT GNI. Putra pertama Wahono Rangga warga Dusun V, Desa Bunta, Kabupaten Morowali Utara memilih keluar dari PT GNI setelah dua tahun bekerja karena banyaknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi.
Menurut Wahono, hampir setiap minggu kecelakaan selalu terjadi di perusahaan, baik kecelakaan kerja di lokasi kerja, maupun kecelakaan lalu-lintas karena akses jalan yang sangat buruk menuju smelter. Belum lagi padatnya kendaraan yang lalu-lalang, mengingat jumlah karyawan yang begitu banyak.
“Dua tahun anak saya kerja di perusahaan, saya minta dia keluar karena banyak terjadi kecelakaan. Lebih baik dia bantu-bantu saya kerja di rumah,” kata Wahono, Minggu, (26/2/2023).
- Pemberangusan Serikat Pekerja
Sejak kasus kecelakaan kerja pertama terjadi, Serikat pekerja Nasional (SPN) sebenarnya tak pernah tinggal diam. Mereka telah berulang kali menyuarakan persoalan itu dengan mengajak perusahaan untuk berunding, tapi selalu ditolak. SPN juga pernah berkirim surat ke Pemkab Morowali Utara agar memfasilitasi pertemuan, namun tak pernah ditanggapi.
Sebaliknya, SPN melihat berbagai upaya perusahaan untuk memberangus serikat pekerja. Ketua Bidang Politik dan Hubungan Kelembagaan DPP SPN, Puji Santoso mengatakan, banyak pengurus dan anggota SPN yang dipecat sepihak oleh manajemen. Pekerja lokal yang akan bergabung ke SPN pun kerap kali menerima ancaman, seperti kontrak yang tidak akan diperpanjang.
“Kami punya dokumen PT GNI tidak mengakui keberadaan SPN, bahkan terakhir mengeluarkan surat agar mencabut pencatatan SPN di Morowali Utara yang dikirim ke Disnaker kabupaten,” kata Puji.
Terakhir, setelah unjuk rasa yang berujung ricuh pada Januari lalu, polisi malah menangkap 71 buruh dan 17 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 170 ayat 1 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara untuk 16 orang dan 1 tersangka lainnya dijerat Pasal 187 ke 1e KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara.
Menurut Tim Advokasi Morowali Utara –terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah (LBH Sulteng), dan Serikat Pekerja Nasional (SPN), penetapan para buruh sebagai tersangka adalah tindakan sewenang-wenang. Dalam siaran pers Tim Advokasi, mereka ditahan tanpa proses pendampingan dan tanpa melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang memadai.
“Polres Morowali juga telah melakukan pelanggaran serius terhadap Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang mewajibkan pendampingan hukum bagi mereka yang disangkakan pasal dengan ancaman 5 tahun atau lebih,” Direktur LBH Sulteng Julianer Aditya Warman, SH
Tindakan polisi, juga dianggap menyudutkan buruh, seolah-olah buruh yang melakukan kericuhan di lapangan. Padahal belum ada proses penyelidikan secara mendalam. Apalagi demonstrasi buruh PT. GNI yang berujung pada kericuhan tersebut, untuk menuntut tanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang selama ini tidak dipenuhi perusahaan.
Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Dedi Askary mengatakan musibah kerja yang terjadi di PT GNI jadi bukti nyata buruknya manajemen yang diterapkan industri.
Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Dedi Askary menjelaskan, unjuk rasa pekerja pada Januari lalu, harus dilihat sebagai bentuk akumulasi kekecewaan serta ketidakpuasan buruh terhadap manajemen PT. GNI karena lamban merealisasikan tuntutan buruh sebelumnya.
Menurutnya, pemerintah dan PT GNI harus bertanggung jawab penuh atas berbagai kecelakaan kerja tersebut dan memastikan kondisi yang sama tidak kembali berulang.
Berbeda dengan versi SPN, Bupati Morowali Utara, Delis Julkarson Hehi mengatakan, telah beberapa kali memfasilitasi pekerja yang mengatasnamakan SPN bertemu dengan perusahaan membahas masalah K3. Saat beraudiensi tersebut, PT GNI menyanggupi beberapa poin tuntutan, termasuk soal APD.
Namun dari beberapa poin tuntutan, PT GNI menolak untuk mempekerjakan pekerja yang telah diberhentikan. Menurut PT GNI, pekerja tersebut tidak bisa kembali bekerja karena tak memenuhi syarat kualifikasi sehingga kontrak kerjanya tidak diperpanjang.
Terkait dugaan memberangus serikat pekerja, menurut Delis, PT GNI mempertanyakan legalitas SPN karena anggota di dalamnya bukan lagi buruh yang bekerja di perusahaan itu.
Upaya konfirmasi telah dilakukan kepada pihak manajemen perusahaan, namun tidak mendapat tanggapan.
“Pimpinan kami sekarang sedang cuti selama satu bulan di Cina. Kami tidak bisa mengeluarkan komentar apapun terkait GNI, tanpa persetujuan pimpinan,” kata Eksternal relation PT GNI, Ivan Tagora, Minggu (29/3/2023).
Setelah Smelter Masuk, Kami Tak Bisa Lagi Bertani
Tahun 1997 silam, Wahono Rangga memboyong keluarga kecilnya meninggalkan tanah Jawa Timur menuju Bunta dengan harapan bisa mengubah hidup yang lebih baik. Keluarga Wahono merupakan satu dari 132 Kepala Keluarga (KK) yang didatangkan dari Jawa dalam program transmigrasi penambahan penduduk ke Bunta, Morowali Utara.
Keluarga Wahono mendapatkan jatah lahan untuk pemukiman dan pertanian di Dusun V, Desa Bunta. Wahono bersama istrinya mulai menata hidup, membuka persawahan dari jatah lahan yang diberikan pemerintah seluas 1 hektar.
Kondisi lahan gambut di lokasi yang diberikan pemerintah, membuka peluang keberhasilan Wahono dan warga transmigrasi lainnya untuk mengembangkan pertanian dan menjadikan Desa Bunta sebagai salah satu lumbung padi di provinsi Sulawesi Tengah.
Dari hasil pertanian, Wahono bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga hingga membangun rumah serta menyekolahkan anaknya.
Setelah 22 tahun kemapanan hidup Wahono bersama ratusan kepala keluarga transmigrasi lain di Desa Bunta mulai terusik ketika masuknya perusahaan nikel milik PT. GNI.
Tahun 2019, Wahono dan warga transmigrasi Dusun V desa Bunta tak bisa lagi bertani karena lahan mereka terendam air akibat penutupan jalur air sungai Lampi menuju hilir oleh pihak perusahaan untuk mencukupi kebutuhan air.
Air meluap dan menggenangi lahan mereka yang berada dekat dengan sungai Lampi. Bukan hanya lahan pertanian, pemukiman warga juga ikut terendam air.
Kurang lebih 100 Hektar percetakan sawah yang diberikan pemerintah untuk warga transmigrasi saat ini jadi lahan tidur dan tidak bisa dikelolah.
“Sudah tidak bisa lagi kami menanam, air tergenang di sawah dan tidak pernah surut. Lahan kami sudah dipenuhi rumput karena selama lima tahun tidak bisa di apa-apakan lagi,” kata wahono.
Sudah beberapa kali, Wahono bersama warga transmigrasi lainnya meminta solusi kepada pemerintah maupun pihak perusahaan agar lahan mereka yang terendam air akibat penutupan akses air, bisa digunakan. Paling tidak, warga berharap lahan percetakan sawah bisa dialih fungsikan menjadi lokasi pengembangan ikan air tawar berupa empang mengingat lokasi itu sampai saat ini terendam air.
“Sudah lima tahun terakhir sejak masuknya GNI ke Desa Bunta, saya bersama warga transmigrasi lain tidak bisa bertani lagi. Kami hidup terkatung-katung, hanya berharap menjadi buruh kasar yang pekerjaannya tidak menentu,” kata Wahono.
Wahono mengakui masuknya perusahaan nikel ke desa Bunta memberikan dampak positif bagi desa, terutama terbukanya lapangan pekerjaan. Namun bagaimana dengan warga lain yang tidak bisa bekerja di perusahaan, mengingat usia produktif yang diterima sebagai buruh di perusahaan dibatasi yaitu hanya untuk usia 40 tahun ke bawah.
“Kami yang sudah puluhan tahun tinggal di sini jelas tidak bisa lagi menjadi buruh karena usia sudah di atas 40 tahun,” ujarnya.
Sebagian besar yang saat ini menjadi buruh di perusahaan hanya anak-anak mereka, sementara upah yang diterima dianggap tidak lebih baik. Upahnya sama saja dengan upah buruh yang bekerja di luar perusahaan. Apalagi upah buruh perusahaan tidak sebanding dengan keselamatan jiwa para pekerja.
Sementara upah dari hasil bertani dinilai lebih baik, hal inilah yang menyebabkan Sebagian besar warga lebih memilih untuk berhenti menjadi buruh dan beralih profesi menjadi buruh angkut, dan buruh bangunan.
Menurut Wahono, penghasilan dalam satu kali panen bisa mencapai 45 karung gabah, dengan perhitungan 50 kg per karung atau sekitar 2.250 kg. Jika menghitung harga jual gabah Rp 7.700 per kg, penghasilan satu kali panen bisa mencapai Rp 17.325.000.
“Kalau bertani, satu kali panen bisa dapat 45 karung gabah. Sedangkan upah menjadi buruh di GNI rata-rata kalau mengikuti upah minimum kabupaten (UMK) sekitar Rp3,2 juta, mungkin bisa Rp5 juta kalau ditambah lembur. Saya sih mending menanam, karena jadi petani itu tenang. Bagaimanapun juga kalau kerja dengan kondisi tidak aman, was-was juga. Alasannya saya jelas, kenapa lebih memilih menanam, hampir tiap minggu ada saja kecelakaan kerja di perusahaan,” kata Wahono.
Mata pencaharian utama sebagai petani sawah tidak ada lagi setelah lahan pertanian terendam air.
“Sudah berkali-kali kami turun ke jalan memperjuangkan Nasib kami, tapi sampai saat ini tidak ada respon dari pemerintah maupun pihak perusahaan. Kami sudah pasrah, tidak tau lagi harus mengadu ke mana,” kata Wahono.
Wahono juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak peduli dengan warganya, terutama para wakil rakyat di DPRD Morowali Utara yang tidak pernah sekalipun melihat langsung kondisi warga di transmigrasi.
“Tidak pernah ada anggota dewan datang melihat kondisi kami saat ini yang sudah menderita. Cuma ngomong saja, tanpa ada solusi. Kami ini sebenarnya milik siapa, negara saja seolah tidak peduli,” ujarnya.
Sebelum masuknya perusahaan nikel, Bunta menjadi salah satu lumbung padi di wilayah Sulawesi Tengah, saat ini tidak ada lagi sawah yang bisa terlihat di desa itu.
“Saya ini pendatang dari pulau Bali, tapi bukan transmigrasi. Saya datang ke Bunta karena ingin mengubah hidup. 17 tahun lalu saya memilih pindah ke Bunta dan membeli lahan karena melihat potensi persawahan sangat bagus,” kata Made warga Dusun V Desa Bunta.
Made adalah satu dari ratusan warga Bunta yang lahannya ikut terendam akibat penutupan jalur air sungai Lampi.
“Dulu pertama kali saya datang ke Bunta, lahan persawahannya sangat subur, makanya saya beli lahan di sini,” kata Made.
Hidup Made sejak membuka sawah di Desa Bunta semakin mapan. Dari hasil bertani, made mampu menyekolahkan anaknya di sekolah pelayaran yang biayanya cukup mahal.
Sayangnya, sejak masuknya GNI, harapan hidup makmur pupus. Perusahaan sengaja menutup jalur air menuju hilir untuk kebutuhan pasokan air perusahaan, tanpa memikirkan dampak yang akan dialami warga yang tinggal dekat dengan sungai. Ada sekitar 300 ha lahan warga di Desa Bunta terendam air dan kini menjadi lahan tidur.
Kepala Desa Bunta, Kristol Lolo mengklaim hal lain. Sebelum masuk GNI di Bunta, penduduknya bekerja sebagai petani. Namun seiring berjalannya waktu, dan masuknya perusahaan nikel, perekonomian warga berangsur meningkat. Sebagian besar petani sudah beralih profesi menjadi pedagang dan pengusaha.
“Ini dampak ekonomi dari masuknya GNI di Bunta. Perekonomian di Bunta meningkat. Dulu desa bunta termasuk desa tertinggal,” kata Kristol, Senin (27/2/2023).
Menurutnya, jumlah petani sawah di Bunta saat ini hanya sekitar 20 persen saja, sisanya telah membuka usaha, seperti berdagang, membuka rumah makan, mendirikan kos-kosan maupun hotel.
Berbanding terbalik dengan pernyataan kepada desa Bunta, beberapa warga desa yang berhasil diwawancara mengatakan, lahan persawahan di Bunta tidak ada lagi pasca masuknya GNI.
Lahan sawah habis terendam karena penutupan jalur air sungai Lampi oleh pihak perusahaan. Sebagian besar pemilik usaha rumah kost, hotel maupun rumah makan di Desa Bunta adalah warga pendatang dari provinsi tetangga seperti Sulawesi Selatan, dan Sulawesi tenggara.
“Mana mampu kami bangun kos, modalnya besar. Kalau kami punya lahan 2 hektar, dijual 1 hektar. Hasil penjualan hanya cukup untuk timbunan saja sebab di Bunta lahan gambut. Sekarang kalau timbunan 10 x 10 meter biayanya Rp10 juta,” kata Wahono,
Perekonomian di desa Bunta memang meningkat, tapi harus ditebus dengan harga-harga yang makin mahal, sawah menghilang, dan dampak kerusakan lingkungan yang berkepanjangan.
Dari Asap Pekat hingga Laut yang Tercemar
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, itulah yang rasakan warga transmigrasi desa Bunta.
Warga di lokasi itu menyebut kabut tebal selalu menyelimuti Dusun V di waktu pagi hari. Kabut itu berasal dari cerobong asap pembakaran batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik perusahaan.
Dewan Daerah Walhi Sulteng, Richard Labiro mengatakan kabut tebal yang ada di Desa Bunta diduga mengandung gas So2 atau sulfur dioksida yang merupakan gas beracun hasil pembakaran batu bara PLTU milik PT GNI.
Tidak hanya ancaman gas beracun, debu dari jalan yang dilalui pekerja menuju smelter juga membahayakan Kesehatan. Apalagi warga menyebutkan bahwa timbunan yang digunakan untuk pengerasan jalan adalah slag yang merupakan limbah dari pengolahan Nikel. Akan lebih berbahaya bila terhirup, dibandingkan debu dari tanah.
“timbunan dari slag itu lebih berbahaya kalau dihirup, karena merupakan sampah dari pengolahan bijih nikel. Jalan-jalan yang ditimbun disini memang banyak dilakukan oleh perusahaan, tapi materialnya adalah slag yang berbahaya bagi Kesehatan,” ujar Wahono warga desa Bunta.
Dampak lingkungan dari aktivitas PT GNI juga dirasakan oleh warga desa lingkar tambang. Aktivitas bongkar muat kapal tongkang batu bara oleh perusahaan yang memiliki luasan konsesi sekitar 712,80 hektar ini, mencemari laut. Warga Desa Tokonanaka tidak bisa lagi menangkap ikan.
Udin (50) salah satu nelayan Desa Tokonanaka mengatakan, sejak bongkar muat kapal batubara, laut tercemar dan ikan berkurang. Sebelumnya, hasil tangkapan nelayan paling sedikit bisa mencapai 100 kg per hari dan bisa dijual ke ibu kota di Kolonodale. Apalagi nelayan Desa Tokonanaka terkenal sebagai nelayan penghasil ikan, dan sudah memiliki langganan di pasar Kolonodale.
Saat ini, kata dia, sangat sulit mencari ikan di laut. Sehari terkadang bisa mendapat 3-5 ekor ikan berukuran kecil dan hanya untuk dikonsumsi oleh keluarga. Untuk mencukupi konsumsi sehari-hari, nelayan pun harus membeli ikan di pasar.
Udin menuturkan, kurangnya ikan di sekitar Tokonanaka mengharuskan nelayan mencari ikan di kabupaten tetangga yaitu Morowali agar tetap bisa bertahan hidup. Hasilnya tidak sebanding dengan biaya BBM yang harus mereka keluarkan menuju lokasi penangkapan.
Para nelayan menuntut dugaan pencemaran laut dan kerusakan rompong, harus ditindaklanjuti. Maka dari itu, warga meminta ganti rugi. Selain itu, tuntutan lainnya berupa penerangan lampu harus diadakan di sekitar rumpon dan jalur kapal di wilayah laut Desa Tokonanaka.
Direktur JATAM Sulteng, Taufik mengatakan, pemerintah harus membuka mata melihat kondisi warga lingkar tambang yang merasakan langsung dampak lingkungan dari aktivitas perusahaan nikel.
Pihak perusahaan tidak pernah memperhatikan dampak yang dirasakan warga di lingkar tambang. Seperti yang terjadi Desa Tokonanaka, aktivitas bongkar muat kapal-kapal besar dan tongkang batu bara PT GNI telah memicu terjadinya pencemaran di Teluk Tokonanaka. Sisa bongkar muat batu bara dibuang ke laut, mencemari perairan sekitar, belum lagi tumpahan minyak dari kapal – kapal pengangkut. Hal ini juga berdampak pada semakin menurunnya produktivitas dan menyempitnya wilayah tangkap.
Selain itu, ratusan keramba ikan milik nelayan pun ditabrak kapal dan tongkang batubara perusahaan. Dalam sebulan, kapal dengan kapasitas rata-rata 55 ribu MT itu bisa 7-8 kali lalu-lalang dan akan terus meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan produksi GNI.
Aco (47) warga desa Tokonanaka mengatakan, banyak sisa bongkar muat batu bara jatuh ke laut yang menyebabkan laut tercemar. Nelayan enggan melaut karena hasil tangkapan berkurang.
Menurut Aco, mencari pekerjaan saat ini sangat sulit, apalagi di usia 40 tahun ke atas yang dianggap tidak produktif lagi untuk diterima di PT GNI. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Aco terkadang menjadi buruh bangunan yang upahnya dibayar per hari.
“Kalau sekarang buruh harian itu dibayar Rp150 ribu per hari. Tapi pekerjaannya kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak. Jadi kita harus rajin keliling cari peluang pekerjaan. Kalau dulu masih banyak ikan, kami bisa dapat Rp3 juta per bulan, itu belum termasuk hasil rompong kami yang sekarang sudah rusak ditabrak kapal pengangkut batu bara,” kata Aco.
Sejak PLTU beroperasi, sebagian besar nelayan tidak lagi melaut dan beralih profesi menjadi buruh kasar, bahkan hingga mencari kerja di desa-desa tetangga. Warga sudah beberapa kali meminta perusahaan untuk bertanggung jawab atas tercemarnya laut, namun belum juga ada tanggapan. Belum lagi keramba milik nelayan yang rusak akibat ditabrak kapal-kapal yang melintas.
“Kami sudah beberapa kali meminta agar pihak perusahaan mengganti rugi keramba kami yang rusak karena ditabrak kapal, tapi tidak pernah dipenuhi. Nelayan didampingi kepala desa juga sudah bertemu dengan wakil rakyat di DPRD Morowali Utara, berharap agar bisa difasilitasi. Kami hanya bisa menunggu solusi dari mereka para wakil rakyat,” kata Aco.
Berbagai dampak lingkungan itu, membuat Kepala Desa Tokonanaka, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, bersama warganya yang mayoritas nelayan mendatangi gedung DPRD, Selasa (14/2/2023). Mereka mengadukan nasib terkait aktivitas kapal pengangkut batu bara yang bongkar muat di pelabuhan khusus PT. GNI.
Tuntutan nelayan itu ditindaklanjuti oleh DPRD pada 16 Februari 2023 dengan menghadirkan Dinas Transmigrasi, Dinas perikanan, Sat Pol PP, Pihak perusahaan, dan tiga kepala Desa di lingkar Tambang, serta beberapa perwakilan nelayan. Salah satu hasil rapat adalah akan memberikan kompensasi terhadap nelayan yang terdampak.
Meski begitu, kompensasi tak akan pernah bisa menggantikan laut Desa Tokonanaka yang tercemar. ***
Liputan ini merupakan Fellowship Akademi Jurnalisme Ekonomi dan Lingkungan yang diselenggarakan AJI Indonesia bekerja sama dengan Traction Energy Asia dan Harian Mercusuar.