iang itu, suasana Desa sedikit lengang, sebagian besar masyarakatnya masih berada di lahan perkebunan. Setelah melewati satu induk dan empat anak sungai, saya bersama tiga rekan saya akhirnya tiba di dusun Salubalimbi, Desa Lampo, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah (Sulteng).
Laporan : Kartini Nainggolan / Wartawan Mercusuar
Sedikit menguras tenaga, akses jalan yang kami lewati menggunakan kendaraan roda empat pada Jumat 16 Desember 2016 terbilang cukup parah. Jalan setapak dipaksa menjadi jalur masuk ke dalam dusun bagi kendaraan kami.
Desa Lampo, merupakan salah satu dari delapan desa di Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala yang berjarak ± 3,5 KM dari ibukota Kecamatan Desa Limboro, ± 13,5 KM dari ibukota kabupaten dan ±55 Km dari ibukota Provinsi. Dusun II Salubalimbi merupakan salah satu dusun dari tiga dusun yang ada di Desa Lampo.
Luas wilayah Desa Lampo 852 Ha (hasil Pemetaan Partisipatif masyarakat Desa Lampo 2012 ) terdiri dari 376 Ha kawasan hutan lindung dan 476 Ha kawasan areal penggunaan lain.
Kawasan hutan di desa Lampo berstatus Kawasan Hutan Lindung (LH). Tetapi saat ini Wilayah Dusun Salubalimbi telah masuk dalam program skema hutan Desa. Kawasan Hutan di Desa Lampo, sebagian besar berada di kawasan dusun Salubalimbi berjarak 400 meter yang menjulang ke atas dan berbatasan dengan kawasan hutan Desa Powelua. Selain itu, kawasan hutan dibagian bukit harapan berbatasan langsung dengan Desa Powelua di daerah Kanavu Ntobete dan bersebelahan dengan kawasan hutan desa Tosale.
Ada hal menarik yang saya temukan di Desa Lampo, dimana masyarakat setempat secara turun temurun masih menggunakan ritual – ritual adat untuk meminta izin kepada penunggu hutan dengan menggunakan sambulugana (terdiri atas pinang, siri, tembakau dan nasi) dan nogene – gene. Hal ini dilakukan agar penunggu hutan tidak marah.
Mempertahankan adat istiadat dalam mengelola Sumber daya alam, merupakan salah satu cara masyarakat setempat untuk memanfaatkan seluruh potensi yang ada di dalam hutan sembari tetap menjaga keutuhan hutan tanpa merusak apa yang ada didalamnya termasuk tumbuhan dan hewan.
Hutan bagi masyarakat Desa Lampo, merupakan rumah dan nyawa bagi mereka. Sejak pemerintah menetapkan Hutan di desa Lampo sebagai kawasan hutan desa pada Februari 2016, masyarakat sudah mulai mengetahui pola pemanfaatan hutan yang baik dan benar, serta tidak bertentangan dengan kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah.
- Tawaran Investasi Ditolak Warga
ahun 2014, pasca dilakukan pemetaan wilayah pada 2013, masyarakat Desa didampingi Yayasan Merah Mutih (YMP) Provinsi Sulteng, mulai melakukan pembenahan. Puluhan ribu jenis pohon telah ditanam disekitar hutan Desa Lampo.
YMP Sulteng yang membantu warga desa dari sisi kelembagaan untuk mendapatkan legalitas hutan Desa, mulai berjuang sejak tahun 2010. Pada 2013, akhirnya mendirikan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan mengurus administrasi dari Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Sebelum ditetapkan sebagai hutan desa, kami sama sekali tidak tahu cara mengelola dan memanfaatkan hutan dengan baik. Yang kami tahu hanya mengambil saja apa yang ada di dalam hutan, tanpa tahu apa yang harus kami lakukan agar hutan kami tetap lestari demi kelangsungan hidup anak cucu kami nanti,” kata Cepi warga Dusun II Salubalimbi.
Cepi (48) adalah salah satu petani nilam yang mendiami sekitar hutan desa Lampo sejak enam tahun yang lalu. Pola pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh warga lainnya sejak ditetapkannya Hutan Desa Lampo, mulai terarah. Mereka mulai mengetahui fungsi hutan yang sebenarnya, tanpa mengenyampingkan keperluan mereka sendiri.
Sebelum adanya penetapan Hutan Desa, beberap kali pemilik Perusahaan masuk di Desa untuk menawarkan kerjasama yang secara ekonomi menjanjikan. Tawaran itu ditampik oleh warga, dengan mendapatkan sedikit cemoohan sebagai warga bodoh yang dilontarkan oleh salah satu pemilik perusahaan.
Seperti yang diceritakan oleh ketua RT Dusun II Salubalimbi, Ruspan, salah satu perusahaan sawit pernah datang dan berdialog dengan masyarakat menawarkan investasi perkebunan kelapa sawit.
Demi mempertahankan keutuhan hutan di Desa, warga kompak untuk menolak perusahaan itu. Tahun yang sama kata Ruspan, masuk lagi perusahaan sawit yang juga menawarkan investasi yang sama, namun kembali mendapat penolakan dari warga.
Tahun berikutnya, kembali satu perusahaan mebel masuk ke hutan di Desa Lampo dan tertarik untuk mengambil hasil hutan merupakan kayu lokal yang selama ini di impor. Hal yang sama disepakati warga, kembali menolak tawaran pengusaha tersebut, dan sejak saat itu tidak ada lagi perusahaan yang datang menawarkan investasi.
Menurutnya, warga sudah memikirkan potensi bencana jika ratusan hektar hutan mereka dikelola menjadi perkebunan kelapa sawit. Apalagi kata dia, sumber air warga yang diandalkan dari aliran air terjun Pangasintoli akan hilang jika investasi tersebut benar – benar dilakukan.
Kepala Bidang Pembinaan Hutan, Dinas Kehutanan Donggala, Rahmat Mirza Zulkifli mengatakan, sejak ditetapkannya Hutan di Desa Lampo sebagai kawasan hutan Desa, Pemerintah Kabupaten Donggala melalui dinas Kehutanan selalu melakukan dialog secara formal dan informal untuk membicarakan apa kebutuhan warga dan apa yang harus dilakukan. Setelah menggali mulai dari bawah, Dinas kemudian membuat program untuk bisa memberikan dukungan maupun bantuan.
Hal penting untuk menciptakan keadaan yang baik sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan kata Rahmat, menciptakan lapangan kerja yang cukup majemuk bagi masyarakat, peningkatan pendapatan dan taraf hidup dan memberikan bimbingan serta penyuluhan kepada masyarakat.
Berkaitan dengan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, perlu adanya peran aktif pemerintah dalam peningkatan sumber daya manusia sekitar hutan yang berkualitas, sehingga dalam pengelolaannya masyarakat sekitar hutan dapat memahami prinsip-prinsip pelestarian hutan dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Sumber Air Bersih Donggala ada di Hutan Desa Lampo
Sementara itu, Koordinator Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBN) YMP Sulteng, Edy Wicaksono mengatakan, keputusam dari KLHK Indonesia Nomor SK.87/Menlhk/Setjen/PSKL.2/2/2016 tentang Penetapan areal kerja hutan Desa Lampo Seluas ± 215 Hektar pada kawasan hutan lindung di Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala, Provinsi Sulteng telah ditekan pada 5 Februari 2016.
Menurutnya, Karena hutan di Desa Lampo berstatus hutan lindung, maka pemanfaatan hutan desa oleh warga hanya hasil hutan non-kayu seperti bambu, rotan, madu, buah – buahan, aren (untuk pembuatan gula aren) serta jasa lingkungan seperti sumber air dan wisata.Di kawasan hutan desa Lampo, ada air terjun bertingkat yang menyajikan keindahan dan kesejukan dari airnya.
Air terjun Terus dipromosikan dan dijaga agar dapat dikembangkan menjadi salah satu destinasi wisata.Air dari hutan Desa hingga saat ini, dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi dan menjadi salah satu sumber air bersih untuk Kabupaten Donggala.
Hutan seluas 215 hektar telah ditetapkan sebagai hutan desa berkat kegigihan warga mempertahankan hutan dari aktivitas yang merusak dengan tetap memanfaatkan potensi yang ada sembari menjaga kelestarian demi kelangsungan hidup anak cucu.Berdasarkan kajian YMP Sulteng, hutan Desa Lampo menyimpan sejumlah fauna endemik.
Ada enam jenis bambu yang tumbuh di hutan. Selain itu, Ada pula pohon endemic yang menjulang di bantaran sungai yang oleh warga disebut lekotu.
Hutan juga menjadi habibat dua satwa endemik Sulawesi, yaitu burung rangkong (Buceros) dan monyet hitam sulawesi (macaca nigra).Keberhasilan penyelenggaraan hutan Desa sangat bergantung pada kelompok tani itu sendiri.
Oleh karena itu, kelompok tani harus mampu menjawab keraguan publik terhadap kemampuan masyarakat mengelola hutan secara lestari. Kontrak hutan desa selama 35 tahun dan bisa diperpanjang satu periode lagi berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.***