MALAM itu lewat pukul 10, suasana Desa terlihat sepi, sebagian besar warga memilih kembali ke peraduan, beristirahat mempersiapkan diri untuk aktivitas esok hari. Setelah melalui perjalanan selama kurang lebih 12 jam dari desa Sagea, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, kami akhirnya tiba di Desa Saloat, kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Laporan : Kartini Nainggolan/Yunita Kaunar/Desi Triana
Sedikit menguras tenaga, sebagian akses jalan yang kami lewati menggunakan kendaraan roda empat pada, Sabtu 4 November 2023 terbilang cukup para, apalagi di beberapa titik yang ada aktivitas perusahaan tambang. Jalan umum seolah dibiarkan rusak sehingga menyulitkan kendaraan kami untuk melintas.
Saat berada di desa Sagea, kami mendapatkan kabar bahwa ada warga suku Tobelo Dalam atau masyarakat adat O Hongana Manyawa yang keluar hutan dan tinggal di salah satu rumah warga di Saloat. Dia adalah Meme Maratana.
Malam itu, kami sedikit tidak beruntung, karena setiba di desa Saloat, ternyata Meme sudah tidur. Kami akhirnya diizinkan menginap di salah satu rumah warga agar esok hari bisa kembali untuk menemui Meme.
Pagi itu pukul 06.00 WIT, Minggu 5 November 2023, udara terasa masih sangat dingin, namun dipondok kecil berukuran sekitar 1,5 x 2 meter terlihat seorang perempuan duduk sendiri tanpa menggunakan sehelai baju dan hanya menggunakan sarung untuk menutupi sebagian tubuhnya. Udara pagi itu seperti tidak membuat tubuh merasakan dingin.
Awal bertemu, wajah Meme terlihat bingung. Mengingat Meme sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia, kami akhirnya dibantu oleh Gigoro dan istrinya untuk menjelaskan maksud dan tujuan kami ingin bertemu dengannya.
Sejak April 2023, Meme terpaksa meninggalkan hutan Ake Jira. Ternyata, Meme mengalami kelaparan karena hasil buruannya hilang dan dedaunan yang biasa disantapnya tergerus oleh alat berat milik perusahaan tambang.
Meme Maratana adalah ibu kandung Bokum, seorang warga O Hongana Manyawa yang pernah dihukum atas tuduhan pembunuhan. Meme yang berusia sekitar 95 tahun, kini menjalani hidup sendirian karena anak-anaknya telah pergi bersama keluarga, melanjutkan kehidupan di hutan Ake Jira. Gigoro, anak dari saudara kandung Meme yang akhirnya membawanya keluar dari hutan.
Gigoro menceritakan bahwa ketika berkunjung ke Ake Jira, Meme terlihat dalam keadaan ketakutan dan pucat, badannya terlihat kurus. Meskipun sebelumnya Ngigoro yang sudah lama meninggalkan hutan tidak pernah meminta keluarganya untuk segera meninggalkan hutan, kini ia bertekad membawa Meme keluar dari hutan untuk menyelamatkan nyawanya.
Selama dua hari di hutan Ake Jira, Gigoro berusaha membujuk Meme untuk turun. Namun, ketakutan Meme Maitana terhadap masyarakat pesisir begitu besar.
“Ibu (Meme) saya ini jauh, jadi nanti sebulan baru saya datang,” kata Gigoro membujuk sang tante untuk ikut dengannya.
Menurut Gigoro, budaya dari suku O Hongana Manyawa sangat kuat. Ketika hati dan jiwa telah menyatu dengan hutan, sangat sulit untuk pindah ke tempat lain yang bukan hutan. Dahulu, Meme tinggal bersama suami, anak-anak, menantu, dan cucu. Namun, karena merasa terganggu oleh eksploitasi tambang, keluarga Meme keluar dari hutan. Meme masih ingin bertahan di hutan Ake Jira.
Pada suatu waktu, Gigoro sempat kehilangan jejak Meme Maitana karena ternyata Meme sudah berpindah lokasi untuk bertahan hidup. Untungnya, langkah Meme tidak begitu jauh dari lokasi sebelumnya. Meme bahkan bersyukur ketika Ngigoro datang bersama seorang aktivis lingkungan Halmahera. Sepertinya, ada yang datang menjenguknya.
Ternyata, Meme berpindah lokasi karena luasnya konsesi lahan yang dilakukan oleh perusahaan tambang yang mengancam wilayahnya. Meme mengungkapkan bahwa ia kelaparan di hutan karena kehilangan hasil buruan. Selama tiga bulan tanpa hasil buruan, tubuh Meme menjadi kurus. Awalnya, Meme bersikeras tinggal di hutan, tetapi akhirnya dengan terpaksa meninggalkan rumahnya dan pergi bersama keponakannya, Ngigoro.
Di perjalanan menuju pemukiman warga, Gigoro dan Meme nekat menumpang di mobil perusahaan tambang yang beroperasi di hutan Ake Jira. Namun, Meme yang tidak terbiasa naik kendaraan terlihat ketakutan hingga muntah.
Saat tiba di Desa Saolat, Meme kelelahan. Ngigoro akhirnya dibantu oleh warga setempat, termasuk Mama Leani (50), ibu dari Yuliani Pihang (29). Meskipun tidak memiliki hubungan darah, mereka bersedia menampung Meme dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Yuliani Pihang sendiri adalah seorang aktivis lingkungan yang kerap memperjuangkan hutan adat O Hongana Manyawa. Tindakan Gigoro memastikan kondisi Meme dan dukungan dari Yuliani Pihang menjadi pendorong langkah selanjutnya.
Tubuh Meme begitu lembut, dihiasi oleh garis kerutan yang membentang di sekujur tubuhnya. Rambutnya telah memutih, dan matanya menatap tajam, menyiratkan kebijaksanaan. Sesekali, Meme Maitana menyelipkan candaan dengan kehangatan yang memancar. Senyum di wajahnya terlihat ringan, tanpa beban. Jika kita mencoba menebak pikiran Meme, mungkin terdapat pertanyaan dalam hatinya mengenai akhir hidupnya nanti. Apakah ia akan kembali ke tanah leluhurnya hingga akhir hayat? Ataukah ia akan menutup mata di tempat lain selain tanah leluhur?
Kehangatan keluarga Yuliani Pihang membuat Meme merasa sangat nyaman tinggal di pedesaan. Ia tidak merasa seperti orang asing, melainkan seperti nenek kandung sendiri. Meskipun Meme memiliki gaya hidup yang berbeda di hutan, keluarga Yuliani Pihang menerima keberadaannya tanpa keberatan.
Trauma karena kehabisan bahan makanan di hutan membuat Meme enggan kembali ke rumah lamanya. Ia memilih untuk menjaga diri, meski itu berarti harus melepaskan tanah leluhurnya. Tidak ada yang tersisa kecuali kenangan, ditambah dengan beberapa perabot yang berhasil ia bawa dari Ake Jira.
Beradaptasi dengan Kehidupan di Pedesaan
Tujuh bulan Meme tinggal di desa Saloat. Meski sudah berlalu beberapa bulan, Meme masih kesulitan untuk beradaptasi. Ia enggan memasuki rumah karena terganggu dengan suara gemuruh hujan yang jatuh ke atap. Bahkan untuk makan, Meme tidak mampu menikmati masakan rumahan dengan cita rasa bumbu khas Halmahera. Oleh karena itu, ayah Yuliani Pihang membangunkan sebuah rumah di Desa Saolat yang mirip dengan yang ada di hutan, beratapkan rumbia dengan dinding kayu. Meski tidak seindah tempat persinggahan di hutan, Meme berusaha untuk memakluminya.
Meme tetap mempertahankan gaya hidup tradisional O Hongana Manyawa. Bahkan dalam memasak, ia menggunakan bambu sebagai wadah untuk memasak air dan makanannya. Tas yang terbuat dari dedaunan dan senjata berburu tetap menjadi bagian dari perlengkapan Meme.
Satu-satunya kegiatan yang tidak dilakukan Meme adalah berburu dan mencari ikan di sungai. Oleh karena itu, ia mendapatkan ikan dari tuan rumah untuk memenuhi kebutuhan makanannya, termasuk nasi dan umbi-umbian.
Setiap hari, Meme memasak dan membagikan hasil masakannya kepada orang-orang di rumah. Meskipun kadang-kadang tuan rumah mencoba membalas kebaikannya dengan makanan khas Halmahera, Meme tetap menolak karena tidak sesuai dengan selera dan kebiasaannya.
Gigoro merasa sedih melihat nasib leluhur dan Meme Maratana. Dampak dari pengerukan nikel di Ake Jira menghancurkan generasi penerus O Hangana Manyawa yang selama ini hidup damai di hutan. Dengan tegas, Gigoro menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah dan perusahaan adalah bentuk penjajahan. Mereka dianggap memanfaatkan ketidakpahaman O Hongana Manyawa untuk mengambil kekayaan alam tanpa izin.
“Kalau memang kita bodoh, ya kita orang bodoh. Tapi secara kasar, dunia ini belum merdeka. Hak milik orang harus dihormati. Tapi jika hak milik kita diambil orang lain, itu artinya masih ada penjajahan,” ujarnya.
Gigoro berusaha membuka jalur musyawarah dengan pihak perusahaan untuk mengatur wilayah tanpa harus merusak hutan Ake Jira. Ia ingin membagi hutan tersebut agar tidak habis sepenuhnya.
“Baru-baru ini, saya mencoba berbicara dengan perusahaan untuk bekerja sama mengatur wilayah tanpa harus menghancurkan hutan Ake Jira sepenuhnya,” jelasnya.
Namun, Gigoro sadar bahwa dirinya hanya seorang individu yang tidak memiliki kekuatan besar. Meskipun ia bersikap pasrah, di sisi lain, ia tetap bertekad untuk melawan hingga titik darah penghabisan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan hutan Ake Jira sebagai tempat makam leluhur dan ratusan masyarakat adat yang tinggal di dalamnya.
Rumah Mereka adalah Hutan
Sebelum kehidupan Meme Maratana diambil paksa, Yuliani Pihang segera mengambil langkah dengan menyelamatkan Meme di kediamannya. Yuliani menyadari bahwa seberapa pun nyaman tempat tinggal Meme saat ini, ia pasti akan selalu merindukan hutan. Meskipun begitu, Yuliani Pihang juga bertekad untuk mempertahankan Ake Jira sebagai tanah leluhur, meski eksploitasi tambang nikel besar-besaran terus berlanjut dan sulit dihentikan.
“Apapun yang terjadi, Meme akan tetap merindukan hutan. Karena hutan adalah rumah. Saya harap, walaupun proses eksploitasi telah dimulai, kita bisa bersama-sama berjuang untuk membangun tembok pemisah antara hasil perusahaan dan tempat tinggal masyarakat Tobelo Dalam,” ujarnya.
“Meskipun kita tidak bisa menghentikan semuanya, kita harus memperjuangkan yang masih bisa kita pertahankan di sana (hutan). Kita harus peduli, karena bukan hanya Meme yang memiliki masa lalu di sana, tetapi juga anak cucu yang masih berada di dalam hutan. Mereka jumlahnya banyak, mungkin ratusan atau ribuan,” tambahnya.
Namun, menurut Yuli sapaan akrab Yuliani Pihang, masyarakat Tobelo Dalam sulit dijangkau oleh orang asing.
“Mereka sangat sulit dijangkau. Jadi kita harus menghormati itu. Namun, kita tidak boleh berhenti berjuang. Bahkan pemerintah juga harus memperhitungkan jumlah mereka. Mereka perlu tahu bahwa masyarakat Tobelo Dalam ada di sana. Jika mereka merasa terancam, pasti mereka akan keluar. Walaupun perjuangan ini mungkin memerlukan waktu, kita tidak boleh gegabah dalam hal ini,” katanya.
Yuli menyampaikan bahwa selama ini, masyarakat Tobelo Dalam tidak pernah dilibatkan dalam proses pengerukan hutan Ake Jira untuk kepentingan eksploitasi nikel oleh berbagai perusahaan tambang yang beroperasi dengan izin dari PT Weda bay Nickel dan IWIP.***