Oleh: Temu Sutrisno
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara manusia berinteraksi. Di era digital ini, komunikasi tidak lagi terbatas ruang dan waktu. Media sosial, aplikasi pesan instan, forum daring, hingga dunia metaverse menjadi ruang baru pergaulan manusia. Namun, perkembangan ini seperti belati bermata dua. Selain memberikan kemudahan juga membawa tantangan baru, salah satunya adalah etika.
Etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sementara moralitas menurut KBBI adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep baik, buruk, boleh tidak boleh, patut tidak patut, dan tanggung jawab moral. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat dan prilaku.
Dalam perkembangan teknologi informasi yang mengubah budaya interaksi sosial, etika digital sangat diperlukan. Apa yang dimaksud etika digital? Etika digital adalah seperangkat prinsip moral yang mengatur perilaku individu dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Tujuannya untuk menciptakan ruang digital yang aman, tertib, dan saling menghormati bagi seluruh pengguna selayaknya kesantunan di dunia nyata.
Mengapa etika digital penting? Etika digital dibutuhkan untuk memberikan arah interaksi yang sehat dunia digital, menjaga keharmonisan komunikasi online dari para pengguna dengan latar sosial beragam. Saat dunia maya mempertemukan orang dari berbagai latar belakang – bahkan global- tanpa batas, sekat teritorial, dan nilai moral sektarian, tanpa etika perbedaan-perbedaan itu dapat memicu konflik. Etika digital mendorong pengguna untuk bersikap sopan, memahami dan menghargai perbedaan multibudaya.
Melindungi Privasi Diri dan Orang Lain
Etika digital mengajarkan pentingnya menjaga data pribadi dan tidak sembarangan membagikan informasi orang lain tanpa izin. Fakta menunjukkan, bahwa interaksi dunia maya sering kali menabrak beragam norma, bukan sekadar etik namun juga hukum.
Undang-Undang No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), secara tegas mengatur penyebarluasan informasi dan transaksi elektronik yang dibolehkan dan dilarang.
Sejak UU ITE disahkan, ratusan orang berurusan dengan hukum. Lebih dari itu, kerentanan harmonisasi sosial kerap terganggu karena komunikasi dan informasi yang tersebar di media komunikasi digital.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat kurun 2008-2024, imbas UU ITE ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh Indonesia dilaporkan.
SAFEnet merilis146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital: pada tahun 2024, dengan 170 korban terlapor.
Koalisi Masyarakat Sipil menyebut hampir 400 orang dituntut: dengan UU ITE dalam 9 tahun terakhir.
Tingkat penghukuman mencapai 96,8% (744 perkara) dan tingkat pemenjaraan 88% (676 perkara) dalam kurun waktu 2016-2020.
Mencegah Hoaks dan Ujaran Kebencian
Di era banjir informasi, menyebarkan berita bohong atau ujaran kebencian bisa berdampak besar. Berita bohong atau hoaks, menggiring terburainya tenun kebangsaan yang menghargai kebhinekaan dan memanggul persatuan. Sharing informasi dilakukan tanpa menyaring. Banyak pengguna media komunikasi digital tidak mementingkan validasi informasi dan menganalisa dampak, langsung klik dan meneruskan informasi yang masuk di beranda komunikasinya. Etika digital mengajarkan sikap bijak dalam menyaring dan membagikan informasi.
Menghindari Perundungan Digital
Komentar yang merendahkan, menyindir, atau melecehkan orang lain dapat dikategorikan sebagai kekerasan digital. Etika digital menumbuhkan empati dalam berinteraksi.
Masyarakat digital (netizen) harus didorong dan menyadari bahwa kekosongan budaya dan spiritual di dunia digital perlu diisi dengan beragam konten kebaikan dan kemanusiaan seperti nilai moral, etika, rasa empati, simpati, cinta kasih, dan nilai-nilai serupa. Semakin banyak pihak berkolaborasi dalam gerakan literasi digital untuk kemanusiaan, akan semakin baik.
Prinsip-Prinsip Dasar Etika Digital
Beberapa prinsip dasar komunikasi dan interaksi digital, sejatinya tidak berbeda antara kehidupan nyata dan dunia maya.
Beberapa diantaranya, pertama, kesopanan (Courtesy). Pengguna komunikasi digital dituntut menggunakan bahasa yang santun. Hindari hinaan, fitnah, atau kata-kata kasar.
Kedua. Kejujuran (Honesty). Pengguna wajib menghindari plagiarisme, manipulasi informasi, dan akun palsu. Kejujuran juga mewujud sebagai bentuk penghargaan dan mengakui karya orang lain.
Ketiga, tanggung Jawab (Responsibility). Berani bertanggung jawab atas konten yang dibagikan. Jangan sembarangan menyebar informasi tanpa fakta atau informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
Keempat, keadilan (Fairness). Pergaulan dan komunikasi di dunia digital yang tidak tersekat teritorial dan ruang primordial, lebih bijak bersifat imparsial, tidak memihak secara buta, dan menghargai pendapat berbeda tanpa menjatuhkan.
Kelima, Privasi dan Keamanan (Privacy and Security). Kebebasan interaksi tidak dimaknai, bebas tanpa batas. Perlu pemahaman pentingnya melindungi data pribadi, serta tidak mencuri dan membocorkan informasi sensitif milik orang lain.
Beberapa contoh sederhana prinsip dasar etika digital adalah Tidak mengunduh atau menyebarkan konten bajakan, menyebutkan sumber saat mengutip tulisan atau gambar, menghindari komentar provokatif di media sosial yang dapat berdampak pada rapuhnya tatanan sosial di dunia nyata.
Contoh lainnya adalah memverifikasi informasi sebelum membagikannya dan tidak memotret atau merekam orang lain tanpa izin.
Tantangan Etika Digital
Arus lalu lintas informasi yang berbasis teknologi digital bergerak sangat cepat dan sering memberikan informasi yang bersifat provokatif, ujaran kebencian, kekerasan, cabul, hoaks, maupun post-truth yang membahayakan dan merusak sendi-sendi kehidupan sosial. Bahkan dalam konteks negara bangsa, informasi bisa di-remote control untuk mengganggu kepentingan bangsa dan kedaulatan negara. Anonimitas di dunia maya sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran etika digital sebagaimana di atas.
Akhirnya, perlu langkah kolaboratif semua pihak untuk literasi literasi digital-khususnya etika agar semua melek dampak baik dan buruk. Literasi perlu digiatkan untuk memahami bebas berekspresi yang disalahartikan sebagai bebas tanpa batas.
Etika digital bukan sekadar aturan teknis, melainkan wujud tanggung jawab moral sebagai warga digital. Dunia maya adalah cerminan dunia nyata.
Apa yang dilakukan di dalamnya memiliki konsekuensi. Dengan menjunjung tinggi etika digital, kita turut menciptakan ekosistem digital yang sehat, aman, dan beradab. Wallahu alam bishawab.***
Penulis adalah Wartawan Utama Mercusuar-Trimedia Grup/Sekretaris PWI Sulteng
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan cerminan sikap media dan organisasi )