Ini sebuah tulisan yang harusnya tayang sehari setelah kegiatan Central Celebes Marathon (CCM) 2018. CCM meninggalkan sejumlah catatan yang dinilai tidak bagus dalam pandangan atlet,masyarakat bahkan para fotografer yang meliput even internasional yang digelar pada hari Minggu (15/4/2018) lalu.
Tulisan : ISSRIN ASSAGAF
Wartawan Mercusuar
Insiden marah Haris Kariming di area start finish, mengawali “noda” CCM. Kepala biro dan protokol Setdaprov Sulteng ini murka kepada Master Ceremony (MC) yang memberi isyarat kepada pelari untuk bersiap di area start. Haris mendatangi podium MC sambil teriak dengan nada marah, melarang pelari untuk dilepas padahal sudah menunjukkan pukul 5 lewat 6 menit yang artinya sudah terlambat dari waktu jam 5 tepat yang mengharuskan rombongan pelari HM 21K dilepas.
Aksi tak simptik pejabat tersebut harusnya bisa diredam dengan tidak harus berteriak kepada MC yang pada akhirnya MC pun menyebut bahwa tugasnya hanya memandu acara sesuai jadwal.
Tak hanya pelari asing, nasional maupun lokal jadi kaget, para wartawan pun dibuat terkejut.
Ternyata, sesi start kedua CCM saat itu akan dilepas bapak gubernur yang sayangnya datang terlambat ke lokasi. Sehingga Haris Kariming melarang untuk dilakukan pelepasan rombongan pelari di HM 21 K sebelum pak Longki Djanggola tiba di lokasi.
Sejatinya sikap Haris Kariming sudah betul yang mengatur segala hal terkait dengan tugas keprotokoleran. Tapi, disatu sisi berteriak didepan para tamu dangan nada marah-marah akan memunculkan pandangan negatif terhadap penyelenggaraan CCM. Itu yang pertama.
Yang kedua, ketika tiba saatnya pelari pertama dikategori 42K asal Kenya menyentuh garis finis, salah satu wanita langsung menyambut si pelari dengan mengalungkan medali finisher tepat di depan fotografer. Bagi masyarakat awam tidak ada yang salah dengan aksi wanita berambut panjang itu. Tapi bagi para fotografer, hal itu justru menghalangi pandangan sekaligus menghilangkan moment ekspresif sang pelari di garis finish. Itu sebuah kekeliruan yang tak bisa dimaafkan bagi fotografer dan menjadi noda kedua di CCM.
Yang ketiga, belum hilang rasa amarah fotografer kepada si pengalung medali finisher, muncul lagi noda CCM ketika mobil patroli pengawal yang biasa disebut foreder atau voorijder ikut latah menembus garis finish melintas diatas karpet merah. Sementara dibelakangnya ada pelari terdepan yang sudah siap di abadikan lewat jepretan kamera. Tapi,apa daya tangkapan fotografer lagi-lagi terhalang mobil foreder polisi.
Ah, sepertinya si pengemudi juga mau merasakan nikmatnya menyentuh finish di ajang internasional. Padahal betapa indahnya ketika ekspresi pelari menyentuh finish bisa terekam utuh tanpa ada pembatas yang menghalangi sudut pandang.
Pertanyaannya,apakah foreder bisa diizinkan masuk finish di depan pelari terdepan, sementara ulah foreder tersebut menjadi penghalang fotografer yang telah bersiap membidikkan kamera dari arah depan?.
Kejadian-kejadian diatas hanyalah sebagian kecil dari catatan kesalahan di even marathon terbesar pertama di Sulawesi Tengah.
Tapi, satu hal lagi yang patut menjadi pelajaran untuk penyelenggaraan CCM tahun depan,yaitu area kedatangan pelari di garis finish harus dipisahkan dengan pelari di jarak 10K dan 5K yang pesertanya banyak diikuti pelari yang lebih banyak berjalan ketimbang lari. Pasalnya, begitu banyak pelari lokal di jarak 5K dan 10K yang masuk finish mengahalangi jalur pelari 42K yang juga finish di waktu bersamaan.
CCM adalah gawean Pemprov Sulteng yang memberikan hiburan untuk warga. Hanya saja perlu dikelola dengan profesional oleh EO yang ditunjuk pemda. ***