PALU, MERCUSUAR – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), terus mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024.
Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa, Bawaslu Provinsi Sulteng, Muhammad Rasyidi Bakry, pada kegiatan Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Terkait Peran Pemantau Pemilu, Masyarakat dan Media pada Pemilu 2024, di Palu, Rabu (07/02/2024), mengatakan, pengawasan partisipatif diselenggarakan sebagai sarana pendidikan politik, kepemiluan, dan kelembagaan pengawas Pemilu bagi masyarakat.
Sejauh ini, kata dia, ada beberapa program pengawasan partisipatif dari Bawaslu, yakni pendidikan pengawas partisipatif, forum warga pengawasan partisipatif, pojok pengawasan, kerja sama dengan perguruan tinggi, kampung pengawasan partisipatif, dan komunitas digital pengawasan partisipatif.
Berkaitan dengan pengawasan partisipatif tersebut, ia mengisahkan saat dirinya menjadi Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sulteng pada Pemilu Tahun 1999.
Kala itu, kata dia, orang-orang begitu semangat karena merasa punya kepentingan yang sama untuk melihat bagaimana pemilu berlangsung secara demokrasi
“Cuma semakin ke sini, ketika peran Bawaslu semakin dikuatkan, kami menangkap pesan bahwa di sisi lain malah partisipasi masyarakat itu semakin menurun. Jadi seolah ada kesan masyarakat berpikir kan sudah ada Bawaslu yang mengawasi biarlah kita jadi penonton saja,” ungkapnya.
Padahal, kata dia, idealnya ketika Bawaslu semakin kuat, maka partisipasi masyarakat juga harusnya semakin meningkat juga.
“Karena kita sadari bahwa Bawaslu secara resource sangat terbatas, kita di provinsi ada 5 orang, di kabupaten ada yang 3 dan ada yang 5, panwascam hanya 3, bahkan di tingkat kelurahan/desa masing-masing hanya satu orang,” ujarnya.
Sejauh ini, lanjut dia, di Sulteng sudah banyak organisasi-organisasi, baik organisasi kepemudaan ataupun mahasiswa dan LSM yang mendaftar sebagai pemantau pemilu.
Namun, kata dia, kegiatan-kegiatan konkretnya belum terlihat. Menurutnya, kemungkinan hal ini karena keterbatasan anggaran.
“Jadi teman-teman juga mungkin agak kesulitan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang fokus untuk pengawasan Pemilu. Memang beda halnya ketika di tahun 99 dulu, ketika era demokrasi baru dimulai, sangat banyak dukungan dari berbagai donor dari luar negeri yang mensupport kegiatan-kegiatan pemantauan pemilu dan pendidikan pemilih. Tapi sekarang ini memang dukungan-dukungan serupa itu kelihatannya sudah semakin minim,” tambahnya.
Lebih lanjut Rasyidi menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemantau Pemilu yang berupa organisasi kemasyarakatan berbadan hukum, baik itu yayasan ataupun perkumpulan yang terdaftar pada pemerintah atau lembaga dari luar negeri dan perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Pemantau-pemantau pemilu tersebut memiliki hak, kewajiban dan juga larangan-larangan.
Pemantau pemilu, kata dia, dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu proses pelaksanaan Pemilu, mempengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya, mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu, memihak kepada peserta Pemilu tertentu.
“Selain itu dilarang menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung peserta Pemilu, menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apapun dari atau kepada peserta Pemilu dan lainnya. Jika itu dilanggar maka sanksinya dicabut status dan haknya dengan cara pencabutan akreditasi sebagai pemantau Pemilu oleh Bawaslu,” tutupnya.CR1