PALU, MERCUSUAR – Pencegahan terorisme, khususnya di lingkungan perguruan tinggi, sebaiknya lebih fokus pada akar permasalahannya, yaitu mencegah berkembangnya ideologi radikal (radikalisme). Meskipun terorisme dan radikalisme, dapat dilatari oleh ideologi apapun, tetapi istilah terorisme dan radikalisme dewasa ini, lebih sering dihubungkan dengan ideologi yang berbasis agama, dan lebih khusus lagi Islam.
Demikian dikatakan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sulteng, Prof. Dr. KH. Zainal Abidin, M.Ag, saat menjadi salah satu narasumber pada Kuliah Umum dalam rangka Sosialisasi Pencegahan Radikalisme, Intoleransi dan Terorisme, Kamis (25/8/2023). Sosialisasi ini dilaksanakan di Aula Fakultas Kedokteran Untad.
Lanjut Prof. Zainal Abidin, pertanyaan yang perlu didiskusikan adalah bagaimana mencegah tumbuh kembangnya paham radikalisme agama di kalangan civitas akademika, khususnya mahasiswa, Namun kata dia, harus dicatat bahwa mencegah radikalisme agama bukan berarti menjauhkan mahasiswa dari agama, atau membuat seseorang lebih mudah dituding radikal, hanya karena lebih religius dalam kesehariannya.
“Jangan sampai orang yang religius justru merasa diteror,” ujarnya.
Menurut Prof. Zainal Abidin, inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu, yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis, serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. Adapun faktor-faktor penyebab radikalisme dan intoleransi adalah pemikiran, ekonomi, politik, sosial, psikologis dan pendidikan.
Lanjut Prof. Zainal Abidin, generasi muda, khususnya di dunia kampus, menjadi sasaran utama penyebaran ideologi radikalisme. Alasannya, antara lain, karena mahasiswa masih berjiwa muda dan dalam proses pencarian jati diri, sehingga menjadi target potensial untuk menerima paham-paham baru.
“Mahasiswa adalah representasi dari rakyat, dunia kampus merupakan tempat berhimpunnya para generasi muda dari berbagai lapisan dan kelas sosial, sehingga mahasiswa dipandang sebagai agent of social change. Kelompok- kelompok yang ingin merubah ideologi atau paham yang menjadi mainstream di masyarakat, menjadikan mahasiswa sebagai agen utama untuk menyebarkan ideologi mereka,” jelasnya.
Menurut Prof. Zainal Abidin, minimnya pengetahuan agama di kalangan mahasiswa, membuat mereka dengan mudah dihadapkan dengan bahasa sederhana dan simbol agama yang diklaim lebih religius. Untuk itu kata dia, dalam rangka menangkal radikalisme dengan spirit kebhinekaan, yakni dengan menumbuh kembangkan dan mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengamalan ajaran agama.
Nilai-nilai tersebut kata dia, sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama apa pun. Nilai-nilai ini kata dia, memberikan pembelajaran pada umat untuk membedakan antara substansi ajaran agama dengan manifestasi pelaksanaannya, membedakan antara isi dengan kulitnya.
Kemudian, mengedepankan persamaan, bukan menggali perbedaan. Dari sudut pandang dogmatis-teologis, setiap agama memiliki karakteristik yang khas dan membedakannya dari agama lain. Kemudian, memupuk rasa saling percaya satu sama lain merupakan salah satu kunci untuk membangun hubungan yang sehat antar penganut lintas agama.
Adapun peran perguruan tinggi dalam pencegahan radikalisme, intoleransi dan terorisme, dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Secara internal, dapat dilakukan dengan mengontrol kelompok-kelompok kajian dan organisasi sosial/keagamaan yang berafiliasi dengan dunia kampus, dengan cara-cara yang bijak dan dialogis, tanpa harus mengebiri kebebasan akademik yang menjadi ciri khas perguruan tinggi.
Kemudian, pengembangan wawasan keagamaan mahasiswa. Secara eksternal, peran perguruan tinggi dalam pencegahan radikalisme dilakukan melalui dharma pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi juga harus memainkan peran dalam mengeliminir berkembangnya ideologi radikalisme-terorisme di kalangan masyarakat, khususnya faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, meliputi aspek pemikiran, ekonomi, politik, sosial, pendidikan, psikologi dll.
“Salah satu kata kunci dalam mengenali ajaran agama yang benar, adalah jika ajarannya itu menunjukkan indikator perdamaian dan keselamatan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat umat manusia. Menangkal paham dan gerakan radikalisme-terorisme, dibutuhkan kerja ekstra dari seluruh lapisan masyarakat. Perguruan tinggi sebagai agent of social change tentu memiliki tanggung jawab besar dalam hal ini,” ujarnya. JEF