DEWI Themis duduk bersimpuh di hadapan Ratu Shima. Dewi keadilan Yunani itu menumpahkan isi hatinya pada ratu adil tanah Nusantara yang bertahta di Kalingga.
“Duh Sang Ratu, aku tak sanggup lagi mengemban tugas sebagai simbol keadilan universal. Di Negara lain mungkin aku bisa jadi dewi keadilan, tapi tidak dengan negeri Nusantara,” keluh Dewi Themis bercucuran air mata.
Bagaimana tidak, lanjut Dewi Themis, aku yang lahir dari peradaban Yunani tidak mampu menembus kepribadian para penegak hukum di negeri ini.
“Kepadamu wahai Ratu Shima yang adil dan bijaksana, aku serahkan tutup mataku, pedang, dan timbangan keadilan ini,” kata Dewi Themis.
“Mengapa engkau lakukan itu, wahai dewi. Bukankah engkau perlambang ketulusan, kelemahlembutan, dan nurani luhur?” sahut Ratu Shima.
“Di negeriku Yunani dan banyak negara mungkin karakterku bisa dipahami. Tapi di sini aku rasakan tidak seperti itu. Mungkin lebih tepat engkau yang menjadi simbol keadilan di Nusantara ini wahai Ratu,” jawab Dewi Themis.
Aku hari ini membuka tutup mataku, karena hukum di Nusantara ini mulai diberlakukan secara tidak obyektif. Bukankah engkau wahai Sang Ratu, biasa mendengar hukum tajam ke atas tumpul ke bawah. Hukum hanya untuk orang tak berpunya, hanya untuk mereka yang tidak mampu membeli keadilan. Sementara yang punya kuasa, yang punya harta tak tersentuh hukum. Malah mereka memainkan hukum.
“Equality Before The Law yang berarti semua mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, hanya jadi slogan tanpa arti wahai Ratuku,” keluh sang putri Uranus.
Hari ini aku serahkan timbangan ini padamu, karena aku merasakan hukum di Nusantara pada praktiknya berat sebelah, selalu bersisian dengan pemegang kuasa dan pemilik pundi-pundi usaha.
Hari ini aku kembalikan pedang ini padamu, karena hukum di Nusantara menjadi alat bagi sebagian kelompok untuk kelompok lainnya. Hukum hanya menjadi milik orang dan kelompok tertentu, hukum begitu mudah dipermainkan. Jika Sang Ratu ingin bukti, silakan kumpul seluruh aparat penegak hukum di negeri ini, suruh acungkan jari mereka yang tidak bermain dengan hukum. Wahai Sang Ratu, engkau akan mendapatkan sedikit dari mereka yang benar-benar menjalankan filosofi dewi keadilan, hanya sedikit.
Ratu Shima menghela nafas panjang, mendengar curahan hati Dewi Keadilan.
“Dewi, aku juga tidak yakin bangsaku saat ini mampu menjalankan kejujuran yang kuajarkan. Aku tidak yakin ketegasanku menghukum anakku bisa mereka jalankan. Jangankan jadi simbol keadilan, seandainya waktu diputar kembali dan aku harus menghukum semua orang, aku akan hukum mereka semua,” sabda Sang Ratu.
Jangan bersedih Dewi. Yakinlah, dalam keadaan apapun akan selalu lahir orang-orang baik. Akan selalu tumbuh orang-orang yang memegang teguh nurani, mereka akan terus menggenggam kebenaran dan keadilan, walau seperti bara api di tangan mereka.***