Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Sebuah bangunan tua berdiri kokoh di Jalan Cempaka, berarsitektur kolonial, berkelir putih, berlantai tegel berwarna kuning dan hitam yang disusun membentuk sebuah pola. Pintu dan jendela berbahan kayu yang berkelir kuning gading, padu padan dengan kusen berkelir coklat. Tiang-tiang di serambi depan, samping maupun belakang, juga berkelir cokelat. Beberapa sisi beton di bangunan ini mulai retak dimakan usia, juga efek bencana gempa bumi 28 September 2018 lalu. Kelir di dinding bangunan juga mulai pudar dimakan usia. Di beberapa bagian di dalam gedung, bagian plafon mulai terbuka dan diberi kayu penahan agar tidak rubuh.
Bangunan tua ini, dikenal masyarakat Kota Palu dan Sulawesi Tengah dengan nama Gedung Juang. Bangunan ini telah menjadi saksi perjalanan Palu sebagai sebuah kota. Untuk itu, dirasa penting untuk menuliskan sejarah bangunan tua ini, agar kisahnya dikenali oleh masyarakat.
Bangunan ini, pada awalnya dibangun dengan tujuan untuk dijadikan sebagai rumah bagi pejabat Kontrolir Palu. Arsip memori serah terima jabatan Kontrolir Palu, M.C. Voorn pada 1925 menjelaskan, bangunan ini dibangun dengan anggaran belanja tahun 1924. Voorn menulis, pembangunan ini dilakukan, karena bangunan rumah Kontrolir yang dibangun sebelumnya, kondisinya tidak bagus lagi dan terletak di lokasi yang terendam air (banjir), saat muka air di Sungai Palu sedang tinggi. Oleh karena itu menurut Kontrolir Palu periode 31 Mei 1924 hingga 9 Desember 1925 ini, bangunan rumah Kontrolir yang lama ini harus ditinggalkan, karena alasan kesehatan.
Menurut laporan Voorn, pekerjaan pembangunan rumah kontrolir dimulai pada 1 Juni 1924. Lokasi yang dipilih untuk pembangunan rumah ini, terletak lebih tinggi dari bangunan rumah kontrolir sebelumnya. Lokasi ini secara bertahap dibersihkan dari kaktus yang menutupi keseluruhan lokasi.
Voorn menulis, seluruh kantor administrasi baru, akan dibangun di daerah itu (lokasi Gedung Juang red.). Pembersihan lokasi terus dilakukan dan dibuat sebuah alun-alun besar, di depan rumah Kontolir yang baru. Alun-alun ini, kini dikenal sebagai Bundaran Taman Nasional.
Lanjut Voorn dalam memorinya, rumah ini rencananya akan diserahkan pada akhir Desember 1924, tetapi keadaan yang tidak terduga menyebabkan penundaan, sehingga rumah itu tidak siap dihuni, dan kemudian siap huni pada 1 April 1925.
Sejak mulai dihuni pada 1 April 1925, rumah Kontrolir yang baru ini pun dihuni oleh Kontrolir Palu, M.C. Voorn, hingga masa jabatannya berakhir pada 9 Desember 1925. Selanjutnya, rumah ini ditempati oleh para Kontrolir dan Gezaghebber Palu, hingga 1942.