Aksi Perempuan Sulteng, Desak Pengesahan RUU TPKS

Aksi Perempuan-012dc2f6

LOLU UTARA, MERCUSUAR – Berdasarkan data Komnas Perempuan dari tahun 2016 sampai tahun 2021 tercatat ada 24.786 kasus  kekerasan seksual yang dilaporkan, untuk itu Gerakan Perempuan Bersatu Sulteng turun ke jalan untuk mengkampanyekan Stop Kekerasan Terhadap Perempuan serta mendorong Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan.

Dalam konteks lokal Sulawesi Tengah, praktik kekerasan seksual juga menggambarkan situasi krusial, berdasarkan data yang dikumpulkan hanya dari Organisasi Pengada Layanan yang menjadi anggota Gerakan Perempuan Bersatu Sulteng (LBH APIK, LIBU Perempuan, KPKPST dan KPPA Sulteng) dalam 3 tahun terakhir pascabencana 28 September 2018, setidaknya telah didampingi sekitar 125 kasus kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, insest, eksploitasi seksual, pemaksaan hubungan seksual dalam berpacaran yang menyebabkan kehamilan.

Data tersebut belum termasuk yang dilaporkan ke UPTD PPA Provinsi dan 13 Kabupaten/Kota, Unit PPA Polda dan Polres se Sulawesi Tengah, Komnas HAM Daerah, serta Lembaga Pengada Layanan yang tersebar di berbagai wilayah di Sulteng. Demikian disampaikan, Koordinator Kampanye Stop Kekerasan Terhadap Perempuan oleh GPB Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir, Jumat (10/12/2021).

Praktik kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang menyerang seksualitas atau menjadikan seksualitas perempuan sebagai objek kekerasan. Korbannya adalah perempuan,  anak serta kelompok rentan lainnya. Pada kenyataanya sebagian besar praktik kekerasan seksual berakar pada relasi kuasa yang pada akhirnya menempatkan korban dalam posisi lemah, tidak kuasa dan tidak berdaya. Tentu saja praktik kekerasan seksual tidak hanya berdampak pada fisik, namun dapat berakibat lebih dalam lagi karena akan meninggalkan trauma berkepanjangan, depresi berat yang pada akhirnya menyebabkan korbannya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Selain trauma psikis, lanjut dia, korban kekerasan seksual masih lagi harus menanggung beban sosial yang berat, korban kekerasan seksual bahkan keluarganya menjadi objek penghakiman sosial  melalui berbagai “stigma” yang dibungkus dengan argumentasi pembenaran antara lain korban kekerasan seksual dianggap telah menjadi penyebab aib bagi masyarakat, dituduh sebagai pihak yang telah mempermalukan bahkan merusak harga diri keluarga dan masyarakat.

Olehnya sebuah kewajaran jika kemudian korban kekerasan seksual dipinggirkan dalam lingkungan sosial, dianggap layak untuk mendapat penghinaan, dituduh berprilaku menjijikkan. “Bahkan banyak yang menjadi sasaran kekerasan fisik oleh keluarga maupun kelompok masyarakat. sederetan itu Trauma Sosial yang berdampak pada korban menjadi resiko korban, tanpa sedikitpun menyentuh pelakunya,” jelasnya.

Mengingat praktik kekerasan seksual adalah fenomena gunung es, dapat dipastikan masih banyak lagi korban kekerasan seksual yang memilih berpasrah pada kenyataan hidupnya, memilih membisu dalam diam atau yang terpaksa memilih jalur ‘berdamai’ dengan pelaku karena ketakutan atas stigma dan ancaman, ataupun Korban yang memilih mengakhiri hidupnya dalam tekanan dan ketakutan.

Olehnya pembahasan RUU TPKS yang saat ini sedang berlangsung di DPR RI menjadi sebuah langkah maju yang sangat berarti bagi korban kekerasan seksual, keluarga korban, pendamping korban bahkan masyarakat luas. RUU TPKS sebagai sebuah Kebijakan perlindungan yang sangat urgent dan mendesak yang dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual. ABS

Pos terkait