PALU, MERCUSUAR – Elemen masyarakat Kota Palu yang mengatasnamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil Pengurangan Risiko Bencana (KMS-PRB) Kota Palu, memberikan pernyataan sikap terkait hasil sidang paripurna DPRD Kota Palu, dengan agenda pembacaan laporan ketua panitia khusus (pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu 2021-2041, yang dirangkaikan dengan pendapat fraksi, di Ruang Sidang Utama DPRD Kota Palu, Sabtu (1/5/2021). Pada sidang paripurna ini, seluruh fraksi di DPRD Kota Palu menerima dan menyetujui Ranperda RTRW Kota Palu 2021-2041, untuk dibahas di tingkat selanjutnya.
Koalisi ini dalam reviunya tehadap Ranperda RTRW Kota Palu 2021-2041, mencatat ada 7 hal penting yang harus diperhatikan oleh DPRD Kota Palu, sebelum menyetujui Ranperda ini dibahas ke tingkat selanjutnya. Pertama, adanya penurunan status kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Ulujadi sebanyak kurang lebih 300 hektar, yang kemudian dialokasikan pada rencana pola ruang sebagai wilayah Hutan Produksi Terbatas.
Kedua, konversi Taman Hutan Raya (TAHURA) seluas kurang lebih 2.700 hektar menjadi Hutan Produksi Terbatas, yang berada di atas konsesi Kontrak Karya PT. CPM. Padahal wilayah tersebut berada di atas 6 sesar dan patahan-patahan yang diperkirakan merupakan titik terbenam; naik dan turun. Up thrown side dan Down thrown side.
Ketiga, dua area yang dikonversi tersebut, dalam peta tematik RTRW, sudah ditentukan merupakan kawasan rawan bencana longsor, namun tetap saja terjadi penurunan status kawasan hutan, yang justru mempermudah aktifitas pertambangan di masa mendatang, untuk melakukan ekstraksi dengan melalui IPPKH.
Keempat, pada kawasan pemukiman yang berada pada sekitar pesisir, tidak banyak adanya pembatasan untuk tujuan pemanfaatan ruang untuk perumahan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya alokasi untuk wilayah sepanjang pesisir Teluk Palu, kurang dari 100 meter dari bibir pantai.
Kelima, wilayah eks likuefaksi dikeluarkan dari Kawasan Pemukiman dan menjadi Kawasan Ruang Terbuka Hijau, namun terjadi penambahan Kawasan Pemukiman pada area sekitar eks likuifaksi. Artinya, dalam penyusunan RTRW tidak mempertimbangkan potensi likuefaksi berdasarkan ZRB. Orientasi pembangunan Kawasan Pemukiman pada Revisi RTRW 2021, berada di Tawaili, Palu Utara, Palu Timur dan Mantikulore. Terkhusus Palu Timur dan Mantikulore, seluruh rencana wilayah pemukiman berada tepat di bawah tambang milik PT. CPM, tanpa memperhatikan aspek-aspek kesehatan jangka panjang penduduk Kota Palu.
Keenam, dari luas 750 hektar penetapan kawasan rawan tsunami, hanya ada 3 hektar saja eksistensi habitat mangrove selama ini, atau hanya senilai 0,4 persen dari sepanjang pesisir Teluk Palu. Dari situ dapat ditinjau bahwa dalam penyusunan RTRW Kota Palu, tidak berlandaskan semangat mitigasi bencana melalui pengembangan RTH Pesisir.
Ketujuh, terjadi alih fungsi peruntukan dan alih fungsi terhadap kawasan rawan bencana tsunami, menjadi kawasan yang berorientasi pada kepentingan akselerasi ekonomi, di sepanjang Teluk Palu. Isu ini dapat terindikasi, berdasarkan adanya konversi pada Kawasan Rawan Tsunami menjadi kawasan yang jauh dari prinsip mitigasi bencana dalam Pola Ruang Kota Palu, antara lain; Kawasan Industri, Kawasan Pariwisata, Kawasan Perdagangan, Kawasan Perkantoran, Kawasan Perumahan, Kawasan Perlindungan Setempat, Kawasan Peruntukan Lainnya dan Ruang Terbuka Hijau.
RTRW Harus Bersubstansi Pengawasan
Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), Gifvents Lasimpo mengatakan, harusnya yang dimunculkan dalam Perda RTRW ini adalah pengawasan, karena kewenangan tata ruang berada di pusat. Menurutnya, bagaimana kita mengatur tata ruang, sementara kewenangan subtansi itu ada di pusat.
“DPRD Kota Palu dan Pemkot harusnya dalam perda ini, lebih mendetailkan soal pengawasan, sesuai dengan kewenangan pasca UU Ciptaker,” ujarnya.
Gifvents menilai, subtansi perda ini lebih besar pada perspektif ekonominya, ketimbang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta kebencanaan.
“Jikapun ada potensi lain soal pertambangan, Pemkot bisa memberlakukan sewa ruang di pasal 125 Perda RTRW Palu. Tidak ada jaminan bahwa ruang publik seperti RTH, tidak terkonversi menjadi peruntukan lain,” ujarnya.
Potret Krisis dalam Ranperda RTRW Kota Palu
Sementara itu, Direktur Econesia Institute, Azmi mengatakan, berdasarkan hasil analisis data spasial RTRW Kota Palu tahun 2011 dan Draf RTRW Kota Palu tahun 2020, serta membandingkannya dengan Peta Zona Rawan Bencana, dirinya menemukan “potret krisis”, berupa potensi risiko bencana Kota Palu akan semakin tinggi. Hal ini mengingat penurunan status kawasan menjadi HPT sekitar 300 hektar di wilayah Kecamatan Ulujadi untuk aktivitas industri ekstraktif seperti tambang bebatuan, yang akan meningkatkan risiko bencana, seperti bencana ekologis seperti tanah longsor di kemudian hari, yang akan berdampak terhadap keselamatan kehidupan warga di wilayah tersebut.
Kemudian, penurunan status kawasan menjadi HPT sekitar 2.700 hektar di areal TAHURA Sulteng, untuk kepentingan aktivitas industri ekstraktif seperti penambangan mineral, yang akan meningkatkan risiko bencana ekologis, seperti tanah longsor dan banjir. Hal ini mengingat kawasan TAHURA Sulteng adalah daerah tangkapan air bagi Kota Palu di bagian sebelah timur.
Selanjutnya, adanya perubahan peruntukan kawasan rawan bencana tsunami sekitar 300 hektar di pesisir Teluk Palu untuk aktivitas ekonomi, akan meningkatkan risiko bencana alam, seperti ancaman tsunami. Hal ini mengingat habitat alami vegetasi mangrove yang eksisting hanya sedikit saja. Padahal, diperlukan habitat vegetasi alami seperti mangrove, untuk mengurangi dampak abrasi pantai, maupun mengurangi risiko terjangan gelombang laut yang besar, termasuk tsunami.
Lalu, masih adanya peluang untuk pembukaan permukiman di sekitar lokasi eks likuefaksi, menunjukan bahwa pemerintah belum tegas dalam mencegah risiko bencana serupa di kemudian hari.
Oleh karena itu kata dia, Koalisi Masyarakat Sipil Pengurangan Risiko Bencana Kota Palu mendesak agar DPRD Kota Palu menghentikan proses pembahasan rancangan legislasi ini, karena Ranperda RTRW Kota Palu tahun 2021-2041 ini dinilai sama sekali tidak memiliki perspektif pengurangan risiko bencana. Padahal Kota Palu memiliki riwayat kebencanaan yang tinggi seperti gempa bumi, tsunami, likuefaksi, banjir dan tanah longsor.
“Meneruskan pembahasan rancangan legislasi RTRW Kota Palu menjadi Perda RTRW Kota Palu, sama saja dengan menciptakan ‘krisis multi dimensi baru’ terhadap Kota Palu ke depannya,” ujarnya.
Gifvents Lasimpo mengingatkan, ketika di kemudian hari terjadi ancaman bencana alam dan non alam, yang ditimbulkan dari pengelolaan ruang, yang menggunakan perda ini, dan kemudian berdampak pada masyarakat Kota Palu, pihaknya memastikan akan menempuh jalur hukum, yang telah dituangkan dalam pasal 35 huruf f jo pasal 40 ayat (3) jo Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang –Undang Nomor 04 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). JEF