Peliknya Penanganan Sampah di Kota Palu

SAMPAH

PALU, MERCUSUAR – Penanganan sampah menjadi salah satu persoalan pelik di Kota Palu, yang harus segera ditemukan solusinya. Target untuk meraih Adipura pada 2023 yang dicanangkan Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid, salah satunya bergantung pada berhasil tidaknya penanganan sampah di kota itu.

Solusi penanganan masalah sampah inilah yang menjadi pokok pembahasan pada forum bertajuk Motesa Ngata, yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan, Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu bersama Ngataku Movement. Forum yang dilaksanakan secara luring di salah satu kafe di Kota Palu, juga disiarkan secara daring ini, digagas untuk menyerap aspirasi masyarakat Kota Palu, menanggapi isu serta fenomena teraktual di ibu kota provinsi Sulteng itu.

Pegiat isu lingkungan yang juga pendiri Lingkar Hijau, Zikran, yang merupakan salah seorang pematik diskusi dalam forum tersebut menjelaskan, penanganan masalah sampah di Kota Palu, bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Kata dia, peran masyarakat, termasuk komunitas, penting dalam membantu meminimalisir timbunan sampah yang ada, dengan melakukan pemilahan sampah. Pemilahan sampah berbasis masyarakat ini, diharapkan mampu membantu mengatasi permasalahan penanganan sampah di Kota Palu.

Sementara itu, Moh. Irvansyah dari Aliansi Palu Bersih menyebut, untuk menangani maslaah sampah di Kota Palu, harus ada pengembangan sistem persampahan, yang menurutnya harus menyasar tiga aspek yang lemah dalam system persampahan di Kota Palu, yakni manajemen, sumber daya manusia, serta buyer atau pembeli sampah untuk didaur ulang.

Aliansi Palu Bersih sendiri kata dia, telah terlibat dalam pengelolaan sampah plastik di Kota Palu, selama 3 tahun terakhir. Kata dia, total 375 ton sampah plastik reduce selama 3 tahun terakhir, berhasil dikumpulkan dan dikirim ke pembeli. 

Menurut Irvan, peluang usaha sampah plastik sangat besar. Aliansi kata dia, punya pembeli yang siap membeli sampah plastik reduce dengan tonase besar.

“Setiap tahun kami punya target 100 ton. Tahun kemarin kami cuma mampu mengumpulkan 12 ton sampah plastik untuk dikirim ke Surabaya. Sampah plastic ini sebenarnya punya peluang ekonomi yang bagus, jika dikeola dengan baik,” ujarnya.

Pihaknya juga membuka UPT Pupuk di kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, yang kini mengirim kompos ke wilayah kabupaten lain, seperti Sigi dan Morowali.

Penanganan sampah di Kota Palu, diperhadapkan dengan masalah yang kompleks, seperti ketidaktaatan masyarakat dengan jadwal pembuangan sampah yang sudah ditetapkan, yakni pukul 18.00 hingga 06.00, sarana dan prasarana penunjang seperti armada pengangkut sampah dan alat berat yang terus dimakan usia, silang sengkarut penempatan lokasi TPS di setiap kelurahan yang tidak jarang mendapat penolakan dari warga, serta penerapan Perda Kota Palu No. 3 tahun 2016 tentang pengelolaan sampah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, Ridwan Karim mengatakan, setiap harinya, ada sekira 103 ton sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Palu. Dengan 38 armada pengangkut sampah, serta 245 TPS yang tersebar di 45 kelurahan di Kota Palu, nyatanya belum mampu menjawab persoalan sampah ini. Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah, komunitas, serta masyarakat, dapat menjadi salah satu upaya untuk menangani masalah persampahan di Kota Palu.

Ketidakpatuhan masyarakat untuk membuang sampah sedia TPS yang ada sesuai dengan jadwal yang ditentukan, menjadi salah satu penyebab persoalan sampah ini tidak selesai. Setiap selesai diangkut, tidak berapa lama kemudian, timbunan sampah kembali menggunung di TPS. Belum lagi kebiasaan buruk masyarakat yang hanya melempar sampahnya dari atas kendaraan bermotor ke TPS, yang menyebabkan sampah berserakan di luar TPS, yang sebagian besar berada di pinggir jalan.

Timbunan sampah yang meluber keluar TPS serta sampah yang berserakan di luar TPS, selain mengangu pandangan, juga menimbulkan bau yang tidak sedap. Rencana wali kota untuk memindahkan TPS ke wilayah pedalaman yang jauh dari pemukiman warga, juga terbentur ketersediaan lahan dan penolakan masyarakat yang menolak keberadaan TPS di sekitar wilayahnya.

Kompleksitas persoalan sampah ini kata akademisi Untad, Mohd. Nur Sangadji, lahir dari kurangnya pemahaman tentang penanganan masalah persampahan itu sendiri di masyarakat. Menurutnya, cara kita memperlakukan sampah, menunjukkan seberapa beradab kita.

Problem paling mendasar kata dia selain pemahaman terkait penanganan sampah oleh masyarakat, juga pola komunikasi yang tidak terkoneksi antara pemerintah dan masyarakat, terkait penanganan sampah.  

“Problem kita, apa yang dilakukan oleh pemerintah kadang tidak dianggap oleh masyarakat, begitu pula sebaliknya,” ujarnya. JEF

Pos terkait