PALU, MERCUSUAR – Pelantikan calon kepala daerah terpilih namun berstatus tersangka dinilai membahayakan iklim demokrasi. Proses hukum lanjutan terhadap yang bersangkutan setelah pelantikan akan memunculkan pro dan kontra di masyarakat dan potensial terjadi benturan antarkelompok.
“Ini justru mengkhawatirkan. Masyarakat tidak lagi melihat (kasus tersebut sebagai) masalah hukum. Pilkada sekarang justru membuat polarisasi, membelah masyarakat dalam memenangkan kandidat,” kata pengamat politik Dr. Darwis, M.Si mengomentari penahanan Cagub Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus dan adiknya, Bupati Bangkep, Zainal Mus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (2/7/2018). Diketahui, keduanya tersangkut perkara penyediaan tanah bandara di Kepulauan Sula tahun 2009. Zainal saat itu Ketua DPRD, dan kakaknya, Ahmad Hidayat Mus adalah bupati.
Bisa dibayangkan, setelah dilantik sebagai kepala daerah, yang bersangkutan kembali ditahan. Hal ini tentu saja akan berefek terhadap integritas kepala pemerintahan, juga dampak secara moral kepada sanak keluarga.
Fakta di atas sebenarnya dapat dihindari andai saja elit politik, terutama yang berada di Jakarta, bisa memberikan contoh mendorong pertarungan dari calon-calon kepala daerah dengan ketokohan moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan sebaliknya, menghidupkan politik transaksional.
Politik transaksional dalam perhelatan pemilihan umum (Pemilu), baik kepala daerah (Pilkada) maupun anggota legislatif (Pileg), diyakini lahir dari pendekatan pragmatisme dalam berdemokrasi. Partisipasi masyarakat dalam Pemilu pun hanya sebatas demokrasi prosedural konstitusional.
Darwis menggarisbawahi, secara kasat mata, politik transaksional memang tidak menggerus tingkat partisipasi pemilih. “Saat ini yang terjadi adalah mobilisasi politik, dimana masyarakat terdorong (untuk menyalurkan suaranya dalam Pilkada) bukan karena nurani tapi iming-iming (materi). Sehingga ada ustad yang memiliki ketokohan secara moral, tapi tidak dipilih, seakan-akan kita tidak punya tokoh (yang baik) lagi,” tambahnya.
Untuk memperbaiki kondisi ini, ia pun berharap pemerintah konsisten menjadikan hukum sebagai basis daripada politik. Peraturan KPU yang melarang napi koruptor maju sebagai calon anggota legislatif sekiranya dapat ditegakkan. Demikian juga masyarakat untuk konsisten memilih calon kepala daerah dan anggota lagislatif yang tidak bermasalah secara hukum.
Partai politik pun disarankan membuat terobosan politik, yakni suatu sistem yang tidak sekadar menjadikan penguasa, namun juga melahirkan negarawan. “Semestinya, masa reformasi membuat bangsa ini memasuki tahap konsolidasi demokrasi, justru sebaliknya, terjadi pragmatisme. Intinya, parpol yang bisa merubah. Sebab presiden, kabinet, kepala daerah, DPR dan DPRD, semuanya harus melalui partai,” tandasnya. DAR