Oleh: Nasrullah Muhammadong
Judul di atas, terinspirasi ketika penulis menghadiri sebuah seminar bertema: “Pembentukan Produk Hukum Daerah”. Ada peserta yang mempermasalahkan sesuatu, kurang lebih begini: “mengapa ada pengertian-pengertian dalam ketentuan umum sebuah perda, seperti berbunyi, Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tengah. Atau, DPRD adalah DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.
Si penanya, sepertinya menginginkan, pengertian-pengertian seperti di atas, diambil saja dari KBBI atau UU Pemda. Penulis yang sempat hadir di pertemuan itu, hanya bisa bergumam: Memang bahasa hukum mengikuti kaidah penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Tapi juga, jangan salah kira dengan bahasa hukum itu sendiri.
Dalam Lampiran II UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (atau UU P3), dijelaskan, ada yang disebut “batasan pengertian” ada pula yang dinamakan “definisi”. Kedua formula ini, sering kita jumpai dalam isi Pasal 1, Bab I, dengan judul “Ketentuan Umum”.
Kalau disebut Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tengah, ini masuk kategori “batasan pengertian”. Sebaliknya, kalau disebut Gubernur adalah kepala pemerintah tingkat provinsi, ini yang dinamakan “definisi ” (boleh jadi diambil dari KBBI).
Tapi “batasan pengertian” lebih sering digunakan dalam bentuk produk hukum daerah (seperti perda, pergub, dan sebagainya). Sebaliknya, “definisi” lebih digunakan dalam produk hukum nasional (seperti UU atau PP, yang berlaku dari sabang sampai merauke).
Juga Pertanyaan Lain
Ketika sebagai tenaga ahli di DPRD, penulis pernah juga diajukan pertanyaan: “kenapa bagian menimbang atau konsiderans di raperda ini hanya satu paragraf saja? Bukankah biasanya ada 4 poin, yang terdiri dari bagian menimbang a, b, c, dan d?
Dalam UU P3 dikatakan, konsiderans perda cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal dari UU atau PP yang memerintahkan pembentukan Perda tersebut.
Contoh, Perda Kabupaten Bangka Barat No 8/2010 tentang Hutan Kota. Menimbang: “bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 2 peraturan pemerintah nomor 63 tahun 2002 tentang hutan kota, perlu membentuk peraturan daerah tentang hutan kota.
Jadi, kalau ada perintah langsung dari UU atau PP, maka perda cukup mencantumkan satu konsiderans saja. Ini juga berlaku bagi PP yang melaksanakan perintah UU, serta Perpres yang melaksanakan perintah UU atau PP.
Keseragaman Bahasa
Bahasa hukum, di samping menyajikan kepastian hukum juga menghidangkan keseragaman bahasa. Keseragaman ini, ujung-ujungnya, juga demi kepastian hukum.
Dalam bahasa peraturan, kita tidak bisa menggunakan kata “kalau”, bila UU P3 telah menentukan kata “jika” (walaupun dalam KBBI kata “kalau” dan “jika” adalah sinonim).
Penggunaannya, seperti bunyi Pasal 41 ayat (3) UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. “Jika terjadi kekosongan jabatan presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik wakil presiden menjadi presiden”. Kita tidak boleh mengganti kata “jika” dengan kata “kalau”, sehingga menjadi kalimat: “Kalau terjadi kekosongan jabatan presiden…”. Intinya, untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka) menurut UU P3, ditekankan harus menggunakan kata “jika”.
Begitu pula kata “andai”. Menurut KBBI, kata ini digunakan untuk menyatakan suatu peristiwa yang dianggap mungkin terjadi. Tapi lain lagi menurut UU P3. Untuk menyatakan suatu kemungkinan keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi, yang digunakan adalah frasa “dalam hal “, bukan kata “andai”.
Contoh, bunyi Pasal 33 ayat (2) UU No 13/2010 tentang Hortikultura. “Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri”. Kita tidak boleh membuat kalimat: “Andai sarana hortikultura…”.
Pembentukan Produk Hukum
Di akhir seminar, sebagaimana yang disinggung di awal tulisan ini, penulis sempat juga dibuat termenung atas tema yang didiskusikan. Yaitu, sekali lagi, “Pembentukan Produk Hukum Daerah”. Tema ini sebenarnya, sama bunyinya dengan judul/nama sebuah peraturan, yaitu, Permendagri No 80/2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Kalau di selisik lebih dalam, ada yang mengganjal dari frasa “Pembentukan Produk Hukum Daerah” tersebut. Secara semantik dan tata kalimat normatif, di situ kesannya terjadi redundansi (pengulangan), atau pleonastik (kata berlebihan). Mari kita telaah.
Kata “pembentukan”, merujuk pada proses menghasilkan sesuatu. Sebaliknya, “produk” adalah hasil dari proses itu sendiri (vide KBBI). Jadi, frasa “pembentukan produk” secara harfiah dapat diartikan sebagai “proses hasil”. Ini adalah pengulangan makna yang tidak efisien dan tidak logis dalam bahasa. Dengan kata lain, frasa seperti ini, seolah memisahkan “proses” dan “hasil” sebagai dua hal berbeda. Padahal keduanya terkait secara hierarkis.
Sebagai analogi. Ada frasa berbunyi, “pembuatan hasil kue”. Frasa ini kelihatan rancu, karena “hasil” sudah terkandung di dalam “pembuatan” itu sendiri. Langsung saja ditulis, “pembuatan kue”. Contoh lain, “pembangunan konstruksi gedung”. Cukup ditulis “pembangunan gedung”. Karena konstruksi, sudah meliputi di dalamnya.
Kembali. Pembuat regulasi, barangkali menginginkan, bahwa dari judul permendagri tadi, dapat menggambarkan dua aspek di dalamnya. Yaitu proses pembentukan, dan hasil akhir pembentukan. Tapi, sekali lagi, dengan frasa seperti tadi, yang terjadi hanyalah redundansi atau repetisi.
Mengapa tidak menggunakan judul: “Pembentukan Hukum Daerah” saja. Cakupannya cukup luas. Baik dari proses penyusunan, hingga jenis hukum daerah yang dihasilkan. Atau, Produk Hukum Daerah (kalau mau fokus pada hasilnya saja). Lihatlah UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Tidak ada pakai kata “produk’ di dalamnya.
Tapi sayang, frasa “Pembentukan Produk Hukum Daerah”, sepertinya sudah konstan digunakan dalam bahasa peraturan perundang-undangan. Bahkan, sudah banyak dipakai sebagai judul tulisan atau buku.
Penulis adalah Pengajar Perancangan Peraturan Perundang-undangan, pada Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Palu.