Meskipun terus mendapat dukungan dari sekutu utama mereka, yaitu Amerika Serikat, namun tampaknya dukungan itu tidak cukup untuk dapat menyelamatkan Israel dari jurang kehancuran.
Sementara menurut saluran TV Al-Manar Lebanon, serangan militan Hezbollah ke wilayah pendudukan di sebelah utara semakin masif. Hal itu membuat kerusakan serius pada fasilitas-fasilitas militer Isarel di sana.
Bunyi sirine meraung-raung hampir setiap saat. Pertahanan udara Israel sudah kewalahan mengahadapi gempuran roket dari militan Hezbollah sehingga banyak korban, baik dari pihak militer maupun sipil di Israel.
Seorang veteran militer Zionis Israel, Mayor Jenderal (Purn) Itzhak Brik memprediksi, bahwa negaranya akan segera mengalami kehancuran yang mengerikan dan keruntuhan. Hal itu karena perang yang tidak kunjung usai.
Itzhak Brik menyampaikan prediksinya itu melalui sebuah artikel di surat kabar Israel, Haaretz. Ia menulis bahwa pertempuran di Gaza yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 lalu hingga saat ini akan berubah menjadi perang gesekan-gesekan antar elit Israel yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan bagi negara itu.
Sementara itu mantan Wakil Perdana Menteri Israel, Avigdor Lieberman juga mengatakan hal yang sama. Lieberman mengatakan, Benjamin Netanyahu sedang menjerumuskan Israel menuju kehancuran dan ia tidak tahu bagaimana mengelola kondisi terkini negaranya.
Lieberman menambahkan, Netanyahu kini hanya berusaha memastikan bahwa ia tetap berkuasa selama mungkin. Israel saat ini sedang menghadapi apa yang disebutnya sebagai ancaman eksistensial, dan sedang mengalami krisis multidimensi, politik, ekonomi dan keamanan, yang merupakan krisis terbesar sejak berdirinya negara tersebut.
Senada dengan para pejabatnya, sejarawan Israel, Illan Pappe menunjukkan lima tanda kehancuran Zionis Israel yang sudah di depan mata:
Pertama, perang saudara antara orang-orang Yahudi yang dimulai antara Yahudi sekuler dan religius di Israel sebelum serangan 7 Oktober.
Pappe mengatakan masyarakat sekuler, yang sebagian besar adalah orang Yahudi Eropa, bersedia terus menindas Palestina dengan cara apa pun, demi mengejar kehidupan yang liberal dan bebas. Sementara kelompok teologis Israel yang bermukim di Tepi Barat mencoba mengubah Israel menjadi rezim yang religius dan eksklusif (rasis).
Kedua, adanya dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap isu Palestina di seluruh dunia.
Ketiga, dalam bidang perekonomian. Adanya kesenjangan kelas yang tajam di Israel, dan setiap tahun jumlah mereka yang berisiko mengalami kemiskinan di Israel meningkat.
Keempat, adanya ketidakmampuan tentara Israel mendukung komunitas Yahudi di selatan dan utara.
Kabinet Israel juga belum mampu memberikan dukungan kepada keluarga Zionis yang tewas dan terluka setelah insiden 7 Oktober. Maka tak heran banyak orang tua yang kecewa yang anak-anaknya dipaksa ikut wamil (wajib militer) perang melawan Hamas.