BERDASARKAN data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 70,3 persen pejabat penyelenggara negara makin kaya saat rakyat makin susah. Selama pandemi COVID-19, kekayaan pejabat malah melimpah ruah.
Terhitung mulai Presiden, Menteri, anggota DPR, DPD, DPRD, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota rata-rata mengalami kenaikan harta miliaran rupiah. Kenaikan itu tergambar dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Kenaikan harta diketahui dari mereka yang telah melapor. Lebih banyak pejabat yang tidak menyerahkan LHKPN ke KPK, walau mereka tahu itu kewajiban.
Data KPK menyebutkan 58 persen Menteri hartanya bertambah lebih dari Rp 1 miliar. 26 persen Menteri bertambah kurang dari Rp 1 miliar. DPR/DPD/MPR, sebanyak 45 persen hartanya bertambah lebih dari Rp 1 miliar, dan 33 persen bertambah kurang dari Rp 1 miliar.
DPRD Provinsi, sebanyak 23 persen bertambah lebih dari Rp 1 miliar. Dan sebanyak 50 persen bertambah kurang dari Rp 1 miliar. DPRD kabupaten/kota, hanya 11 persen yang hartanya bertambah lebih dari Rp 1 miliar, dan 47 persen yang hartanya bertambah kurang dari Rp 1 miliar.
Kekayaan Gubernur maupun Wakil Gubernur, sebanyak 30 persen hartanya bertambah lebih dari Rp 1 miliar, 40 persen hartanya bertambah kurang dari Rp 1 miliar. Sementara Bupati atau Wakil Bupati dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota, sebanyak 18 persen hartanya bertambah lebih dari Rp 1 miliar, 49 persen hartanya bertambah kurang dari Rp 1 miliar.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan rakyat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Dibandingkan Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.
Bertambahnya kekayaan seorang pejabat memang bukan dosa. Apalagi jika pertambahan itu bukan dari hasil korupsi atau tindak kejahatan lainnya. Bisa jadi penambahan itu karena apresiasi nilai aset, penambahan aset, penjualan aset, pelunasan pinjaman, dan adanya harta yang belum dilaporkan pada pelaporan sebelumnya.
Di negeri ini juga tidak ada larangan pejabat menjadi orang kaya. Terutama jika kekayaan itu diperoleh dari usaha atau bisnis di luar pekerjaanya sebagai pejabat negara. Namun rakyat patut mempertanyakan, usaha apa yang membuat pejabat meraup keuntungan besar ditengah kesibukannya mengurus negara? Atau memang mereka tidak sibuk mengurus rakyat dan negara? Mereka hanya duduk manis menerima pendapatan bulanan plus ‘sibuk’ mengelola usahanya?
Ini menjadi persoalan serius jika didudukkan pada tataran etika. Pejabat sejahtera ditengah rakyat menderita, menunjukkan sense of crisis pejabat sangat rendah. Jika pejabat masih dapat berusaha, di sisi lain rakyat malah kesulitan berusaha. Tak terhitung berapa banyak usaha rakyat yang gulung tikar saat pandemi COVID-19 menerjang.
Sudah sejahtera, kekayaan meningkat, tapi masih saja ada pejabat yang ngebet pengadaan kendaraan dinas dan rumah jabatan.
Rakyat Sulawesi Tengah, sepertinya belum lupa ada lembaga yang konon katanya mewakili rakyat beberapa waktu terakhir malah merencanakan pengadaan kendaraan dinas, saat wabah masih mengganas. Rakyat juga masih ingat ada pejabat yang menganggarkan rumah jabatan, saat rakyat dalam kesulitan.
Ini mungkin bukan dosa, tapi masalah etika!
Ini juga bukan persoalan iri. Rakyat hanya ingin para pejabat mengerti, pandemi telah menyulitkan ekonomi! MS