Oleh: Africhal (Ketua Umum HMI Cabang Palu Periode 2024-2025)
HMI sebagai organisasi yang memiliki peran sosial keumatan menjadikan perbaikan tatanan masyarakat sebagai tujuan utama dalam perjuangan nya sebagaimana yang tertera dalam tujuan HMI, “Terbinanya Mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala”.
Setelah terbentuknya pada tanggal 5 Februari 1947, HMI telah berkiprah pada setiap periode zaman selalu menampilkan diri pada setiap jengkal perjalanan Sejarah bangsa Indonesia dengan berbagai model dan bentuk perjuangannya.
HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan memiliki tanggungjawab atas pembentukan individu dan tanggungjawab atas pembentukan masyarakat. Frasa kalimat “terbinanya mahasiswa menjadi insan ulil albab …………” merupakan frasa yang menempatkan Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi perkaderan.
Gerak perkaderan organisasi HMI tentu saja didasarkan pada pemahaman keIslaman yang utuh dalam diri seorang individu, sehingga menciptakan seorang insan yang menerapkan keIslamannya secara kaffah.
Kader HMI dituntut untuk memiliki kemampuan dan kualitas individu baik secara intelektual maupun spiritual sebagai modal utama dalam kiprahnya di tengah-tengah masyarakat. Kedua aspek tersebut harus terinternalisasi dalam setiap diri kader yang merupakan ciri khas seorang kader dan merupakan implikasi dari proses pengkaderan sebagaimana karakteristik insan ulil albab yang dijabarkan pada khittoh perjuangan HMI.
Kader HMI dalam prosesnya harus memiliki kesadaran secara utuh akan kemampuan diri, selalu mengevaluasi diri sebagai bentuk perkaderan diri baik pada proses formal organisasi, maupun diluar kegiatan organisasi.
Kader HMI sebagai individu dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual yang mempuni sebagai syarat wajib bagi seorang agen perubahan di mana dalam proses perkaderan HMI yang sangat menekankan out put kader HMI untuk memiliki kemampuan intelektual progresif, serta kesadaran penuh sebagai kebutuhan fitrawi seorang manusia.
Tugas untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar (menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran) sangat beresiko jika kader HMI tidak memiliki kemampuan intelektual (pengetahuan) yang mempuni.
Dalam Islam, diwajibkan manusia untuk menuntut ilmu artinya manusia harus berpengetahuan sebagai jati diri dari seorang manusia untuk mengenal realitas akan diri dan alam semesta (Tuhan).
Islam merupakan agama yang menempatkan ilmu pengetahuan dan fungsi akal sebagai sesuatu yang utama serta sebagai mukaddimah dalam mempelajari ajarannya, dan untuk melakukan pendekatan diri terhadap realitas pencipta alam semesta (Tuhan). Sebagai mukaddimah, maka memaksimalkan fungsi akal adalah hal yang wajib untuk melangkah kepada proses-proses perjalanan selanjutnya.
Selain kemampuan intelektual, kader HMI juga dituntut untuk memiliki kualitas spiritual yang baik. Ini merupakan aspek yang tidak terpisahkan yang harus ada dalam setiap diri kader HMI.
Sebagai manusia yang meyakini konsep ketuhanan, atau dalam islam disebut konsep Tauhid, kita sebagai manusia tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap individu dan masyarakat saja, namun juga memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan (hablumminallah dan hablumminannas) hal inilah yang melandasi setiap usaha-usaha yang dilakukan oleh HMI sebagai pengharapan untuk mendapatkan keridhoan dari padaNya.
Ridho Tuhan merupakan tujuan yang diharapkan oleh kader HMI atas apa yang diusahakannya. sehingga idealnya seorang kader HMI dalam melakukan tanggungjawab sosialnya tidak mengharapkan balasan-balasan lainya, apalagi condong kepada hal-hal yang bersifat materialistis semata.
Aspek spiritual lah yang menjadikan perjuangan dan aktifitas kader HMI memiliki nilai yang lebih tinggi serta memberi penghayatan yang lebih dalam terhadap peran dan tugas seorang kader baik tanggungjawab secara individu, maupun tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat.
Sehingga menguatkan keteguhan dalam menghadapi dinamika dalam proses perkaderan dan perjuangan yang berlandaskan kesyukuran dan keikhlasan.
Selanjutnya, jika aspek-aspek ideal dalam diri seorang kader telah terkondisikan, kemampuan dan kesadaran individu haruslah menjadi kesadaran kolektif sebagai suatu kesadaran bersama sebagai perhimpunan kekuatan perjuangan dalam sebuah wadah yang terorganisir.
Peran HMI dalam masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam tujuan HMI ”……… yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala” merupakan suatu istilah yang sama maknanya dengan istilah “Baldhatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”. Frasa ini juga menempatkan organisasi HMI sebagai sebuah organisasi perjuangan yang melakukan perbaikan seluruh aspek kehidupan masyarakat menuju tatanan yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala.
Hal ini merupakan cerminan dari tafsir HMI pada konsep keIslaman. Konsep yang menempatkan Islam tidak hanya ada pada sebuah entitas yang bernama “individu” namun juga pada sebuah entitas yang bernama “sistem sosial kemasyarakatan.
Peran HMI kepada sosial masyarakat memiliki kesamaan yang subtansial dengan peran kenabian pada setiap zaman. Masyarakat sebagai suatu system hidup kolektif membutuhkan individu-individu tercerahkan untuk mengatur dan membina masyarakat menjadi suatu tatanan yang ideal yaitu masyarakat yang hidup dengan sistem keadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran di dalamnya.
Tentu itu bukan hal yang mudah dilakukan namun harus tetap diusahakan dengan ikhtiar sebagai entitas individu maupun kelompok dalam masyarakat yang memiliki kesadaran individu dan kesadaran masyarakat atau tercerahkan (Rausyan Fikr).
Peran HMI akan selalu ada pada setiap zaman, baik kontribusi positif, maupun negatif. Tanpa harus menutup mata, HMI juga telah banyak melahirkan para pemimpin-pemimpin yang zalim, korupsi, dll, itu merupakan bentuk penyimpangan dan kontradiksi dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh HMI kepada kadernya. Namun apakah itu sebuah kenormalan? saya katakan dengan tegas, TIDAK.
HMI memang bukan organisasi yang sempurna, dan memang tidak ada organisasi ciptaan manusia yang sempurna namun HMI adalah organisasi yang ideal untuk membina setiap kadernya menuju kepada kemanusiaannya. Dengan Islam sebagai asas utama dalam merumuskan system dan nilai pada organisasi.
Maka tindakan penyimpangan (kezaliman) yang dilakukan oleh siapapun, termasuk kader maupun alumni HMI patut kita kecam dan kritik tanpa pandang bulu sebagai sikap keberpihakan HMI kepada kebenaran yang merdeka dan independent.
Akhirnya, menjalankan roda organisasi dengan aktif dan sadar akan tujuan HMI serta menginternalisasi nilai-nilai HMI, kemudian mengaktualisasikan nilai tersebut, merupakan bentuk kontribusi kita terharap bangsa Indonesia, umat dan agama. Ucapan terimakasih dan doa kepada orang-orang yang tulus ikhlas dalam mengambil peran-peran keumatan berdasarkan sektor dan kemampuan masing-masing. Yakin Usaha Sampai.***