“Ini Palu, Bung luhut!”

IMG_20210308_094504_978

(Surat Terbuka untuk Luhut Binsar Panjaitan)

Terkejut juga, ketika seorang kawan memperlihatkan bacaan sebuah berita yang mampir di layar androidnya dan ternyata sudah viral pada sebagian besar masyarakat kota Palu, tentang pernyataan seorang petinggi negeri dengan jabatan menterang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan.

Menteri Luhut  mengutarakan pendapatnya tentang tidak adanya lagi pembangunan infrastruktur di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Pernyataan itu dengan mendasarkan alasan pada pendapat dari BMKG bahwa tanah di Kota Palu sangat labil, dan mewarning untuk para pejabat baik pusat dan daerah, agar bersiap-siap bertanggung jawab sekiranya memberi izin terhadap pembangunan infrastruktur, jika kelak terjadi bencana dan merugikan masyarakat Kota Palu.

Sambil menyicil cucian diakhir pekan, kutuliskan surat terbuka ini. Semoga bisa sebagai upaya memberikan perspektif berbeda dalam memaknai, apa yang terlanjur viral diberitakan tersebut. Tentu saja menurut perspektif kami sebagai seorang yang bekerja sebagai planner dan terlibat dalam berbagai kegiatan research untuk pemulihan kembali Kota Palu pascabencana, dari saat bencana terjadi hingga hari ini.

Bung Luhut, maafkan kalau saya menggunakan panggilan itu disini, agar kita tidak terlalu berjarak berdasarkan pemikiran. Walupun saya sadar, secara hirarkis, jarak antara saya dan bung sangat jauh, bung sebagai kepala sebuah kementerian di pemerintahan pusat, dan saya sebagai salah satu birokrat di jajaran pemerintahan Kota Palu, jauh Bung.

Cuma bedanya, saya termasuk yang mengalami sendiri kejadian bencana tanggal 28 september 2018 pukul 18.02 Wita, saat Kota Palu dihantam oleh triple bencana sekaligus yaitu gempa dengan kekuatan 7,4 SR akibat pergerakan sesar aktif Palu Koro di kedalaman 10 KM, yang memicu tsunami di 13 kelurahan pesisir Teluk Palu dan kejadian likuifaksi di dua kelurahan yaitu Balaroa dan Petobo.

Bung luhut, korban meninggal akibat bencana tersebut sebanyak 3.182 orang, rumah yang rusak dan hilang sebanyak 55.569, terdiri dari rusak berat sebanyak 11.643, rusak sedang sebanyak 16.050, rusak ringan 21.354 unit, dan yang hilang, baik karena hempasan tsunami, likufaksi dan sesar aktif Palu Koro, sebanyak 6.522 unit. Pada saat terjadinya bencana, jumlah kepala keluarga yang mengungsi sebanyak 10.720 atau 40.137 jiwa, dan kami salah satu diantaranya.

Oh yah, Bung Luhut, sebagai gambaran saja, nilai kerusakan yang terjadi pada saat bencana sebanyak Rp5,9 Trilyun, nilai kerugian sebanyak Rp1, 06 Triliun, sehingga jika ditotal kerusakan dan kerugian akumulasi sebanyak Rp6,98 Triliun, Adapun total kebutuhan untuk berfungsinya kembali Kota Palu, khususnya pada 5 sektor yaitu pemukiman, infrastuktur, sosial, ekonomi dan lintas sektor, agar bisa kembali berfungsi, seperti pada slogannya yaitu build back batter, atau membangun Kembali dengan lebih baik, total membutuhkan anggaran sebanyak Rp18, 9 Triliun.

Sengaja angka tersebut kami kedepankan, agar bung ketahui tentang keterbatasan pembangunan Kota Palu, jika hanya mengandalkan APBD semata, dan menutup mata terhadap investasi karena alasan ketakutan terhadap bencana yang berulang.

Seperti ditahun 2020, sekadar gambaran bahwa APBD Kota Palu sebesar Rp2,03 Triliun, Adapun untuk belanja langsung, yang telak untuk mendorong investasi ‘hanya’ sebesar Rp, 839 M, atau sekitar 36, 4 %, adapun sebagian besar yaitu Rp1,4 T, terserap untuk belanja tidak langsung yaitu untuk alokasi gaji pegawai dan peruntukan dana hibah, khususnya untuk pemulihan rehab rekon yaitu dana stimulant rumah rusak akibat bencana di Kota Palu, yang menyerap proporsi 63,5 % dari total APBD ditahun 2020.

Oh yah, Bung Luhut, kami di Kota Palu, sama dengan daerah lainnya di Indonesia, juga terpapar oleh Pandemi Covid-19. Bedanya, kami sudah merasakan dua kali bencana baik alam maupun non alam, secara berturut turut, akibatnya pertumbuhan ekonomi di Kota Palu menurun dari 5,06 ditahun 2018 menjadi 4, 558 ditahun 2019.

Selanjutnya tingkat pengangguran Kota Palu, meningkat dari 6,32 % ditahun 2019 menjadi 8,38 % atau sama dengan 22.111 jiwa ditahun 2020. Adapun jumlah penduduk miskin Kota Palu, meningkat dari 26.620 jiwa atau 6,83 % ditahun 2019, naik menjadi 26.890 jiwa atau 6,8 % ditahun 2020, dengan tingkat keparahan kemiskinannya 0,99 ditahun 2019, menjadi 0,97 ditahun 2020.

Sengaja angka makro pembangunan ini diutarakan, agar Bung Luhut mengatahui seberapa berat pembangunan yang harus digerakan oleh Pemerintah Kota Palu, jika investasi dari eksternal itu ditakut takuti dengan alasan akan berpotensi menimbulkan korban jiwa dimasa mendatang jika periode ulang kebencanaan tersebut tidak terantisipasi.

Melalui tempat ini kami beritahu pada Bung, bahwa negeri kami, Kota Palu, bukan cuma sekali ini saja terjadi bencana. Sering Bung. Tapi kami sudah mendapatkan alert dari berbagai pertanda yang alam sediakan untuk kami, seperti toponimi daerah kami yang memang banyak mengasosiasikan terhadap kehadiran bencana itu sendiri, seperti nama penamaan kampung Kaombona yang berarti pernah runtuh, kampung Tagari Lonjo, yang berarti tenah terbenam, kampung Bangga yang berarti banjir, kampung Pantale Doke atau tempat meletakan tombak. Semua itu sinyal bahwa leluhur kami di sini, sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman terhadap fenomena kebencanaan.

Bahkan ketika kejadian pembuburan tanah, atau likufaksi masih bersinonim dengan bahasa asing untuk penyebutannya, maka orang di kampung kami sudah memililki nama yang tepat terhadap fenomena tersebut yaitu Nalodo.

Hal itu mengindikasikan bahwa kejadian Nalodo itu bukanlah hal yang baru kali ini terjadi, tapi pernah terjadi pada beberapa masa yang lalu. Hal itu terkonfirmasi dari pemetaan Lidar, yaitu teknologi pemetaan yang bisa menembus penglihatan permukaan tanah tanpa terhalang vegetasi, terlihat bahwa Nalodo, pernah terjadi di beberapa tempat di Lembah Palu, salah satunya di desa Sibowi, pada beberapa ratus tahun yang lalu.

Bung Luhut, mungkin pernah mendengar sebuah pepatah dari negeri matahari terbit yaitu negara Jepang, bahwa bencana itu terjadi jika kita sudah mulai lupa, karenanya pekerjaan besar kita semua saat ini, adalah merawat ingatan koletif terhadap kejadian bencana dan berupaya mengedukasi masyarakat dan pemerintah tentang apa yang harus mereka ketahui dan harus lakukan ketika terjadi bencana serupa.

Adalah hal yang lebih masuk akal, ketimbang kita seolah menghalang halangi masuknya invesitasi berupa pembangunan infrastruktur di Kota Palu, sebab suka atau tidak suka, Kota Palu adalah ibu kota Prooinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan Pusat Kegiatan Nasional/PKN, serta adanya program srategis nasional yaitu Kawasan Ekonomi khusus/KEK Palu, yang sementara terus bergeliat untuk maju.

Kami tentu berharap dan berbaik sangka bahwa ungkapan Bung, yang seolah bernada menakut-nakuti investor untuk masuk dan membangun di Kota Palu itu, adalah sekadar warning bagi kami, untuk lebih berhati-hati dalam menentukan strategi pembangunan di Kota Palu, yang kami cintai ini. Palu, sebuah kota yang memang terlanjur berada di atas patahan sesar aktif, sehingga arahan pembangunan investasi infrastruktur atau berbagai pembangunan fasilitas publik lainnya, harus dibangun dengan standar yang berbeda kualitas ketahannya dengan tempat lain.

Kalau saat ini, negara kita punya standar SNI 1726 yang mengatur bangunan tahan gempa untuk skala nasional, mungkin untuk Kota Palu yang memiliki intensitas dan tipologi kebencanaan yang multi-hazard, perlu mengembangkan standar bangunan tahan gempa yang spesifik KotaPpalu, atau serupa standar SNI 1726 yang diperkhusus.

Kalau kita khawatir akan membebani masyarakat atau investor, karena konsekuensi membengkaknya budget pembangunan, maka disitulah peran pemerintah baik dalam bentuk insentif untuk memfasilitasi agar bangunan yang dibangun tersebut, apa lagi yang berfungsi sosial, seperti sekolah, perkantoran, sarana jasa, pasar, shalter adalah benar-benar dianggap tahan dan mampu menghadapi gonjangan jika terjadi bencana serupa dikemudian hari.

Oh yah, Bung Luhut, sebenarnya setelah kejadian bencana 28 september 2018, telah ada peta Zona Rawan Bencana yang difasilitasi pembuatanya oleh pemerintah pusat, dan kami paham sekali dalam proses pembuatannya bukanlah sesuatu hal yag mudah, sebab banyak pakar dari dalam dan luar negeri terlibat dalam penyususnan peta Zona Rawan Bencana tersebut.

Sesungguhnya peta tersebut sudah membagi Kota Palu kedalam 4 zona rawan bencana yaitu ZRB 1 yaitu zona pengembangan, ZRB 2 atau zona pengembangan bersyarat, ZRB 3 atau zona terbatas dan ZRB 4 atau prohibited zone atau zona terlarang.

Saya menduga yang Bung Luhut, maksudkan untuk dilarang pembangunan infrastruktur yang terlanjur viral tersebut adalah pembangunan pada wilayah ZRB 4 ini yaitu yang dibatasi pada wilayah likuifaksi massif, zona sempadan rawan tsunami, zona sempadan patahan aktif, zona bahaya deformasi sesar aktif dan zona gerakan tanah tinggi. Kalaulah di wilayah tersebut yang Bung Luhut maksudkan untuk dilarang invenstasi pembangunan infrastruktur, tentulah itu sesuatu yang sangat bijak, sebab memang dibutuhkan kekauatan kebijakan yang straight dan tegas, untuk tidak ada pembanguan baru diwilayah ZRB 4 dan rekomendasi untuk relokasi bagi masyarakat yang tinggal disekitar wilayah ZRB 4 dan pemerintah harus segera memanfaatkan wilayah tersebut sebagai kawasan lindung, ruang terbuka hijau dan pembangunan monument menanda ingatan kita semua tentang kejadian yang terjadi pada 28 september 2018.

Karena bung berbicara di Forum Pengurangan resiko bencana, maka sebaiknya kewibawan Bung Luhut, bisa dimanfaatkan untuk memastikan bahwa kebijakan penataan ruang Kota Palu pasca bencana yaitu memastikan untuk meningkatnya kualitas penghidupan dan pembangunan yang tanguh bencana di Kota Palu harus benar benar telaksana, dengan memastikan bahwa : a). Dilaksanakannya rehabilitasi kawasan lidung yang rusak akibat bencana alam, gempa bumi, tsumani dan likuifaksi, b). memastikan diterapkanya kawasan lindung pada zona rawan bencana sangat tinggi, c). mengemabalikan fungsi dan pemanfaatan lahan pantai dan pesisir untuk menerapkan mitigasi bencana, d), mengkonservasi dan memproteksi kawasan hutan lindung dan vegetasi mangrove untuk fungsi lindung dan pertahan terhadap bahaya tsunami, dan e). memanfaatkan kawasan sabuk hijau atau escape hill sebagai ruang terbuka hijau.

Adapun untuk berbagai infrastruktur yang akan dibangun kembali pada daerah yang diizinkan  pembangunanya, di luar ZRB 4, maka proses pembangunanya haruslah dilengkapi dengan fasilitas mitigasi bencana, dengan mengembangkan bangunan penyelamat atau pola vertikal pada kawasan yang memiliki kepadatan yang tinggi khususnya untuk bencana rawan tsunami, dan menciptakan kawasan pemukilman baru, dengan memperhatikan resiko bencana, serta kembali belajar dan menelaah secara serius berbagai kawasan sejarah yang ada di kota palu, yang faktanya terbukti ada saat bencana yang lalu, beberapa tempat justru aman, seperti kampung kampung tua, dan tempat yang dipercaya oleh masyarakat local memeliki ‘karomah’ karena pertalian sejarah masa lalu.

Oh yah, Bung Luhut, diakhir surat terbuka ini, sebagai orang didaerah, saya perlu mengingatkan, bahwa tahapan rehab rekon pembangunan pasca bencana di kota palu, yang dibatasi dua tahun sudah akan berakhir dan sampia saat ini, pemerintah pusat belum mengevalusi secara utuh pelaksanaanya, tentang capaian, ataupun kendala dan hambatan kinerjanya baik fisik, infrastrkutur, pemulihan ekonomi, rehabilitasi sosial dan berbagai kaitan lintas sektor, kayaknya menjadi menarik Jika Bung, bisa membantu pelaksanaannya.

Sebab ini Kota Palu Bung, negeri penuh berkah. Bagi kami, bencana bisa datang kapan saja, dan bantulah agar kami bisa terus belajar dari kejadian bencana tersebut. Bukan gempa bumi yang membuat saudara kami meninggal dunia, tapi ketahanan bangunan yang belum terstandar yang menyebabkan mereka tertimpa reruntuhan. Semoga kejadian bencana ini semua menjadi pelajaran berharga bagi kami. Ini Palu Bung, tanah yang penuh berkah. Wallahu alam. ***

Penulis: Ibnu Mundzir, Birokrat Muda Kota Palu

Pos terkait