Inklusivitas Pendidikan dalam Kerangka Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Normawati, M.Pd. I

DI TENGAH berbagai dinamika sosial, budaya, dan ekonomi global, dunia pendidikan dituntut untuk menjadi ruang yang inklusif—ruang yang membuka akses seluas-luasnya bagi siapa saja tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, gender, atau kondisi fisik.

Dalam konteks pendidikan Islam, gagasan tentang inklusivitas ini bukanlah hal baru, melainkan telah menjadi bagian inheren dari ajaran Islam sejak awal peradabannya. Namun, tantangannya adalah bagaimana prinsip inklusivitas ini diimplementasikan secara nyata dalam sistem pendidikan Islam kontemporer.

Dalam konteks ini, pendidikan Islam memiliki tanggung jawab ganda: tidak hanya sebagai sarana transformasi ilmu, tetapi juga sebagai wahana dakwah yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan Islam. Pendidikan Islam seharusnya menjadi pelopor inklusivitas, bukan hanya menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tetapi juga karena prinsip inklusivitas telah menjadi inti ajaran Islam itu sendiri.

Islam dan Semangat Inklusivitas

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), telah memberikan fondasi kuat terhadap inklusivitas dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Al-Qur’an secara eksplisit memerintahkan umat Islam untuk menuntut ilmu tanpa membatasi siapa yang boleh atau tidak boleh mengaksesnya.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan jenis kelamin dalam hal hak mendapatkan pendidikan.

Lebih jauh lagi, Al-Qur’an dalam surah Al-Hujurat ayat 13 menekankan kesetaraan manusia: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Ayat ini memperkuat bahwa Islam menilai manusia bukan dari status sosial, ras, atau gender, melainkan dari ketakwaannya, yang bisa dicapai salah satunya melalui pendidikan.

Hal ini menunjukkan dasar teologis dan historis bahwa Islam secara eksplisit mendukung pendidikan untuk semua. Dengan merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW dan ayat Al-Qur’an (Al-Hujurat:13), dijelaskan bahwa: Islam memandang ilmu sebagai hak dan kewajiban universal, bukan hak eksklusif kaum elit, laki-laki, atau etnis tertentu; Lalu kesetaraan manusia di hadapan Allah berdasarkan takwa, bukan status sosial atau fisik.

Penekanan pada hadis “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan” mengindikasikan komitmen gender equality dalam akses pendidikan. Hal ini mendobrak pandangan patriarkal yang terkadang masih melekat pada sebagian masyarakat Muslim.

Hal ini menegaskan bahwa nilai-nilai inklusivitas sudah sangat progresif dalam Islam sejak awal, bahkan sebelum ide-ide humanisme dan hak asasi manusia modern berkembang di Barat.

Tantangan Implementasi Inklusivitas dalam Pendidikan Islam

Meskipun ajaran Islam sangat mendukung prinsip inklusivitas, kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya hambatan. Dalam banyak lembaga pendidikan Islam, akses bagi kelompok marginal seperti anak-anak penyandang disabilitas, anak dari keluarga miskin, dan perempuan di beberapa daerah, masih mengalami keterbatasan. Hal ini tidak hanya menjadi problem struktural, tetapi juga kultural—dimana pemahaman masyarakat tentang peran dan hak kelompok tertentu dalam pendidikan masih belum inklusif.

Menurut Nilan et al. (2011), pendidikan Islam di beberapa negara berkembang kerap kali bergulat dengan tantangan ketimpangan akses dan kurikulum yang belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang beragam. Bahkan dalam konteks pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam, inklusivitas seringkali bergantung pada inisiatif individu atau yayasan, bukan pada sistem yang terstruktur.

Meskipun Islam menjunjung tinggi inklusivitas, praktiknya belum sepenuhnya mencerminkan hal tersebut. Beberapa tantangan utama antara lain: Akses pendidikan bagi penyandang disabilitas masih sangat terbatas di banyak sekolah Islam, terutama pesantren tradisional; Perempuan dan anak dari keluarga miskin sering kali tidak mendapatkan akses pendidikan yang setara; Dan faktor budaya dan pemahaman agama yang konservatif kadang menjadi penghalang implementasi nilai-nilai inklusif.

Penelitian Nilan et al. (2011) memperkuat bahwa masalah ini bersifat struktural dan sistemik, bukan hanya lokal. Ketimpangan terjadi karena kurikulum tidak adaptif dan karena manajemen lembaga pendidikan Islam sering belum memahami inklusi sebagai nilai fundamental.

Mewujudkan Pendidikan Islam yang Inklusif

Untuk mewujudkan pendidikan Islam yang benar-benar inklusif, diperlukan langkah konkret, baik secara kelembagaan maupun kebijakan.

Pertama, perlu adanya pembaruan kurikulum pendidikan Islam yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif dan teologis, tetapi juga mengakomodasi kebutuhan peserta didik dengan latar belakang berbeda, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Seperti yang ditegaskan oleh Al-Attas (1979), tujuan pendidikan Islam adalah untuk “menghasilkan insan yang baik,” dan ini hanya dapat tercapai bila pendidikan terbuka bagi semua.

Kedua, perlu ditingkatkan pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan di lembaga Islam agar mampu menerapkan pendekatan pedagogis yang inklusif. Ini mencakup pemahaman tentang keberagaman, metode pembelajaran adaptif, serta empati terhadap peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus atau berasal dari kelompok marginal.

Ketiga, penguatan regulasi dan kebijakan pemerintah menjadi kunci. Pemerintah bersama lembaga keagamaan dan organisasi masyarakat Islam perlu membangun sistem pendidikan Islam yang ramah terhadap semua kalangan. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas misalnya, sudah memberikan dasar hukum yang kuat bagi penyediaan layanan pendidikan inklusif, termasuk di lembaga berbasis Islam.

Strategi praktis dan solusi kebijakan agar prinsip inklusivitas bisa terwujud secara konkret dalam sistem pendidikan Islam antara lain mencakup

a) Reformasi Kurikulum

Kurikulum pendidikan Islam harus mengakomodasi kebutuhan peserta didik dengan latar belakang dan kondisi yang beragam, termasuk penyandang disabilitas.

Inspirasi dari Al-Attas (1979), bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk “menghasilkan insan yang baik,” mengimplikasikan bahwa pendidikan harus menyentuh dimensi moral dan sosial, bukan hanya intelektual dan ritual.

b) Pelatihan Guru dan Tenaga Pendidik

Guru harus dibekali dengan kemampuan pedagogi inklusif, seperti strategi pembelajaran adaptif dan penanganan kebutuhan khusus.

Pelatihan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga membangun empati dan sensitivitas sosial dalam lingkungan pendidikan.

c) Penguatan Kebijakan dan Regulasi

Pemerintah dan organisasi Islam harus bersama-sama membuat regulasi yang mengikat dan mendorong inklusivitas, termasuk dalam akreditasi dan standar kurikulum.

UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjadi fondasi hukum kuat bagi inklusi, namun perlu penguatan implementasi di lembaga berbasis agama.

Strategi tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam inklusif membutuhkan kolaborasi multi-level: antara negara, lembaga pendidikan, komunitas, dan keluarga.

Penutup: Pendidikan Islam Inklusif sebagai Implementasi Nilai Islam

Inklusivitas dalam pendidikan Islam bukan hanya soal memberikan akses, tetapi juga soal keadilan dan kesetaraan dalam proses dan hasil belajar. Sebuah pendidikan Islam yang inklusif mencerminkan nilai-nilai Islam yang universal—keadilan, kasih sayang, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Oleh karena itu, reformasi sistem pendidikan Islam yang inklusif bukan hanya menjadi kebutuhan zaman, melainkan juga bentuk pengamalan nilai-nilai Islam itu sendiri. ***

Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1979). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Muqaddimah.

Nilan, P., & Feeny, S., et al. (2011). The Challenges of Islamic Education in a Globalised World: Comparative Perspectives. Globalisation, Societies and Education, 9(1), 87–104.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat: 13.

(Penulis adalah Dosen pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palu)

Pos terkait