Gatal Kaki

mette-kostner-NrlHjNUqqgM-unsplash (2)

‘GATAL KAKI’. Demikian orang Palu melabeli orang-orang yang suka jalan kemana-mana, padahal tanpa tujuan yang penting-penting amat. Saat pandemi, orang dibatasi pergerakannya. Kalau boleh, di rumah saja. Jangan kemana-mana. Semua dilakukan dari rumah saja.

Namun itu hanya untuk orang kecil. Faktanya, para penggede yang duduk di kekuasaan, para pejabat, dan orang-orang berduit tetap bisa kesana kemari.
Bukan hanya penggede dan pejabat saja, malah terkadang keluarga, anak atau istrinya juga ikut-ikutan ‘gatal kaki’. Dengan beragam alasan, bapontar berkunjung dari satu daerah ke daerah yang lain. Alasannya klasik, studi tiru atau istilah dulu studi banding. Intinya, urusan dinas jadi judul setiap perjalanan.

Lucunya, di saat bersamaan anak-anak sekolah harus belajar dari rumah secara virtual. Banyak orang tua harus berhutang hanya sekadar untuk beli android agar anak-anaknya dapat belajar.

Bisa jadi para penggede, para pejabat tidak memikirkan itu. Padahal fasilitas yang mereka nikmati bertumpu pada punggung rapuh rakyat yang susah, bersumber dari retribusi dan pajak yang tak kendur di kala wabah menyembur.

Bukankah sebaiknya ‘jalan-jalan’ di tengah pandemi dihindari? Atau mungkin anggaran perjalanan dinas dipangkas, untuk kepentingan rakyat yang lebih luas?
Ah, kadang kekayaan dan kekuasaan memang tidak bikin orang puas. Sulit memang mencari sosok pejabat bermoral dan berperilaku seperti Umar bin Khattab yang mendahulukan rakyatnya kenyang, atau Umar bin Abdul Azis yang memisahkan urusan keluarga dan pemerintahan.

Jika penyebaran virus di masa pandemi, karena pergerakan orang, mungkin mereka yang ‘gatal kaki’ adalah biang yang perlu dituntut pertanggungjawaban.
Jangan rakyat kecil yang tidak pernah naik pesawat, tidak ke luar daerah – bahkan tidak bepergian, hanya bapontar di sekitaran rumah, menjadi kambing hitam merebaknya wabah.***

Pos terkait