HAMPIR setiap tahun terulang. Banjir dan tanah longsor, menjadi bencana yang akrab di telinga warga Sulawesi Tengah, selain gempa. Tidak ada sudut wilayah Sulawesi Tengah yang tidak disinggahi bencana banjir dan longsor. Seluruh kabupaten dan kota merasakannya, meski dengan kadar yang berbeda-beda. Hari ini banjir besar, malah banjir bandang menerjang. Mungkin esok lebih kecil. Atau sebaliknya, hari ini banjir kecil, esok banjir besar.
Saat bencana datang, semua tangan bergandengan saling menguatkan, membantu korban. Sebuah sikap positif dan budaya yang patut dikembangkan.
Di balik itu, harus ada evaluasi menyeluruh. Kenapa banjir dan longsor datang berulang?
Bisa jadi, ini bentuk protes alam pada perilaku manusia dan pembangunan yang tidak memerhatikan lingkungan.
Pertumbuhan manusia dan pembangunan telah melahirkan penebangan, penambangan, eksploitasi alam berlebihan, atau kelemahan membaca tanda-tanda alam menjadi biang bencana menerjang.
Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan adalah antara pemenuhan kebutuhan pada nilai ekonomi dengan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan.
Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam yang tidak memerhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri. Karena, pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas.
Pembangunan yang tidak memerhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan di kemudian hari, salah satunya bencana.
Bencana terjadi bukan karena alam tidak ramah pada kehidupan. Alam seakan menggugat, mengingatkan manusia bahwa ia juga punya hak atas dirinya sendiri.