Oleh: Nasrullah Muhammadong*
Aturan terkait larangan penggantian pejabat menjelang pilkada, dapat dibaca dalam Pasal 71 ayat (2) UU No 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 1/2015 Tentang Penetapan Perppu No 1/2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UU (atau UU Pilkada).
Isi Pasal 71 (2) dimaksud, adalah, “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri”.
Artinya, dilarang melakukan penggantian pejabat untuk 6 bulan sebelum penetapan calon dalam pilkada, hingga akhir masa jabatan dari kepala daerah itu sendiri. Tentu penggantian pejabat ini adalah, penggantian pejabat di posisi strategis, seperti penggantian pejabat pimpinan tinggi madya maupun pejabat pimpinan tinggi pratama.
Bisa dibayangkan, jika tidak ada larangan soal itu. Kepala daerah dengan seenaknya dapat saja melakukan penggantian pejabat. Posisi startegis diisi oleh mereka yang mau diatur, sebaliknya, menendang keluar yang dianggap menghambat misi politiknya. Implikasinya, ASN cenderung tidak netral dan tidak mampu bekerja secara profesional. Ini dikarenakan, sekali lagi, mereka telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu.
PUKUL RATA
Bunyi Pasal 71 ayat (2) di atas, sebenarnya perubahan dari bunyi Pasal 71 ayat (2) UU No 1 Tahun 2015. Bunyi Pasal 71 ayat (2) sebelum di ubah, yaitu: “Petahana dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir”.
Pasal 71 (2) versi UU No 1 Tahun 2015 tadi, mengatur soal larangan yang ditujukan kepada petahana saja, alias kepala daerah yang ingin mencalonkan kembali. Sebaliknya, bagi yang tidak mau mencalonkan, tidak terkena larangan tersebut.
Adapun, Pasal 71 ayat (2) versi No 10 tahun 2016, telah “memukul rata”. Yaitu, tidak memandang apakah dia petahana atau tidak. Semuanya terkena imbas dari pelarangan norma tadi. Mengapa harus dipukul rata?
Seorang kepala daerah yang tidak lagi mencalonkan diri, tidak mustahil tetap memiliki pengaruh di lingkungan pemerintahannya. Ia dapat melakukan mutasi, dengan memindahkan pejabat yang dianggap mendukung calon tertentu, atau sebaliknya.
NORMA PENGECUALIAN
Ada lagi yang menarik dari perbedaan kedua pasal tadi. Pasal 71 ayat (2) versi UU No 1 Tahun 2015, tidak mengenal pengecualian. Sebaliknya, Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016, mengenal pengecualian. Yaitu, penggantian pejabat dapat dilakukan, jika ada persetujuan dari mendagri.
Sekali lagi, larangan total tak diterapkan. Di samping penggantian, dapat saja dari jabatan strategis tadi, pejabatnya telah pensiun, sakit permanen, bahkan meninggal dunia. Tentu dalam kondisi seperti ini, jalannnya pemerintahan akan terhambat, jika tak diisi.
Khusus untuk penggantian pejabat itu sendiri, mendagri, tentu akan mengevaluasi permohonan izin kepala daerah dimaksud. Yaitu, dengan memperhatikan kepentingan dan dampaknya, termasuk tidak ada motif politik dibalik penggantian pejabat tersebut.
Bila semua itu dilakukan sesuai dengan aturan main yang ada, niscaya kepala daerah lebih akuntabel dan transparan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Bukan sebaliknya (seperti kasus-kasus yang mencuat sekarang ini), yaitu melakukan penggantian, tanpa ada persetujuan dari pejabat yang berwenang.***
*Penulis adalah Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Palu