1 Suro di Tengah Pandemi

light nature sky night
Photo by Magda Ehlers on <a href="https://www.pexels.com/photo/light-nature-sky-night-4105532/" rel="nofollow">Pexels.com</a>

PERINGATAN tahun baru Jawa atau 1 Suro merupakan penanda pergantian tahun menurut penanggalan Jawa, yang penetapannya dilakukan pada jaman Kerajaan Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M), menggantikan penanggalan Hindu yaitu tahun Saka.

Tanggal 1 Suro diperingati tepat dengan 1 Muharram atau Asyuro. Sebutan Asyuro dari bahasa Arab dalam dialek masyarakat Jawa berubah jadi Suro. Ketika itu di masyarakat Jawa, tahun yang menjadi pegangan masyarakat pada zamannya adalah Tahun Saka yang berdasarkan peredaran matahari. Sementara bagi umat Islam sendiri menggunakan Tahun Hijriah.

Pada waktu Sultan Agung berkuasa, Islam telah diakui menjadi agama di lingkungan istana Mataram (Islam). Maka untuk tetap meneruskan penanggalan Tahun Saka yang berasal dari leluhurnya dan ingin mengikuti penanggalan Tahun Hijriyah, maka Sultan Agung membuat kebijakan mengubah Tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Ketika tahun 1555 Saka, Sultan Agung mengganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya. Sementara penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Harus diakui, penggabungan peringatan tahun baru ini merupakan kejeniusan Sultan Agung dalam akulturasi budaya lokal Jawa dengan Islam. Sebuah terobasan cerdas dalam metodologi dakwah Islam, yang menempatan budaya sebagai episentrum gerakan dakwah.

Di Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa, tidak meninggalkan rumah dan mengisi waktu dengan ibadah dan saat yang tepat untuk merefleksi diri sendiri. Selain di rumah, kegiatan menyepi juga kerap dilakukan di beberapa tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam tokoh tertentu.

Beberapa kegiatan lain yang juga kerap dijumpai dalam perayaan malam Satu Suro adalah Tirakatan dengan tidak tidur semalam suntuk, perenungan diri sambil berdoa, dan pagelaran wayang kulit. Selain itu tradisi 1 Suro juga kerap digunakan untuk ritual ruwatan, atau tradisi pengusiran balak dan sial (Tolak Balak).

Sedang bagi umat Muslim, cara menyambut 1 Suro itu adalah untuk berinstrospeksi yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu. Seperti Sulawesi Tengah, peringatan dilakukan dengan cara yang lebih sederhana. Banyak diantara masyarakat Sulawesi Tengah etnik Jawa, memilih pembacaan doa, tahlilan, dan atau tumpengan untuk memperingati tahun baru 1 Suro yang bertepatan dengan tahun baru Islam, 1 Muharram.

Peringatan 1 Suro dan 1Muharram, merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta bentuk harmoni antara manusia dengan alam. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan-kegiatan menyambut bulan Suro sudah berlangsung sejak berabad-abad itu, terus terulang dan pada akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan.

Jika dicermati, tradisi di bulan Suro yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lawan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana asal mulanya (sangkan paraning dumadi), kedudukannya sebagai makhluk (hamba) Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta, sehingga dapat menjauhkan diri dalam upaya mencapai manunggaling kawula gusti, bersatunya makhluk dengan Tuhan.

Peringatan 1 Suro, bagi masyarakat Jawa dijadikan medium untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yang sakral karena dianggap bulan yang suci, bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Inilah sebenarnya hakekat kegiatan budaya yang dilakukan pada bulan Suro.

Nilai-nilai yang terserap dalam peringatan 1 Muharram dan 1 Suro, bukan hanya untuk disimpan di menara gading, namun dipancarkan sebagai iktikad berhijrah membangun kehidupan yang lebih memaslahatkan.

Kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sejak kemerdekaan hingga sekarang, sungguh-sungguh membutuhkan siraman semangat berhijrah. Apatah lagi, di tengah serangan wabah Covid-19 dan ancaman keterpurukan ekonomi.

1 Muharram atau 1 Suro, harus dijadikan momentum hijrah dari kehidupan berlumur korupsi, saling salah menyalahkan, hujatan, ujaran kebencian, anti-keberagaman, merasa paling benar,  menuju negara berahlakul karimah, Negara bersih tanpa korupsi, Negara yang mengedepankan sikap toleransi, kekeluargaan, dan kegotongroyongan, Negara yang mengedepankan nilai agama dan budaya luhur sebagai basis moralitas bangsa.

1 Suro dan 1 Muharram juga dapat dijadikan pintu masuk ikhtiar menyelesaikan pandemi Covid-19, dengan saling tolong menolong dan menumbuhkan sikap optimistis, bangsa ini mampu melewatinya. Semua elemen bangsa hendaknya melihat jauh ke relung hati terdalam. Saat ini bukan saatnya gontok-gontokan, tetapi bergandengan tangan menyelesaikan semua tantangan.

Tahun baru membawa pesan tentang kehendak suci membangun sebuah peradaban. Barang tentu, pemaknaannya adalah bergerak menuju nilai-nilai baru, meraih kehidupan yang lebih menjanjikan dari segi kemaslahatan. Pesan peringatan Suro dan Muharram akan selalu aktual, bagi kondisi keindonesiaan. Kita merindukan perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan ahlak mulia. Wallahualam Bishshawab.***

Pos terkait