BIROBULI UTARA, MERCUSUAR – Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan konvensi hak anak sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Namun pada kenyataannya, belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan ketentuan konvensi hak anak tersebut.
Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulteng, Ir. Maya Malania Noor, MT dalam sambutannya saat membuka kegiatan pelatihan pendamping anak berhadapan dengan hukum (ABH) tingkat Provinsi Sulteng, Senin (2/6/2018) di aula Bapelkes Palu.
Menurutnya, lembaga advokasi hak anak (LAHA) Bandung tahun 2004 menemukan berbagai pelanggaran hak anak yang berhadapan dengan hukum, seperti anak tidak didampingi penasehat hukum pada tahap penyidikan dan proses penuntutan.
Kondisi tersebut kata dia, memberikan gambaran bahwa telah terjadi pelanggaran hak-hak anak berkonflik dengan hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 22 tahun 2002 tentang perlindungan anak, serta tidak sejalan dengan konvensi hak anak.
Maya menjelaskan, penanganan anak yang berkonflik dengan hukum merupakan tanggungjawab dan kewajiban bersama antara masyarakat dan pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah dalam bentuk penyediaan petugas pendamping sejak dini.
Sebutan pendamping lanjut Maya, adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dibidangnya, namun UU Perlindungan anak tidak menjelaskan secara khusus peran seorang pendamping dalam menangani korban.
Menurut Maya, pekerja sosial sebagai seorang pendamping anak yang berkonflik dengan hukum harus memiliki kualitas pribadi, baik bersumber dari kompetensi profesionalnya maupun yang secara fundamental melekat pada kualitas kepribadiannya.
“Kualitas pribadi diperoleh dari proses pelatihan dan dari pengalaman praktek dengan anak,” ujarnya.
Maya mengingatkan agar pendampin harus memiliki kesadaran untuk membangun dan meningkatkan kualitas pribadinya secara terus menerus demi profesionalnya dalam menjalankan seluruh tangungjawab.
“Dalam melaksanakan perannya, pekerja sosial harus mengetahui anak berhadapan dengan hukum sebagai korban dan bukan sebagai seorang pelaku,” kata dia.
Maya juga mengakui bahwa pekerja sosial mempunyai keterbatasan dalam melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga perlu melibatkan pihak-pihak lain yang mempunyai kewenangan terhadap anak berhadapan dengan hukum.
Dalam kegiatan pelatihan pendamping anak berhadapan hukum (ABH), hadir para pendamping khusus anak seperti organisasi Generasi Anak Teladan dan Lembaga Pembinaan Khusus anak. Kepala Sub Bidang (Kasubid) IV Reskrim Umum Polda Sulteng, AKBP Yoseph HelenaTena Boy hadir sebagai pemateri yang banyak menjelaskan tentang hukum bagi anak.TIN