Cerita Perjuangan Meraih Kursi PPK, Tembus Ratusan Kilometer, Motor Dipikul Lewati Banjir Bandang

Kondisi badan jalan yang ditutupi material lumpur dan kayu, akibat terjangan banjir bandang di Desa Uevolo. FOTO: DIAN NOVITA

“In order to succeed, we must first believe that we can,”  adalah penggalan kalimat milik Nikos Kazantzakis, seorang penulis Yunani, yang kurang lebih bermakna agar sukses, pertama, kita harus percaya, bahwa kita bisa melakukannya. Kalimat itu sedikit menggambarkan perjuangan calon pejuang demokrasi untuk merebut kursi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Parigi Moutong, yang menembus hujan dari ratusan kilometer dan menyeberangi lumpur banjir bandang.

MOHAMMAD MISBACHUDIN – WARTAWAN MERCUSUAR

Dian Novita terlihat gelisah, ketika waktu semakin terasa menuju senja, Jumat (10/5/2024). Hal itu bukan hanya karena teman sejatinya, Bustiani dari Kecamatan Taopa belum juga tiba, namun hujan terus turun dengan lebatnya. Sementara dia bersama Bustiani harus berada di Parigi, keesokan hari, Sabtu (11/5/2024), untuk menjalani tes wawancara, selangkah lebih dekat menuju pelantikan PPK untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024.

Sekira 278 kilometer harus dilalui dua srikandi tersebut untuk sampai di Parigi. Perjalanan malam hari, berboncengan motor, diguyur hujan, sambil membawa berkas dari titipan rekannya yang mendaftar menjadi Panitia Pemungutan Suara (PPS).

“Janjian dari sore, dan harus berangkat paling lambat habis magrib, supaya besoknya sampai di Parigi, pagi sebelum jam delapan. Sebenarnya khawatir dengan hujan yang lebat, tapi harus pergi,” kata Dian memulakan kisahnya, saat diwawancara, Minggu (12/5/2024).

Menjadi seorang PPK di Kecamatan Palasa, adalah salah satu keinginan Dian, untuk selalu menjaga semangatnya menjadi penyelenggara. Sehingga keyakinan yang kuat membuatnya berani menerobos lebatnya hujan.

Begitupun Bustiani, menjadi bagian PPK Kecamatan Taopa adalah obsesi yang harus digapainya. Hal itu pula yang membuatnya melahap 278 kilometer, agar bisa berjejer dalam barisan pada proses pelantikan pejuang demokrasi.

Namun, di tengah perjalanan, rasa kantuk menyerang kedua wanita itu. Semakin dilawan, kata Dian, semakin menekan, ditambah lagi rasa dingin karena hujan, yang sepertinya ingin terus membuktikan semangat keduanya untuk sampai di Parigi.

“Sampailah kami di Kecamatan Kasimbar, sudah menjelang subuh. Istirahat sejenak di dego-dego (tempat duduk) yang ada di pinggir jalan. Dalam keadaan basah, kami sempat tertidur,” imbuh Dian.

Beberapa saat beristirahat, waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 WITA. Kondisi kelelahan diiringi hujan yang makin deras. Dalam rasa lelah dan dingin yang mengigit, kumandang azan subuh terdengar. Sesaat itu, Dian bersama temannya menunaikan salat subuh, dan hujan masih terus “membasahi” nyala semangat mereka untuk tiba di Parigi.

Usai salat, keduanya lalu berkemas untuk memastikan dapat tiba di Parigi sebelum pukul 08.30 WITA. Saat itu, dalam lelah dan dingin.

“Kami hanya ingin sampai di Parigi, itu saja. Kalau kemudian kami bisa diwawancarai lalu dimenangkan satu kursi, adalah tujuan lainnya. Sebab, sepertinya dalam keadaan begitu, sampai di Parigi lumayan menguras energi,” kenang Dian.

Ketika waktu menunjukkan pukul 07.00 WITA, saat keduanya melintas di perbatasan Desa Marantale dan Desa Uevolo Kecamatan Siniu, mata Dian tiba-tiba memerah seakan ingin menangis, karena di hadapan mereka, material kayu berukuran besar dan lumpur menutupi badan jalan. Tidak ada kendaraan yang bisa lewat. Kendaraan antre panjang hingga puluhan meter.

Ternyata, ruas jalan Trans Sulawesi itu baru saja dihantam banjir bandang, membawa material dari gunung, yang kemungkinan sudah rusak karena adanya aktivitas deforestasi.

“Saya seperti ingin menangis, jam  tujuh pagi, lumpur tebal, motor tidak bisa lewat. Jangankan kayu yang menghalang, lumpurnya tebal, sulit rasanya motor bisa lewat,” beber Dian.

Untungnya, kata dia, saat itu beberapa rekannya berinisiatif untuk memikul motor, sembari membawa menjaga berkas jangan sampai basah, apalagi rusak. Karena itu merupakan amanah yang harus dituntaskan sampai di kantor KPU Parigi Moutong.

Dian bersama rekannya tidak lagi memikirkan apakah baju yang akan digunakan wawancara masih bersih atau kering, entah masih berlumpur atau masih rapi, sepatunya masih berwarna asli sudah cokelat lumpur. Tetapi obsesi mereka tetap, harus sampai di kantor KPU tepat pukul 08.30 WITA.

“Kami tidak pasrah, sebab perjuangan belum usai. Namun semuanya, kami kembalikan kepada Allah SWT. Sembari memikul motor, teman-teman terus saling menyemangati, agar tetap teguh dan terus yakin sampai di tempat tujuan,” tutur Dian.

Tepat pukul 08.30 WITA, Dian bersama rekannya tiba di kantor KPU Parigi Moutong. Ia lalu diberikan kesempatan untuk membersihkan diri. Waktu tambahan diberikan dengan pertimbangan force majeure, atau kejadian di luar kemampuan manusia.

“Kami berharap hasil dari perjuangan kami, bukan menjadi sebuah bujukan untuk kami bisa diloloskan. Tetapi setidaknya, ini menjadi bagian yang tidak akan kami lupakan seumur hidup,” tutup Dian. **

Pos terkait