LAPORAN: MOHAMMAD MISBACHUDIN
Jelang hari pemungutan suara, kebanyakan orang berbincang tentang serangan fajar atau sekedar menguatkan posisi jagoannya secara diam-diam, kepada koleganya. Namun, tidak untuk mahasiswa Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris (Himabris) FKIP Untad. Berikut laporannya.
Wajah Anggun sedikit cemas, sesekali melihat ke langit, mendung hitam, menggantung. Pertanda hujan segera turun, dan benar saja, beberapa menit kemudian hujan pun membasahi lokasi nonton bareng atau nobar, bahkan semua kursi yang dijejer rapi, juga basah.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.00, langit sedikit cerah, wajah Anggun pun, terlihat sumringah, dan langsung gercep, melap kursi dan meja, yang menjadi tumpuan laptop dan infocus.
“Khawatirnya, hujan terus turun, bukan cuma acara yang batal, tetapi juga peralatan yang kami pinjam di bagian perlengkapan bisa rusak,” keluh Anggun.
Tepat pukul 17.00, hujan benar-benar berenti, gerimisnya sudah meninggalkan lokasi nobar, dan teman-temanya juga sudah berdatangan, beberapa menit kemudian, pengkondisian alat nobar juga tuntas, dan film dokumenter, yang berisi tentang perjalanan sebuah manuver menjelang pilpres, dimulakan.
Kata Anggun, nobar film Dirty Vote, sebenarnya bagian dari sebuah ikhtiar dirinya dan juga teman-teman mahasiswa lainnya, agar tidak terjebak dalam politik gelap, atau hanya menjadi tim hore dalam mendukung para kontestan pesta demokrasi.
“Tentunya, sebelum memilih, kami harus mencerahkan daya nalar kita, mengapa harus memilih calon presiden dan para caleg, sehingga nantinya hak konstitusi kami tidak rugi,” tegasnya.
Salman, salah seorang aktivis kampus, yang juga mengaku kalau menonton Dirty Vote, memberikan pencerahan informasi terkait manuver-manuver yang dilakukan para politisi, sehingga dia pun tidak memiliki keraguan memberikan hak suaranya.
“Saya sempat berdebat oleh teman saya, ketika menceritakan ke mereka, soal nobar Dirty Vote. Tapi, mereka pun diam, saat saya bertanya, apakah sudah ada yang menonton secara tuntas,” ujar Salman.
Usai menggelar nobar, para mahasiswa tidak langsung bubar, tapi kemudian melanjutkan diskusi soal film tersebut, untuk mempertajam pemahaman mereka, untuk menilai fenomena yang terjadi sekarang.
“Pemilu kali ini, suara Gen Z dan generasi milenial cukup besar, dan diperhitungkan. Jadi, sangat sayang, kalau kemudian suara itu, memilih pemimpin yang tidak sesuai harapan anak muda,” tutup Moh Ansari, mantan Ketua Himabris, yang juga menjadi pemantik dalam acara diskusi. *****