Tidak banyak karya para mahasiswa, yang ditampilkan dalam bentuk pertunjukkan, berdasarkan hasil riset langsung, yang dilakukan secara mandiri. Karya Mata Rantai, Sabtu (30/11/2024), adalah salah satu, dari sedikit pembuktian para seniman kampus, yang melakukannya secara mandiri, kali ini mengusung tema, Punaravalokana Ngapa Gagantu.
LAPORAN: MOHAMMAD MISBACHUDIN
Lampu tiba-tiba mati, di Milania Graha Sabha, Jagatnatha, suasana menjadi hening, dan gelap gulita, perlahan cahaya lilin menerangi panggung Graha Sabha, sosok perempuan berdiri diatas kursi, memunggungi penonton dengan balutan kostum hitam.
Suasana yang sunyi, semakin terasa “magisnya”, saat pembaca puisi melantunkan bait-bait puisinya, yang menceritakan sebuah kesedihan di Ngapa Gagantu, atau Kampung Gagantu, yang baru saja dilanda tragedi memilukan.
Penonton yang sudah terbawa suasana, dengan bunyi lalove dan mbasi-mbasi, dikagetkan dengan suara menggelegar dari pembaca puisi yang bertajuk Nyanyian Tanah Yang Hilang, saat dia berbalik badan, dan menggerakkan badannya, turun dari kursinya.
Penonton memberikan apresiasi yang meriah, ketika puisi tuntas dibaca, sebagai pembuka pertunjukkan gelaran Mata Rantai XIII, yang ditampilkan para seniman Kampus FKIP Untad, yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Tirani.
Pertunjukkan Mata Rantai terus menambah cita rasa “sihirnya” dengan tampilan teater, yang menceritakan secara utuh, kejadian tragis, yang menggambarkan tentang bencana kemanusiaan, yang merenggut banyak nyawa, termasuk keluarga kerajaan, hanya karena sebuah kesalahpahaman.
Alur ceita, dimulakan dari kehidupan seorang penguasa Ngapa Gagantu, yang hidup bahagia, bersama istri, anaknya, pembantu istana dan prajurit serta rakyatnya, hingga kemudian pengawalnya membunuh anak buah saudagar yang datang dari jauh, untuk berdagang di kerajaannya, dengan sebuah epilog tragis, raja, permaisuri dan anak bayinya, tewas di tangan saudagar, membuat penonton berteriak histeris, melihat adegan yang ditampilkan.
Permainan lampu dan iringan musik, yang juga memiliki kekuatan memainkan suasana, menjadi nilai tambah, bagi pertunjukkan teater, ditambah pula beberapa properti pendukung, menguatkan suasana, koreografi para pemai, saat bertarung, juga tidak kalah menariknya.
Usai kisah Teater, yang mengusung tema, Alur Kisah Desa Gagantu, kemudian penonton dimanjakan dengan pertunjukkan musik kolaborasi, bertajuk Nabailoko, yang menuturkan tentang sejarah kehidupan dan budaya di Desa Gagantu.
“Semua yang kami pertunjukkan disini, diatas pentas Mata Rantai, adalah hasil riset yang kami lakukan di Kecamatan Parigi Utara, khususnya di sekitaran Desa Toboli bersaudara dan Desa Pangi, tentang sebuah desa bernama Gagantu,” urai Ketua LKT, Rizal Winata.
Dia menjelaskan kalau riset yang mereka lakukan, bukan hanya sepekan, tetapi sekitaran dua bulan, untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sehingga wajar kiranya, dalam kemasan pertunjukkannya itu, beberapa nilai budaya di Gagantu, ditampilk dalam beragam bentuk.
“Selain teater dan puisi, kami juga mengangkat ritual pengobatan, dengan menggunakan media daun sukun, yang menggambarkan tentang seorang dukun, yang menyedot darah kotor dari pasiennya, lalu ditempelkan di daun sukun, kami beri nama tariannya, Tari Pandila,” tambahnya lagi.
Kemudian ada juga tarian kontemporer, yakni Tari Posimpoga’a, yang mengisahkan tentang kesedihan warga Desa Gagantu, karena terjadinya tragedi kemanusiaan, sehingga membuat kampungnya terbakar.
Di luar ruang pentas, LKT juga menampilkan deretan lukisan, atau Seni Rupa, yang diberi nama Ruang Bentala, lagi-lagi menceritakan dalam gambar, tentang perubahan suasana di Desa Gagantu, yang mulanya subur, menjadi genangan darah dan kesedihan mendalam.
“Insya Allah, tahun depan kami akan melakukan riset lagi, di tempat lain, untuk kemudian kami kemas dalam Mata Rantai, dengan beragam warna pertunjukkan,” pungkas Rizal. ***