Ketimpangan dan Kemiskinan Tantangan Pembangunan

Hasanuddin Atjo 4

PALU, MERCUSUAR – Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulteng, Dr Hasanuddin Atjo menilai ketimpangan dan kemiskinan masih akan menjadi tantangan bagi pembangunan daerah Sulteng kedepan.

Ia menjabarkan, pada Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) tahun 2020 terhadap 34 Provinsi oleh Kementerian Bappenas pada Musrenbang tingkat Nasional April 2020 lalu, Sulteng berada pada kelompok 20 besar, sedangkan Jawa Tengah berada pada posisi teratas.

“Berdasarkan 24 indikator penilaian, Sulteng unggul pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, angka pengangguran terbuka relatif rendah, konsistensi dari alokasi anggaran pembangunan, serta dokumen inovasi pembangunan daerah kategori excellent. Namun demikian, angka ketimpangan dan angka kemiskinan yang tinggi menjadi titik lemah dalam penilaian tersebut,” ujarnya, baru-baru ini.

Menurutnya, kabupaten yang berbasis pangan berkontribusi terhadap nilai pendapatan perkapita yang rendah, sedangkan yang berbasis tambang dan gas memberikan nilai pendapatan yang tinggi. Sehingga, menjadi salah satu sebab adanya nilai ketimpangan tinggi.

Hal itu, kata Hasanuddin Atjo, ditujukkan oleh indeks Williamson yang terus naik, dan di tahun 2019 berada pada angka 0,56.

Ia menambahkan, Nilai Tukar Petani (NTP) gabungan pada beberapa tahun terakhir masih kurang dari 100 persen. Selain itu, garis kemiskinan atau batas pengeluaran minimal bagi kategori miskin di Sulteng tahun 2019 sebesar Rp460.000 per bulan dan tertinggi di pulau Sulawesi. Hal itu antara lain disebabkan oleh kondisi infrastruktur dan letak geografis daerah, sehingga kurang efisien dalam sistem logistik.

“Olehnya, pemerintah daerah kedepan memiliki tugas untuk mewujudkan upaya menurunkan ketimpangan dan angka kemiskinan itu, guna melengkapi prestasi yang telah ditoreh oleh pemimpin sebelumnya,” imbuhnya.

Upaya menurunkan ketimpangan dan angka kemiskinan, lanjutnya, harus menjadi salah satu prioritas program kerja pemerintah daerah pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2021-2026.

Selain itu, persentase desa maju dan mandiri juga harus menjadi perhatian serius, karena berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2019, persentase desa sangat tertinggal dan desa tertinggal di Sulteng sekitar 60 persen. Sementara sisanya yakni desa berkembang sekira 38 persen, dan sisanya desa maju dan mandiri.

“Membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana alam seperti gempa, tsunami, likuefaksi dan banjir yang sering melanda daerah ini, serta bencana non alam seperti pandemi COVID-19 juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya, termasuk upaya memulihkan dampak yang ditimbulkan yaitu upaya pemulihan ekonomi,” tuturnya.

TUNTUTAN TEKNOLOGI DIGITALISASI

Hasanuddin Atjo menilai bahwa pembangunan daerah periode 2021-2026 juga dituntut terkait dengan pemanfaatan teknologi digitalisasi dan tata ruang. Hal itu agar pembangunan yang diprogramkan lebih terukur, lebih cepat dan berkelanjutan.

Olehnya, peran Dinas Komunikasi dan Informasi dinilai penting, untuk menyiapkan Satu Data Indonesia sebagai basis data sesuai Perpres Nomor 39 Tahun 2019, serta harus didorong dan diberi porsi anggaran yang sesuai untuk sebuah instrumen digitalisasi.

“Data yang valid itu mahal, tetapi akan lebih mahal lagi kalau membangun tanpa data yang valid. Dengan kata lain membangun dengan merencanakan kegagalan,” tandasnya.

Selain itu, Bappeda juga sudah harus berperan sebagai desainer atau lembaga yang mampu memetakan permasalahan, kemudian menyusun suatu masterplan. Selanjutnya, proses detailing arsitek dari masterplan, yang berujung lahirnya satu blueprint atau cetak biru pembangunan lima tahunan atau RPJMD.

“Berdasarkan cetak biru itu, maka mudah menetapkan kebutuhan dan alokasi anggaran pembangunan pada sektor-sektor prioritas yang telah ditetapkan. Akan terbangun konsistensi anggaran yang diharapkan, terbangun strategi atau skenario untuk mencapai target dan sasaran yang berorientasi outcome atau manfaat,” pungkasnya. IEA/*

 

Pos terkait