Oleh: Nasrullah Muhammadong
Pada tulisan terdahulu di harian ini (berjudul: Bahasa Hukum: Seni Merumuskan Tanpa Menghakimi), telah disinggung Lampiran II UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sekali lagi, di situ (pada angka 243), diuraikan beberapa corak dari bahasa peraturan perundang-undangan. Satu di antaranya (yang belum sempat kita bahas), yaitu, bercorak “lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan”.
Selanjutnya, kita pindah ke angka 245. Di dalamnya ditegaskan, dalam merumuskan peraturan, tidak menggunakan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas. Dalam lampiran itu, juga diberikan contoh. Misalnya, istilah minuman keras, mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Ini sebagai salah satu contoh saja. Yang kita tekankan di dalamnya, yaitu adanya frasa “pencucian uang”.
Apakah frasa “pencucian uang” di dalam UU tersebut mengandung arti, yaitu mencuci uang dengan cara dikucek atau disikat, sehingga tindakan itu dapat dipidana? Tentu tidaklah demikian. Lalu, bagaimana bisa pembentuk UU menggunakan frasa seperti itu? Padahal, sekali lagi, di Angka 243 tadi dikatakan, salah satu corak dari bahasa peraturan, yaitu, lugas dan pasti. Juga di Angka 245 dikatakan, dalam merumuskan peraturan, tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu.
Makna Denotatif dan Konotatif
Dalam ilmu bahasa, ada yang dikenal dengan istilah makna denotatif, yaitu makna sebenarnya. Ada pula konotatif, yakni makna tidak sebenarnya. Kita ambil contoh, kata mencuci. “Ibu sedang mencuci piring kotor”. Kalimat ini bermakna denotatif atau memilki arti sebenarnya. “Setelah melakukan kesalahan besar, dia mencoba mencuci otaknya dengan membaca buku-buku motivasi”. Yang ini bermakna konotatif, atau tidak sebenarnya.
Bagaimana kalau kita menggunakn frasa “pencucian uang”? Contoh. “Di tengah kepanikan Pandemi Covid-19, ada orang yang melakukan pencucian uang dengan cairan disinfektan”. Ini mengandung makna denotatif. Makna konotatif, terlihat dalam kalimat berikut ini: “Tersangka korupsi itu diduga melakukan pencucian uang dengan cara menginvestasikannya ke dalam bisnis hiburan”.
Peraturan yang Mengandung Konotatif
Dari contoh di atas, dapatlah dikemukakan, bahwa UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mengandung makna konotatif di dalamnya. Dengan kata lain, UU itu memakai makna metaforis atau kiasan yang menggambarkan tindakan penyamaran asal usul uang hasil tindak pidana, agar kelihatan sah adanya.
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa pembuat UU tidak menggunakan makna denotatif saja? Misalnya, mengganti dengan judul “UU tentang Penyamaran Aset Hasil Kejahatan.” Atau “UU tentang Penyamaran Asal-Usul Dana Ilegal.” Sepertinya, istilah “pencucian uang” lebih praktis, familiar, dan mudah dipahami. Dibandingan dengan pendekatan denotatif, itu sedikit panjang dan agar rumit maknanya.
Tentu masih banyak contoh lagi dari berbagai paraturan yang menggunakan makna konotatatif. Sebut saja, UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Frasa “perdagangan orang”, bukan berarti menjual orang seperti barang. Tetapi menggambarkan eksploitasi manusia secara sistematis.
Ada lagi UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di dalam UU ini, ada istilah “pencemaran nama baik”. Bukan berarti nama menjadi kotor secara fisik. Tetapi martabat atau kehormatan seseorang yang dirugikan. Juga, Permen Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No 14/2021 Tentang Pengelolaan Sampah Pada Bank Sampah. Di situ, “bank sampah”, bukan bank dalam arti lembaga keuangan. Tetapi tempat pengelolaan sampah, sekaligus menukarkannya dengan nilai ekonomi.
Hukum Menjadikannya “Denotatif”
Mengapa makna konotatif, juga dibutuhkan dalam bahasa hukum? Dapat saja istilah konotatif dapat merangkum konsep yang rumit dalam frasa yang singkat dan bermakna luas. Atau, beberapa frasa sudah menjadi istilah baku dalam bidang hukum dan bidang lainnya, sehingga sulit digantikan dengan frasa denotatif.
Namun perlu juga diingat, bahasa hukum bukanlah bahasa sastra atau bahasa sehari-hari. Menggunakan makna konotatif dalam peraturan perundang-undangan tanpa diberikan definisi, akan sangat berbahaya. Karena hal itu dapat membuka peluang interpretasi yang subjektif. Ini tentu bertentangan dengan prinsip kepastian hukum itu sendiri.
Olehnya, kembali ke Angka 243 Lampiran II UU No 12/2011 di atas. Ada lagi ciri-ciri lain dari bahasa peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam angka itu, yakni: (a) memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; dan (b) membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten;
Untuk memahami poin (a) dan (b) di atas, kita kembali ke contoh tadi, yaitu UU Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketika frasa pencucian uang telah diberikan definisinya dalam UU tersebut, termasuk pengertiannya dilakukan secara konsisten dalam sistem peraturan perundang-undangan, ini berarti, hukum telah membakukan maknanya. Kalau telah dibakukan, ini menunjukkan, hukum telah bekerja men-denotatif-kan maknanya. ***
Penulis adalah Pengajar Perancangan Peraturan Perundang-undangan, pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.