Oleh: Ustaz Khalid Fallugah
Tokoh Alkhairaat
Puasa adalah amalan sirriyyah atau amalan rahasia. Ini berbeda dengan amalan-amalan yang lain. Salat misalnya, adalah amalan yang nampak. Demikian halnya sedekah. Walaupun bisa dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, namun, terkadang amalan ini bisa juga diketahui. Sementara itu, semua amalan yang nampak itu memungkinkan kita menjadi riya’.
Di dalam hati manusia, terdapat dua kekuatan. Pertama, malaikat mulkhin atau malaikat yang duduk di hati sebelah kanan sebagai penyeru kebaikan. Kedua, assyitanu waswas atau bisikan setan yang berada di sebelah kiri hati manusia. Jika kita menemukan sesuatu barang, biasanya ada pertentangan di dalam hati. Setan mengatakan ambil saja, itu kepunyaan Anda. Sementara malaikat mulkhin memberi ilham untuk tidak melakukannya. Ini selalu terjadi pertentangan.
Amalan zahir atau amalan nampak yang boleh menjadi riya’ bisa dilukiskan demikian. Saat assyaitanu waswas berhasil menyuruh orang berbuat kebajikan dengan cara menolong orang lain, ia selanjutnya akan membisikkan anggapan bahwa itu semua karena kita. Dan saat mulai riya’ itulah, kita sesungguhnya mulai membatalkan amalan kita. Begitulah amalan nampak, dimana orang cenderung untuk riya’.
Ini berbeda dengan amalan puasa. Amalan puasa bisa disebut sirriyyah atau amalan rahasia, yakni amalan yang hanya bisa dibatalkan ketika kita berada dalam kesendirian. Contohnya, saat sendiri di dalam kamar yang terkunci, kita memilih meminum segelas air yang diambil dari dalam kulkas. Setelah keluar dari kamar, teman sekalipun tak akan tahu jika kita telah meminum air. Inilah amalan yang boleh dibatalkan ketika kita berada dalam kesendirian.
Anak-anak yang baru belajar berpuasa, siapa yang tahu ketika berkumur-kumur saat wudhu, ada air yang tertelan atau sengaja ditelan. Inilah amalan rahasia. Sehingga Allah subhanahu wataala berfirman, “puasa untukku, dan Aku sendiri yang akan memberikan pahala puasa.” Artinya, pahala puasa tidak ada batasnya.
Amalan puasa juga mengajarkan kita untuk selalu berbuat kebaikan. Suatu kali Sayyidina Ali karamalaahu wajhah hendak memakan roti setelah sehari semalam tidak makan. Saat itu, datang seorang bapak tua dan mengatakan, “Wahai Amiirul Mukminin, apakah engkau memiliki makanan? Saya sudah tiga hari tidak makan.” Maka sayyidina mengurungkan makanan itu dari mulutnya. “Silakan diambil, engkau lebih berhak menerimanya. Engkau telah tiga hari belum makan, sedangkan saya baru sehari semalam,” kata Sayyidina Ali. Kebaikan hati Amirul Mukimin tersebut kemudian dibalas.
Ketika Abdurrahman bin Auf sedang memakan roti, ia sampaikan kepada pembantunya untuk mengirim sepuluh roti kepada Sayyidina Ali. Karena baunya enak, maka sang pelayan mengambil satu roti di jalan dan memakannya. Ketika roti telah diserahkan dan saat pelayan hendak pulang, Sayyidina Ali menyampaikan, “Setahu saya roti yang dikimkan kepadaku ada sepuluh.” Sang pembawa roti gemetar. Lalu mengaku jika ia telah memakannya satu buah di jalan.
Sayyidina Ali mengetahui hal itu karena ia yakin dengan Nabi Muhammad sallalaahu alaihi wasallam. Kata Ali, dalam sebuah hadist, Muhammad tidak bicara dengan emosi, Muhammad tidak bicara dengan keinginan hatinya, Muhammad berkata karena wahyu yang diwahyukan kepadanya. Karena kepercayaan ini pula, setiap satu kebaikan akan berbalas sepuluh.
Apabila kita bersedakah, sama dengan menanam sebuah bibit. Bibit itu menghasilkan tujuh tangkai, di mana setiap tangkai akan berbuah seratus atau tujuh ratus di semua tangkai. Pendeknya, setiap satu kebaikan yang kita lakukan karena ikhlas, Allah akan membalasnya dengan tujuh ratus pahala.
Ini berbeda jika kita tak meyakininya, sehingga tak jarang tidak mendapatkan ganjaran tersebut. Padahal Allah dalam salah satu hadist qudsinya berfirman, “Aku tergantung dari prasangka hamba-Ku.”
Artinya, jika kita berdoa kepada Allah tapi tidak yakin doa tersebut dikabulkan, maka bisa jadi tidak akan dikabulkan. Namun kalau kita yakin, insya Allah, Allah akan mengabulkan semua doa-doa kita. (Disarikan dari buka puasa bersama PWI Sulteng-Alfamidi di Panti Asuhan Miftahul Khairaat Palu, 30 Mei 2018). DAR