MASIH ingat Politik Machiavellianisme? Paham politik ini bersumber pada pemikiran Niccolo Machiavelli diplomat di Republik Firenze, yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Machiavelli terkenal dengan bukunya Il Principe (Sang Penguasa) yang dipublikasikan pada 1532.
Dalam studi psikologi, Machiavellianisme menunjukkan sifat interpersonal pendusta, pengabaian moralitas secara sinis, kurangnya simpati, dan fokus pada kepentingan pribadi dan keuntungan personal. Penggunaan cara-cara yang tidak etis dapat dibenarkan demi mencapai tujuan yang diinginkan. Politik Machiavellianisme membenarkan apa yang dilarang menurut regulasi Pemilu. Politik uang merupakan wujud nyata politik Machiavellianisme.
Belajar dari kontestasi politik, baik Pemilu maupun Pilkada yang telah berlangsung selama ini, pelanggaran seperti politik uang, politik identitas, kampanye hitam, hoax, ujaran kebencian, pemilihan yang tidak sesuai aturan, profesionalitas penyelenggara pemilihan, netralitas ASN, TNI/Polri, kompetensi, kualitas dan kapabilitas peserta pemilihan, apatisme, dan pragmatisme politik masyarakat, serta gesekan antarpendukung, menjadi perbincangan.
Pemilu dan Pilkada sebagai suatu mekanisme demokrasi sesungguhnya dirancang untuk merubah konflik di masyarakat menjadi ajang politik yang kompetitif dan penuh integritas melalui pemilihan yang demokratis, bermartabat, dan berkualitas. Pemilihan merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa untuk berperan aktif, tidak hanya penyelenggara pemilihan, seperti KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, untuk membangun Pilkada 2020 berkualitas dan berintegritas.
Pilkada 2020 harus berjalan baik secara prosedural dan substansial. Pilkada 2020, baik secara prosedural jika prasyaratnya sudah terpenuhi. Pilkada 2020 berhasil secara substansial jika tujuannya tercapai. Prasyarat Pilkada menggariskan adanya kebebasan dalam memilih, terwujudnya partisipasi masyarakat, dan arena berkompetisi politik yang berintegritas.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan pelaksanaan Pilkada adalah terpilihnya pemimpin yang menjadi kehendak rakyat. Pemimpin amanah yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.
Dengan demikian, Pilkada hendaknya dilangsungkan dengan bermartabat dan berintegritas, dilaksanakan dengan prinsip-prinsip moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kandidat dalam Pilkada dan pendukungnya harus bersepakat dari awal, bersama-sama mewujudkan Pilkada tanpa politik uang, kecurangan, politik identitas, kampanye hitam, hoax, dan ujaran kebencian. Pilkada tidak boleh dikotori prinsip menang dengan menghalalkan segala cara, termasuk membuat janji-janji muluk pada masyarakat. Padahal kontestan dan timnya tahu, tidak mampu melaksanakannya. Itu namanya menipu.
Apapun bentuk aturannya, selama pendidikan politik tidak berjalan baik, kontestan masih menampakkan wajah Machiavellianisme, Pilkada berintegritas masih jauh dari angan.
Mewujudkan Pilkada berintegritas harus dimulai dari kesadaran bersama, bahwa politik adalah jalan mulia yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Jangan kotori Pilkada sebagai mekanisme politik dengan perbuatan yang membelakangi nilai-nilai kemanusiaan. Menang bermartabat, berani? ***