Filosofi Lima Jari Dalam Birokrasi

Ibnu Mundzir

Oleh : Ibnu Mundzir

Hari ini, mumpung libur dari rutinitas harian, karena tanggal merah, maka dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dengan para senior. Sebuah kegiatan rutin, dengan berjumpa para senior yang telah makan asam garamnya birokrasi.

Di antara hal yang dapat ditarik benang merahnya dari setiap perjumpaan tersebut adalah bahwa permasalahan birokrasi pada setiap zaman, memiliki kesamaan, nyaris sama dan sebangun walaupun dengan variasi intrik minor, tapi overall ngak jauh berbeda.

Karena permasalahan yang ada saat ini, sesungguhnya hanyalah pengulangan semata dari hal yang pernah terjadi dahulu, sehingga seharusnya antisipasi serta mitigasi pun juga tidak jauh berbeda.

Kedua birokrat senior yang saya temani ngopi hari ini, telah berumur 65 dan 75 tahun, dan usia pengabdiannya saat pensiun yaitu rata rata 36 dan 38 tahun, yah..cukup panjang, dan rugi rasanya jika ngak diambil pelajaran darinya, toh..adegium setiap ruang adalah kelas dan setiap orang adalah guru, hanya bisa dicapai jika kita memiliki sifat isti’dat sebagai murid, yaitu belajar kerendahan hati, agar ilmu yang diperoleh tidak sekedar jadi pengetahuan semata tapi benar benar menjadi wisdom kehidupan, pada lapangan di manapun berkarier.

Oh yah…hari ini pembicaraan, selain nostalgia dan cerita lucu saat berkarier dan berinteraksi dalam berbagai jabatan yang ada, maka ada filosofi lima jari yang beliau sampaikan, dan akan saya tuliskan dengan gaya popular.

Menurutnya, setiap jari punya tahapan dan fungsi, seperti dalam birokrasi, tahap pertama, yaitu Kreatif, hanya orang yang kreatif dalam bekerja, tidak akan mati kebingungan lantaran ngak ada kerjaan, akan ada saja yang bisa membuatnya menemukan celah berkarya, dan orang kreatif itu berarti dia sudah selesai dengan pekerjaan rutin utamanya, sebab jika seorang birokrat hanya terpaku dengan langgam kerja rutin maka dia gampang menjadi bosan, beku dan jumud, dan itu berarti telah menjadi zombi yang berbaju dinas.

Kedua, yaitu Inovatif. Kemampuan inovatif itu berarti, birokrat tersebut telah berkarya, dan dari karya tersebut menghasilkan hal baru yang mungkin lebih ringkas, lebih hemat dan lebih mudah dalam mencapai target, sehingga sifat inovatif hanya bisa dihasilkan dari kreatifitas yang terus dikaryakan tanpa henti.

Ketiga yaitu Produktif, outcome dari inovasi yang berjalan adalah hasil (gain) yang menjadikan organisasi tersebut lebih mendekati ekspektasi dari client kita yaitu masyarakat, sehingga orang orang yang produktif di birokrasi maka akan menghasilkan pelayan terbaik bagi masyarakat.

Keempat yaitu Insentif, hasil inovasi yang produktif akan menghasilkan insentif bagi birokrasi tersebut, orang orang yang produktif, tidak akan mungkin mengalami kesempitan rezeki, sebab rezekinya akan terus mengalir dari berbagai sumber, sebab akan banyak pihak yang membutuhkannya, dan itu umumnya berbanding lurus antara perolehan insentif dengan produktifitas hasil dari kreatifitas. Dalam terminologi agama, ini disebut sebagai konsep berkah.

Terakhir, adalah Promotif yaitu orang yang berkarya, inovatif dan dibutuhkan oleh orang banyak, maka jika dia beruntung maka dia bisa mendapatkan stage akhir yaitu promotif. Tapi ingat, kata beliau berdua ini, jangan pernah jadikan promotif jabatan sebagai target dalam berkarier di birokrasi, sebab jika kita menjadikannya target, maka jika itu tidak tercapai maka akan mempengaruhi kreatifitas, inovatif dan produktifitas. Sebab promotif itu, di dalamnya ada campur tangan manusia dan campur tangan Allah, biarkan saja yang menjadi urusan Allah, tetap menjadi urusan Allah, dan bukan menjadikanya ultimate goal dari aktifitas kebirokrasian kita, sebab manusia punya cara tapi toh…Allah juga yang punya kehendak, sehingga nikmati kopimu dengan nikmat, dan biarkan urusan promotif tersebut menjadi sekadar senda gurau kehidupan semata.. Wallahu alam.

***Penulis birokrat muda, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu

.

Pos terkait