Limbah Kulit Durian Cemari Sungai Boyantongo

Limbah kulit durian yang berserakan di Sungai. FOTO: IST.

PARIGI MOUTONG, MERCUSUAR – Tumpukan limbah kulit durian ditemukan masyarakat berserakan di bantaran Sungai Boyantongo, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong (Parmout).

Temuan ini memicu kekhawatiran masyarakat terkait potensi pencemaran lingkungan, khususnya pada aliran sungai yang terhubung langsung ke laut.

Menanggapi laporan warga tersebut, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Parmout langsung menurunkan tim pengawasan ke lokasi. Dugaan sementara, limbah itu berasal dari aktivitas salah satu perusahaan pengolahan durian yang berlokasi di kawasan Boyantongo.

“Kami sudah menerima aduan dari masyarakat dan langsung menurunkan tim ke lokasi. Saat ini, kami masih melakukan klarifikasi karena belum bisa memastikan apakah benar limbah itu dibuang oleh perusahaan yang dimaksud,” ujar Kepala Bidang Penaatan dan Penataan Lingkungan Hidup pada DLH Parmout, Mohammad Idrus, di ruang kerjanya, Selasa (3/6/2025).

Menurutnya, perusahaan yang berada di Boyantongo diketahui berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) dan dikelola oleh investor asal Tiongkok. Namun, saat tim DLH melakukan pengecekan ke lokasi, aktivitas perusahaan sedang tidak berjalan, karena manajemen berada di luar negeri.

Potensi Sanksi dan Solusi Pengelolaan

DLH memastikan akan memanggil pihak perusahaan terkait untuk dimintai klarifikasi dan pertanggungjawaban, jika terbukti melakukan pembuangan limbah sembarangan.

“Bila mereka terbukti melakukan pelanggaran, maka akan kami tindak sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada empat tahapan sanksi administrasi, yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah (termasuk denda), pencabutan izin, hingga tindakan hukum lainnya,” tegas Idrus.

Selain aspek penegakan hukum, kata Idrus, pihaknya juga mendorong pendekatan solusi berkelanjutan terhadap sejumlah perusahaan pengelola durian di wilayah Parmout. Salah satunya melalui pengadaan alat pencacah kulit durian. Tujuannya, agar limbah tersebut bisa diolah menjadi kompos ramah lingkungan.

“Alat pencacah itu harganya relatif murah, tidak sampai Rp50 juta. Ini bisa menjadi solusi untuk menghindari penumpukan limbah dan sekaligus menciptakan nilai tambah berupa kompos yang bisa dijual,” jelasnya.

Selanjutnya, untuk mengatasi berbagai permasalah limbah durian, Idrus menyebut pihaknya akan membuka peluang kerja sama antara pemerintah daerah dan pengusaha durian. Termasuk Asosiasi Pengusaha Durian Indonesia (Apdurin), serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

“Jika tahap ini terlaksana, maka untuk pembiayaan pengadaan alat pencacah kulit durian nantinya diusulkan bersumber dari dana Corporate Social Responsibility (CSR),” imbuh Idrus.

Potensi Pendapatan Daerah dari Limbah

Selain solusi teknis, DLH Parmout juga menyoroti potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bisa dihasilkan dari pengelolaan limbah durian. Baik itu melalui skema tarif retribusi truk pengangkut limbah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), maupun lain sebagainya.

“Tentunya hal ini bisa diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Jika misalnya tiap truk limbah dikenai retribusi Rp200 ribu dan ada 100 truk dalam satu musim durian, maka PAD bisa mencapai Rp20 juta. Ini akan menjadi kontribusi nyata dari sektor usaha durian terhadap daerah,” katanya.

Dampak Lingkungan dan Estetika

Tumpukan kulit durian yang dibuang sembarangan dikhawatirkan menimbulkan bau tak sedap, mencemari estetika sungai dan laut, serta memicu banjir jika menyumbat aliran air.

“Kalau kulit durian itu sampai terbawa ke laut, bisa mengganggu ekosistem dan mengurangi daya tarik wisata bahari kita. Apalagi Sungai Boyantongo ini bermuara ke laut,” jelas Idrus.

“Kami siap mendampingi dari sisi teknis dan pengawasan. Kami juga siap jika nanti alat pengolah limbah disediakan, dan pengusaha durian terlibat aktif dalam pengelolaan limbah secara berkelanjutan,” pungkasnya. AFL

Pos terkait