Alerta! Di Ruang Sipil Dibangun Barak, Demokrasi Sedang Diretak

Oleh: Fauzia Noorchaliza

Belum selesai dengan badai polemik efisiensi, Indonesia kali ini dihadapkan dengan permasalahan baru yang mempertaruhkan akal sehat demokrasi. Pemerintah tiba-tiba mengebut revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia yang dilakukan mendadak dan tanpa partisipasi publik di hotel mewah.

Sebuah ironi bahwa agenda ini kontradiktif dengan tekanan efisiensi anggaran yang sejak awal tahun digaungkan oleh pemerintah. Membuka daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024, revisi UU TNI absen dari Prolegnas 2024.

Tidak adanya diskusi terbuka, kajian akademis yang komprehensif, dan penjelasan urgensi revisi, memberi kesan langkah ini dilakukan secara prematur dan menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan kembalinya era gelap Dwifungsi ABRI saat Orde Baru. Keputusan yang terkesan impulsif dan serampangan menguatkan kecurigaan publik bahwa revisi bukan hanya mengubah kebijakan secara administratif namun juga melahirkan ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi sipil.

Masih segar dalam sejarah bagaimana Dwifungsi ABRI merusak tatanan demokrasi. Saat masa Orde Baru, militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara tapi juga digunakan sebagai alat politik pengontrol masyarakat.

Penutupan keran kebebasan berpendapat, pembungkaman gerakan mahasiswa dan penculikan aktivis terjadi secara sistematis. Prajurit aktif yang sibuk mengurus jabatan sipil, menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan menghambat birokrasi yang seharusnya berdasarkan prinsip meritokrasi.

Reformasi yang diperjuangkan tahun 1998 berupaya membatasi militer dalam ranah sipil guna menjaga profesionalisme dan netralitas TNI dalam politik. Namun dengan adanya revisi UU TNI justru kembali membuka lebar gerbang untuk militer masuk ke dalam birokrasi sipil.

Belum kering tinta catatan peristiwa kelam yang banyak melanggar HAM, kini pemerintah berupaya menghidupkan skema praktik serupa. Tentu kita tidak mau kembali ke masa lalu. Terdapat beberapa pasal dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengalami perubahan signifikan. Pertama, perubahan pasal 3 terkait kedudukan TNI. Undang-undang saat ini menetapkan bahwa kedudukan TNI dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden dan dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Pasal ini direvisi menjadi kedudukan TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan. Perubahan struktur komando yang membuat TNI lebih lekat dengan unsur sipil akan menimbulkan potensi politisasi dalam militer dan berpengaruh terhadap netralitas TNI dalam politik.

Kemudian, perubahan pada pasal 53 yang saat ini mengatur masa dinas usia prajurit untuk perwira paling tinggi 58 tahun dan untuk bintara dan tamtama paling tinggi 53 tahun. Dalam revisi, masa dinas untuk perwira menjadi 60 tahun, bintara dan tamtama 58 tahun, dan bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional, paling tinggi hingga 65 tahun. Tentu ini perlu kajian lagi karena dengan menambah perpanjangan usia, dapat terjadi penumpukan personel yang menghambat regenerasi TNI.

Jabatan-jabatan strategis akan ditempati oleh yang lebih senior sehingga perwira muda sulit mengembangkan karirnya. Terakhir, perubahan pada pasal 47 paling menuai kontroversi dan gelombang penolakan. Pasal ini mengatur tentang prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Pada revisi, terdapat perluasan bidang yang dapat diduduki oleh prajurit aktif yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kejaksaan Agung, Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kelautan dan Perikanan, serta Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Perluasan ranah TNI ke jabatan sipil merusak supremasi sipil dan reformasi militer yang sudah dibangun selama ini. Kebijakan yang bertentangan dengan perjuangan yang digerakkan sejak 1998 ini, membuat lemah profesionalisme birokrasi dan mengancam netralitas TNI dalam ruang yang harusnya diduduki oleh sipil.

Masuknya militer dalam ranah sipil sama dengan meniupkan ruh praktik Dwifungsi ABRI dalam wajah baru. Jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, perubahan yang sedang diam-diam disusun, lebih cocok disebut Multifungsi ABRI karena banyak ranah yang dapat dijamah. Reformasi memisahkkan militer dari ruang sipil.

Adanya revisi dengan perubahan demikian justru menarik mundur demokrasi ke masa yang sudah lama ditinggalkan. Rapat buru-buru dan dilakukan dalam seyap oleh DPR, bertujuan mengejar target pengesahan RUU TNI pada rapat paripurna sebelum masa reses 21 Maret nanti. Tingkah pemerintah yang memberi ruang untuk membangun barak di ruang sipil sejatinya sudah membuat demokrasi retak.

Upaya revisi tanpa melibatkan partisipasi publik dan transparansi, merupakan ancaman serius pada demokrasi. Jangan sampai revisi UU TNI membawa Indonesia Kembali ke masa yang penuh represi. Waspada, jangan biarkan supremasi sipil mengalami erosi.

(Penulis adalah Ketua Umum Kohati HMI Cabang Bogor, Mahasiswa Pascasarjana IPB University)

Pos terkait