POSO, MERCUSUAR – Wayamasapi, cara unik menangkap ikan menggunakan pagar bambu atau dikenal sebagai pagar Sogili menjadi simbol kearifan lokal masyarakat adat Pamona di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Tradisi ini tidak hanya mewakili identitas budaya, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di sekitar Danau Poso.
Namun, ancaman besar kini datang dari proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso. Masyarakat adat dipaksa membongkar Wayamasapi mereka oleh pihak perusahaan untuk memberi ruang bagi pengembangan bendungan.
Energi terbarukan kini menjadi fokus utama banyak perusahaan energi dan lembaga kelistrikan yang berinvestasi dalam proyek ramah lingkungan. Salah satu proyek yang sedang dikembangkan adalah Poso Energy dengan kapasitas 515 megawatt (MW) yang berlokasi di Kabupaten Poso, Sulteng.
Poso Energy telah mengembangkan solusi energi hijau yang inovatif melalui pemanfaatan sumber daya air Danau Poso. Perusahaan ini membangun PLTA, yang diresmikan oleh mantan Presiden Joko Widodo pada tahun 2022. PLTA ini memanfaatkan air dari Danau Poso dan menggabungkan teknologi canggih berupa turbin air untuk mengonversi potensi hidroenergi menjadi listrik.
Meskipun proyek ini menghasilkan energi bersih, pengembangan PLTA ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, terutama pada ekosistem Danau Poso. Masyarakat adat yang selama berabad-abad bergantung pada sumber daya alam dari danau tersebut kini menghadapi ancaman serius terhadap kelangsungan hidup dan budaya mereka.
Pembangunan bendungan oleh Poso Energy untuk mengoperasikan turbin telah mengganggu pola hidup masyarakat adat, khususnya nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan ikan dari Danau Poso. Tradisi Wayamasapi mulai terkikis akibat pengembangan bendungan oleh PLTA Poso.
Fredy Kalengke adalah satu-satunya masyarakat adat Pamona di Tentena, Kabupaten Poso, yang hingga kini tetap mempertahankan tradisi Wayamasapi, sebuah warisan leluhur yang nyaris punah. Di tengah tekanan perusahaan pengembang PLTA Poso, Fredi berdiri teguh melawan segala bentuk upaya pembongkaran tradisi ini.
“Dulu ada ratusan Wayamasapi di sepanjang Danau Poso,” kata Fredy, mengenang masa lalu. Namun, pembangunan bendungan PLTA Poso menjadi pemicu runtuhnya tradisi ini. Banyak pemilik Wayamasapi menyerah dan membongkar peninggalan tersebut setelah menerima kompensasi dari perusahaan.
Bagi Fredy, tradisi bukan sekadar bangunan. Lebih dari itu, Wayamasapi adalah simbol identitas, sejarah, dan kebanggaan masyarakat adat Pamona yang diwariskan turun-temurun.
“Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah menyerahkan tradisi dari nenek moyang kami hanya demi uang,” ujarnya, Sabtu (14/12/2024).
Fredy mengungkapkan bahwa sudah beberapa kali pihak perusahaan mencoba bernegosiasi agar Wayamasapi miliknya dibongkar. Namun, Fredy tetap bersikukuh. Penolakan tersebut tidak jarang diiringi intimidasi, baik dari perusahaan, pemerintah, hingga keluarga sendiri yang mendesaknya untuk menerima kompensasi. Meski demikian, ia tetap bertahan.
Menurutnya, satu warisan budaya Pamona yaitu Jembatan Yondo mPamona yang ada di Tentena sudah hilang pasca pengembangan PLTA Poso energi. Jembatan Yondo mPamona sebagai simbol semangat Mesale atau bergotong royong yang dibangun oleh leluhur suku Pamona dibongkar oleh pihak Perusahaan dengan dalil hendak memperindah jembatan dengan menghilangkan ciri khas dari jembatan.
Fredy kini berdiri sebagai benteng terakhir tradisi Wayamasapi. Di tengah tekanan ekonomi, keputusannya mempertahankan warisan leluhur adalah cerminan keberanian. Fredi tidak ingin tradisi Wayamasapi lenyap seperti Jembatan Yondo mPamona.
Wayamasapi: Melawan Lupa, Merawat Harapan
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti Danau Poso. Fredy berdiri di tepi danau, memandang pagar bambu Wayamasapi yang sudah mulai rapuh. Sepanjang hidupnya, tradisi ini adalah napas yang memberinya penghidupan dan identitas. Wayamasapi bukan sekadar perangkap ikan, ini adalah simbol kebersamaan, keberlanjutan, dan warisan leluhur suku Pamona. Namun, semua itu kini di ambang kehancuran.
Fredy (65) adalah generasi ketiga dalam keluarganya yang merawat Wayamasapi. Sejak kecil, ia mendengar banyak cerita ibunya tentang bagaimana sang kakek merancang pagar bambu ini dengan cermat, memastikan tidak ada kerusakan pada ekosistem danau.
“Kami hanya mengambil apa yang Tuhan berikan,” katanya, mengenang kata-kata ibunya. Tradisi ini telah membantu keluarganya bertahan hidup, bahkan menyekolahkan anak-anak hingga perguruan tinggi. Namun, perubahan besar menghantam mereka ketika proyek PLTA diresmikan.
Sebelum bendungan dan turbin PLTA beroperasi, Wayamasapi milik Fredy mampu menghasilkan ikan sidat hingga 40 kg per hari. Dengan harga Rp 100 ribu per kilogram, pendapatan mereka bisa mencapai ratusan juta per bulan. Kini, hasil tangkapan itu anjlok drastis.
“Sekarang, dalam sebulan hanya dapat 40 kg. Itupun kalau beruntung,” ujar Fredy dengan nada pahit. Ikan yang tertangkap pun ukurannya kecil, jauh dari ukuran yang mereka dapatkan sebelumnya.
Fredy mengenang masa lalu dengan penuh kegetiran. Dahulu, Wayamasapi berdiri kokoh di sepanjang Danau Poso. Ada sekitar 300 unit yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Kini, hanya tersisa tiga unit, termasuk miliknya. Yang lain telah hilang, diruntuhkan oleh pengerukan dasar danau atau dilepas setelah menerima kompensasi perusahaan. Tetapi bagi Fredy, uang kompensasi bukan solusi.
“Saya tidak ingin anak cucu saya kehilangan identitas mereka. Ini bukan hanya tentang ikan Masapi, tapi tentang siapa kita dan bagaimana kita menghargai warisan leluhur, karena pasti setiap tradisi yang ditinggalkan leluhur punya cerita dan makna sendiri yang harus diteruskan oleh generasinya” tegas Fredy.
Setiap pagi, Fredy memeriksa Wayamasapi, berharap menemukan ikan sidat di dalamnya. Namun sering kali, ia pulang dengan tangan hampa. Usai memeriksa perangkap, ia beralih ke kebun yang tidak jauh dari rumahnya.
Pertanian kini menjadi sandaran hidupnya yang baru. Meskipun hasil panen tidak sebanyak tangkapan ikan sidat dulu, Fredy tetap berjuang. Baginya, bertahan adalah bentuk penghormatan terhadap leluhurnya.
Fredy bukan satu-satunya yang merasa kehilangan. Di Tentena, komunitas suku Pamona lainnya juga merasakan hal serupa. Bagi mereka, Wayamasapi adalah identitas, pengingat akan akar mereka. Tradisi ini mengajarkan mereka tentang gotong royong, kesederhanaan, dan keseimbangan dengan alam. Namun kini, mereka hanya bisa menyaksikan perlahan tradisi itu terkikis oleh modernisasi.
Wayamasapi dijadikan sebagai salah satu matapencarian masyarakat di sekitar danau Poso. Mereka memasang pagar bambu yang mereka sebut dengan Waya di sepanjang danau Poso sebagai perangkap sehingga ikan Sidat atau Masapi akan masuk dalam perangkap tersebut.
Satu Wayamasapi terdiri dari satu kelopok yang beranggotakan delapan orang, dimana setiap orang akan mendapatkan giliran untuk memanen hasil tangkapan.
“Satu orang anggota nanti akan dapat giliran jaga waya per satu malam. Misalnya saya malam ini dapat jatah jaga, jadi saya yang berhak untuk panen dipagi hari. Malam berikutnya giliran anggota lainnya dan begitu seterusnya sampai delapan anggota semua dapat giliran, nanti kembali lagi seperti itu. Kami tidak pernah iri kalau ada teman yang dapat hasil lebih banyak dari yang kami dapat. Apa yang kami dapat hari ini, itulah yang Tuhan sudah berikan dan kami tetap bersyukur,” kata Fredi.
Menghilangkan Tradisi Melanggar Undang-Undang
Manager Lingkungan dan CSR PT. Poso Energy, Irma Suryani, mengatakan, pagar Sogili di kawasan jembatan Yondo Mpamona terlihat kumuh. Irma mmengungkapkan bahwa pemerintah bersama perusahaan berencana menata ulang pagar sogili dengan desain zig-zag .Langkah ini diambil tidak hanya untuk mempercantik kawasan tetapi juga demi memperbaiki ekosistem Danau Poso.
Penataan ini kata Irma, sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menunjukkan bahwa keberadaan Wayamasapi, teknologi tradisional penangkapan ikan yang juga digunakan di sekitar danau Poso dapat menghambat migrasi sidat menuju laut. Bahkan Irma mengungkapakn bahwa Wayamasapi bukan bagian dari budaya masyarakat, namun itu hanya tata cara masyarakat menangkap ikan yang sudah dilakukan oleh orang tua mereka.
Dalam ekosistemnya, sidat memiliki siklus hidup yang unik, bermigrasi dari sungai dan danau menuju lautan untuk berkembang biak. Namun, pagar sogili dan Wayamasapi disebut-sebut sebagai salah satu kendala utama bagi perjalanan alami mereka.
Rencana ini tidak luput dari kritik. Bagi masyarakat adat Pamona, pagar sogili dan Wayamasapi bukan sekadar alat tangkap ikan. Tradisi ini merepresentasikan nilai gotong royong, kearifan lokal, dan hubungan harmonis dengan alam. keberadaan bendungan dan turbin PLTA memicu kekhawatiran akan hilangnya tradisi yang telah bertahan selama puluhan, bahkan ratusan tahun.
Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan dan Pelestarian Kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi Sulteng, Drs Iksam Djorimi, M.Hum mengatakan menghilangkan tradisi atau budaya di satu daerah adalah bentuk pelanggaran Undang-Undang(UU). Tradisi Wayamasapi, sebagai warisan budaya suku Pamona, memiliki dasar hukum yang kuat untuk dilindungi. Tradisi ini termasuk dalam kategori Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), yang dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Menurut Iksam, pemerintah daerah Kabupaten Poso melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus segera mengambil langkah konkret dengan mendaftarkan Wayamasapi ke dalam Data Pokok Kebudayaan (Dapobud) di tingkat kabupaten.
“Setelah terdaftar, proses ini dapat dilanjutkan ke tingkat provinsi dan diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Jika sudah ditetapkan, status ini akan mengikat secara hukum dan menjamin pelindungan tradisi tersebut,” kata Iksam, Selasa (17/12/2024).
Mneurutnya, hubungan antara masyarakat adat suku Pamona dan Danau Poso adalah bagian integral dari sejarah dan kebudayaan lokal yang telah ada sejak awal kehidupan di wilayah tersebut.
“Menghilangkan tradisi ini sama dengan mencabut akar budaya masyarakat Pamona. Danau Poso dan kehidupan masyarakat adat sekitarnya tidak dapat dipisahkan,” tegasnya.
Penurunan jumlah Wayamasapiakibat proyek strategis, seperti pembangunan PLTA Poso, menjadi perhatian serius. Dari pantauan beberapa tahun terakhir, Wayamasapi telah berkurang drastis dan bahkan hampir punah.
“Kondisi ini memerlukan penyelamatan segera. Pelestarian kebudayaan harus dimulai dari tiga langkah utama, yaitu pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan,” ujar Iksam.
Terkait proyek pembangunan energi, Iksam mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus memperhatikan dampak negatif terhadap tradisi budaya dan lingkungan.
“Jika proyek strategis sudah terbangun, upaya mitigasi diperlukan untuk mengurangi dampak buruk. Jangan sampai ada lagi kegiatan yang mengubah bentang alam atau menggusur situs budaya di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Poso,” katanya.
Ia juga menekankan perlunya komitmen dari pemerintah daerah, masyarakat, dan perusahaan untuk memastikan pelindungan tradisi budaya yang masih hidup.
“Contohnya, beberapa tahun lalu ada kesepakatan dengan perusahaan terkait pembuatan jalan yang nyaris menggusur situs penguburan leluhur. Melalui dialog dan komitmen bersama, solusi dapat dicapai tanpa merusak nilai budaya. Demikian dengan tradisi Wayamasapi, seharunya pemerintah maupun pihak Perusahaan duduk Bersama untuk bisa melahirkan satu kesepakatan yang tidak merugikan pihak manapun,” terang Iksam.
Menanggapi pernyataan pihak tertentu yang menyebut Wayamasapibukan bagian dari budaya, Iksam menolak dengan tegas.
“Itu pernyataan yang keliru. Tradisi Wayamasapijelas-jelas bagian dari warisan budaya suku Pamona yang memiliki nilai sejarah dan filosofi tinggi. Pemerintah daerah harus mendukung penuh pelestarian tradisi ini,” pungkasnya.
Restocking dan Rehabilitasi: Upaya PT Poso Energy Menjaga Danau Poso?
Danau Poso, yang terletak di Sulawesi Tengah, memiliki peran strategis sebagai salah satu sumber daya alam yang mendukung pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Dengan ketinggian 510 meter di atas permukaan laut, danau ini menyediakan potensi besar untuk energi bersih, menjadikannya pusat operasi PLTA Poso yang dikelola oleh PT Poso Energy.
PLTA Poso memiliki kapasitas 515 MW, menjadikannya pembangkit energi baru terbarukan (EBT) terbesar di kawasan Indonesia Timur. Dengan skema Build-Operate-Transfer (BOT), proyek ini akan diserahkan kepada PT PLN (Persero) setelah masa operasional 30 tahun. Energi yang dihasilkan dari PLTA ini digunakan untuk melayani beban puncak di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara, membawa dampak positif bagi sistem kelistrikan di daerah-daerah tersebut.
Humas PT Poso Energy, M Syafri mengungkapakan bahwa perusahaan berkomitmen menjaga ketersediaan air dan kelestarian ekosistem di sekitar dua bangunan air PLTA Poso, yaitu Regulating DAM dan Weir.
Untuk mendukung keanekaragaman hayati, kedua fasilitas ini telah dilengkapi dengan jalur migrasi ikan atau fishway, yang memungkinkan ikan bermigrasi dari danau ke muara dan sebaliknya. Efektivitas fishway ini telah diuji secara ilmiah oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Dinas Perikanan Kabupaten Poso dan Fakultas Perikanan Universitas Tadulako Palu.
Sejak tahun 2012, PT Poso Energy juga telah menjalankan program restocking ikan sidat atau Sogili yang merupakan spesies endemik Danau Poso. Hingga saat ini, sebanyak 1.045 kg ikan telah dilepaskan kembali ke ekosistem, baik di muara Sungai Poso maupun di danau. Program ini tidak hanya melibatkan perusahaan tetapi juga mengikutsertakan berbagai pihak, termasuk Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), komunitas bengkel sidat di Poso, serta pelaku konservasi lokal. Salah satu metode yang digunakan dalam pelestarian adalah tagging ikan di beberapa titik di hulu dan hilir sungai untuk memantau pola migrasi dan populasi ikan sidat secara efektif.
Selain itu kata Syafri, pelestarian lingkungan di sekitar Danau Poso juga mencakup rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) yang kritis. Berdasarkan peta lahan kritis dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Palu-Poso, PT Poso Energy aktif melakukan identifikasi dan pemulihan lahan yang membutuhkan perhatian. Kegiatan ini melibatkan masyarakat lokal, yang diberdayakan melalui pendekatan kolaboratif. Perusahaan bekerja sama dengan kelompok masyarakat pemilik lahan kritis untuk menentukan jenis tanaman yang sesuai, membentuk kelompok tani, memberikan penyuluhan, serta mendistribusikan bibit tanaman.
Proses rehabilitasi tidak berhenti pada tahap penanaman. PT Poso Energy juga memberikan pendampingan dalam pemeliharaan tanaman, pelatihan pembuatan pupuk organik, dan aplikasinya. Jenis tanaman yang dipilih bervariasi sesuai dengan kebutuhan lokal, termasuk tanaman keras dan kayu yang mendukung keberlanjutan ekosistem. Dengan pendekatan ini, perusahaan tidak hanya memperbaiki kualitas lingkungan tetapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Keterlibatan masyarakat adalah inti dari pendekatan PT Poso Energy dalam melestarikan lingkungan. Di sekitar Danau Poso, program rehabilitasi tidak hanya membantu menjaga keseimbangan ekosistem tetapi juga memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal. Dengan mengintegrasikan upaya konservasi dengan pemberdayaan masyarakat, PT Poso Energy berusaha menciptakan hubungan yang harmonis antara pembangunan dan keberlanjutan.
Sebagai salah satu langkah konkret dalam mendukung pelestarian, PT Poso Energy terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi lingkungan, dan lembaga akademik. Kolaborasi ini memastikan bahwa upaya yang dilakukan bersifat holistik dan berbasis data ilmiah. Contohnya, studi-studi yang dilakukan bersama BRIN dan universitas lokal memberikan dasar yang kuat untuk mengembangkan program-program konservasi yang lebih efektif.
Namun, pelaksanaan proyek besar seperti ini tentu menghadapi tantangan, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan lingkungan. Salah satu isu utama adalah dampak operasional PLTA terhadap populasi ikan di Danau Poso. Meskipun telah dilakukan upaya mitigasi seperti fishway dan restocking, beberapa kelompok masyarakat lokal masih menyuarakan kekhawatiran terkait penurunan hasil tangkapan ikan, yang secara langsung memengaruhi mata pencaharian mereka. Untuk itu, PT Poso Energy terus berdialog dengan komunitas lokal untuk mencari solusi yang saling menguntungkan.
PLTA Poso: Solusi Energi atau Sumber Masalah Baru?
Sementara itu Ketua Mosintuwu Institute, Lian Gogali yang aktif mendampingi penjuangan Masyarakat adat di Poso dalam mempertahankan tradisi suku Pamona pasca pengembangan PLTA Poso menyampaikan bahwa dampak dari proyek PLTA di Danau Poso masih terus dirasakan oleh masyarakat sekitar, terutama di sektor perikanan dan pertanian. Wilayah pertanian di sekitar Danau Poso yang sempat terendam akibat uji coba pintu air mengalami kerusakan serius.
Ketika air surut dan lahan kembali dapat diolah, kawasan tersebut sudah ditumbuhi semak belukar dan pepohonan sehingga membutuhkan biaya besar untuk pemulihannya. Kerugian yang dialami petani semakin diperburuk oleh ketidakpastian mengenai ketinggian air yang dipertahankan oleh PLTA.
Selain pertanian, sektor peternakan di wilayah Desa Tokilo, Tolambo, dan Pasir Kutian juga terdampak. Lian Gogali menekankan bahwa masyarakat yang dahulu bebas memelihara kerbau sebagai investasi keluarga kini harus membatasi jumlah ternaknya akibat menyusutnya lahan pakan ternak.
“Kerbau bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga bagian dari kebudayaan mereka. Pembatasan ini telah mengurangi investasi dan menekan perekonomian masyarakat,” kata Lian, Selasa (17/12/2024).
Sementara itu, di sektor perikanan, keberadaan karamba dan tradisi menangkap ikan, seperti mosango dan monyilo, ikut tergerus. Tradisi mosango yang dahulu melimpah kini hanya menghasilkan ikan berukuran kecil akibat reklamasi dan sedimentasi yang mengubah ekosistem danau.
Begitu pula dengan teknologi budaya Wayamasapi, yang kini hampir punah akibat terganggunya habitat sidat. Lian menambahkan bahwa reklamasi yang dilakukan perusahaan turut merusak keanekaragaman hayati, memaksa ikan endemik bermigrasi atau bahkan mengalami kepunahan.
Menurutnya, dampak ini tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan ganti rugi ekonomi semata, karena kerusakan yang terjadi meliputi identitas budaya dan ekosistem yang tak ternilai harganya.
“Bagaimana mungkin kita mengganti rugi kebudayaan dan identitas? Kerugian ini jauh lebih dalam dari sekadar kehilangan ekonomi,” tegas Lian.
Dalam konteks hubungan antara masyarakat Poso dan Danau Poso, Lian menjelaskan bahwa danau bukan hanya sekadar sumber daya, melainkan bagian integral dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Mereka menyebut Danau Poso dengan istilah Sira, yang berarti beliau, sebagai bentuk penghormatan tertinggi. Namun, perspektif ini bertentangan dengan pendekatan eksploitasi sumber daya yang dilakukan oleh perusahaan energi.
Lian Gogali mengusulkan perlunya moratorium proyek PLTA dan mereview kebijakan pembangunan yang ada. Kebijakan tersebut harus menghormati hubungan emosional dan budaya masyarakat dengan Danau Poso serta memastikan pembangunan yang memuliakan alam dan menyejahterakan masyarakat, bukan sekadar eksploitasi untuk kepentingan investor.
Menurut Lian, konflik energi terbarukan bukan terletak pada energinya, melainkan pada konsep dan metode pelaksanaannya. Proyek yang bertujuan menghasilkan energi bersih seperti PLTA harus dijalankan dengan memperhatikan ekosistem dan hak masyarakat lokal. Sayangnya, dalam praktiknya, proyek semacam ini justru merusak lingkungan, menciptakan ketimpangan ekonomi, dan menyingkirkan masyarakat akar rumput.
Lian juga menyoroti janji-janji kompensasi dan upaya konservasi yang dilakukan perusahaan, seperti pembangunan fishway untuk sidat dan penanaman pohon. Menurutnya, upaya tersebut tidak sebanding dengan kerusakan yang telah terjadi dan hanya berfungsi sebagai upaya untuk meredam kritik.
“Bagaimana kita bisa percaya pada konservasi ketika realitas menunjukkan bahwa ekosistem Danau Poso telah rusak. Tidak ada yang bisa menggantikan kerugian yang sudah terjadi,” ungkapnya.
Ia menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan energi terbarukan agar tidak sekadar menjadi jargon yang menutupi kenyataan. Proyek energi harus benar-benar dirancang untuk menghormati alam dan mensejahterakan masyarakat, bukan sekadar memenuhi kepentingan bisnis atau industri ekstraktif.***