Industri Pertambangan Mengancam Eksistensi Bahasa Mori

PALU, MERCUSUAR – Pesatnya perkembangan industri pertambangan di Kabupaten dan Morowali Utara (Morut), disebut dapat mengancam eksistensi budaya lokal etnik setempat, termasuk bahasa Mori.

Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulteng, Dr. Asrif mengatakan, keberadaan industri besar secara umum, tidak hanya pertambangan, berkontribusi bagi melemahnya posisi bahasa-bahasa daerah.

Hal itu terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama, adanya pertambahan secara signifikan jumlah manusia baru dari luar wilayah, yang akan mengubah situasi komunikasi di wilayah tersebut. Kedua, terjadinya perubahan pola tata lingkungan yang bisa mengubah kawasan tempat tinggal masyarakat, yang jika terpindah lalu terpisah-pisah, maka akan berdampak bagi kebertahanan bahasa daerah masyarakat tersebut.

“Kepunahan bahasa salah satunya disebabkan oleh dampak perubahan sosiologi. Investasi pertambangan tentu sangat berdampak pada kebertahanan bahasa daerah, Tidak hanya tambang, industri yang skalanya besar berarti juga akan berdampak besar, baik secara sosiologis maupun antropolgis,” kata Asrif, saat ditemui Mercusuar, di Palu, Rabu (28/2/2024).

Untuk mengatasi hal tersebut, Asrif menyebut pihaknya telah membangun komunikasi bersama Pemerintah Kabupaten Morut, khususnya melalui Dinas Pendidikan (Disdik), untuk melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada seluruh pihak terkait pentingnya penguatan bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Mori, di Kabupaten Morut.

Salah satu langkah awal, lanjutnya, adalah dengan merencanakan kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) Budaya, yang mendorong adanya perhatian stakeholder untuk mempertimbangkan dampak budaya dari masifnya pengembangan kawasan industri di daerah.

“Istilah amdal ini sebenarnya untuk lingkungan. Tetapi karena belum ada istilah khusus untuk budaya, kami menggunakan istilah Amdal Budaya, agar pembangunan yang luar biasa ini dapat mempertimbangkan dampak budaya. Selama ini, kan, baru lingkungan yang dibahas, tetapi dampak budaya tidak pernah dihitung,” ujarnya.

Asrif menekankan, sangat penting upaya menanamkan pemahaman kepada seluruh pihak, bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat berkomunikasi, namun lebih dari itu, adalah sebuah identitas dan produk budaya orang-orang Mori.

“Kalau sekadar alat komunikasi, kita ganti dengan bahasa Arab atau Inggris maka selesai. Tetapi ada sesuatu di balik itu, yakni identitas, kebudayaan terbesar umat manusia adalah bahasa, bukan pakaian, kuliner atau pranata adat lain. Bahasa adalah kebudayaan atau hasil ilmu pengetahuan paling spektakuler setiap suku, maka jangan sampai kita anggap sebagai sesuatu yang tidak berarti. Sehingga, kampanye itu perlu digalakkan oleh Pemerintah Daerah,” tuturnya.

Selanjutnya, adalah dengan mendorong terbentuknya produk hukum atau regulasi sebagai acuan upaya mengembangkan dan menguatkan budaya, khususnya bahasa Mori di Kabupaten Morut, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup), yang saat ini belum ada.

Menurut Asrif, dengan adanya regulasi maka program pengembangan dan penguatan bahasa daerah dapat diterapkan di berbagai lini. Seperti, ditetapkannya hari khusus dalam sepekan untuk menerapkan bahasa Mori di lingkungan perkantoran, atau penggunaan bahasa Mori untuk menamai sebuah bangunan, serta pada papan nama lembaga atau informasi umum. Termasuk digunakan pada sarana-sarana informasi di kawasan-kawasan industri atau perusahaan asing.

“Ini adalah regulasi yang perlu dilaksanakan oleh Pemda, entah dalam bantuk Perbup atau Perda, tentang perlindungan dan pengembangan bahasa Mori. Kami juga mendorong pemerintah untuk turut mengajak pihak industri bersama-sama berkolaborasi dalam upaya ini,” kata Asrif.

KOMITMEN PEMKAB MORUT SANGAT BERPENGARUH

Balai Bahasa Provinsi Sulteng, ungkap Asrif, telah menambahkan bahasa Mori ke dalam program revitalisasi bahasa daerah, bersama bahasa Kaili, Pamona, Saluan dan Banggai yang sebelumnya telah diprogramkan.

Revitalisasi tersebut bertujuan untuk menguatkan kembali bahasa daerah, sebagai simbol kebudayaan daerah bersangkutan, karena saat ini bahasa-bahasa daerah di Sulteng tersebut sedang mengalami kondisi yang berbahaya dan sangat berisiko.

Penambahan bahasa Mori ke dalam sasaran bahasa daerah yang direvitalisasi, lanjut Asrif, setelah melalui berbagai pertimbangan.

“Sebenarnya bahasa Bungku juga (dipertimbangkan). Tapi kenapa Mori, kami hanya sanggup menambah satu, karena jumlah SDM dan dana terbatas,” ungkapnya.

Unsur pendukung lainnya, kata Asrif, adalah adanya komitmen dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morut. Hal itu bermula pada pertemuan antara Balai Bahasa dengan Wakil Bupati Morut serta Dinas Pendidikan Morut pada akhir tahun 2023 lalu.

“Kami seperti memiliki keterikatan dan satu visi tentang perlindungan bahasa. Dari catatan perjumpaan tersebut, akhirnya ketika kami harus menambahkan satu bahasa, maka opsinya adalah bahasa Mori di Morut. Walaupun bahasa Bungku juga potensial, tetapi kami belum menemukan jalan yang kuat untuk masuk ke situ. Komitmen Pemda itu yang akan menunjukkan keberlanjutan program,” ujarnya lagi.

Berbagai langkah ansitipasi tersebut, kata Asrif, belum terlambat dilakukan untuk menyelamatkan eksistensi bahasa Mori, karena secara alamiah bahasa Mori cukup dapat bertahan dibanding yang lain. Oleh karena itu, langkah ‘imunisasi’ disebut sangat penting dilakukan secepatnya.

Menurutnya, dukungan Pemkab sangat berpengaruh besar. Intervensi positif dari pemerintah sangat diperlukan, sebagai pemegang regulasi dan anggaran. Sehingga upaya-upaya akan sulit diwujudkan, jika tidak ada dukungan dari pemerintah.

“Kalau mengimunisasi yang sudah sangat sakit, itu berat. Tapi kalau yang masih baik, maka akan menambah daya tahan. Revitalisasi bukan karena mau mati, justru saat masih kuat harus diimunisasi, apalagi ancamannya besar sekali. Bahasa Mori dapat menjadi salah satu bahasa yang berpotensi untuk bertahan di tengah gangguan yang akan terus berkembang. Hari ini harus dimitigasi, kita tancapkan kuku perlindungan bahasa, tradisi dan budaya, karena sudah ada gambaran bagaimana masuknya raksasa-raksasa industri ke depan, maka sekarang saat yang tepat,” pungkasnya. IEA

Pos terkait