PALU, MERCUSUAR – Tiga tahun pascabencana gempa, likuefaksi, dan tsunami yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, 28 September 2018 lalu, dampaknya masih dirasakan oleh para nelayan yang bermukim di wilayah Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Tanggul yang dibuat di sepanjang pinggir pantai yang berguna sebagai pembatas air laut dan daratan, menjadi salah satu penghambat nelayan dalam melaut.
Salah seorang nelayan setempat, Irvan (58), mengatakan tidak setuju dengan adanya tanggul tersebut, yang membuat keinginan para nelayan untuk melaut menurun, dan pendapatan mereka juga ikut menurun. Selain itu, para nelayan jadi takut untuk melaut, karena menurut mereka, berbahaya kalau badai, karena sudah tidak ada daratan tempat mereka untuk menepi, karena adanya tanggul tersebut.
“Tadinya kita itu sebelum ada tanggul ini, kita punya kemauan ke laut itu 100 persen. Sekarang sudah malas, kondisi laut bagus, akan tetapi daratannya laut yang sudah tidak ada, fiber perahu juga sudah pecah-pecah semua lantaran batu. Fiber juga kena air terus, jadi lapuk,” keluhnya
Selama tiga tahun terakhir, Irvan masih tinggal di hunian sementara (huntara) bersama keluarganya, karena huntap yang dibangun, jauh dari tempat mata pencahariannya sebagai nelayan. Harapan Irvan, pemerintah bisa membangunkan mereka huntap di wilayah Lere. Pasalnya, huntap yang dibangun, tidak sesuai dengan tempat mereka mencari nafkah, karena jauh dari pantai.
“Huntap itu (untuk nelayan red.), tidak mungkin jauh dari jangkauan laut. Kami dikasih pilihan tempat yang jauh dari laut, jadi setengah mati, jadi kami tanam lutut saja di sini, untuk pertahankan kami punya lokasi (lahan (red.),” jelasnya. MG3