PALU, MERCUSUAR — Harian Umum Mercusuar masuk lima besar sebagai media massa cetak yang unggul dalam penggunaan Bahasa Indonesia di Palu. Penilaian dilakukan oleh Balai Bahasa Sulawesi Tengah belum lama ini.
“Kami baru menilai penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar koran-koran yang ada di Palu. Bocorannya sudah dapat diketahui dari Pak Deni Karsana. Ke depan kami akan melakukan semua Koran yang ada di Sulawesi Tengah,” kata Kepala Balai Bahasa Sulawesi Tengah, Drs. Adri, M.Pd ketika membuka pelatihan kebahasaan di aula kantor SAR Palu, Sabtu (7/7).
Peneliti Muda Balai Bahasa Sulteng, Deni Karsana, S.S, M.A. yang ditanya Mercusuar, membenarkan penjelasan Adri. Menurutnya, setelah beberapa media cetak yang ada di Palu diteliti, Harian Mercusuar termasuk koran yang sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Sekarang ada lima besar koran di Palu yang kami nilai sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, salah satunya Mercusuar. Dalam waktu dekat kami umumkan terbaik pertama dan seterusnya untuk diberi penghargaan,” kata Deni.
Ia belum mau menyebutkan empat koran lainnya yang masuk lima besar itu. Deni hanya mengatakan, minggu depan baru akan diumumkan sekaligus pemberian penghargaan dari Balai Bahasa Sulteng.
Pemimpin Redaksi Mercusuar, Tasman Banto yang juga hadir dalam acara itu mengatakan, masuk lima besar adalah suatu penghargaan yang merupakan kebanggaan bersama di jajaran redaksi. Selama ini, ujarnya, Mercusuar terus berikhtiar mencermati penggunaan Bahasa Indonesia dalam konten media yang dipublikasikan.
“Semoga menjadi penyemangat agar Mercusuar terus menjadi media yang membantu menyosialisasikan dan mengedukasi penggunaan bahasa yang baik, benar, santun, apik, dan cermat kepada masyarakat,” kata Tasman.
Ia juga mengatakan, penilaian itu merupakan wujud apresiasi teman-teman di Mercusuar terhadap media massa cetak yang berdedikasi menjadi pemulia Bahasa Indonesia dan mengedukasi publik untuk berbahasa dengan cermat, apik, dan santun.
Media massa cetak yang dinilai pada tahun ini semua yang ada di Kota Palu. Penilaian yang dilakukan Mei lalu itu melibatkan pakar bahasa. Aspek kebahasaan yang dinilai antara lain bentuk dan pilihan kata, ejaan, kalimat, penalaran, dan paragraf/wacana.
Penyumbang “Dosa”
Pelatihan kebahasaan selama sehari diselenggarakan Pengda Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulteng bekerja sama dengan Balai Bahasa Sulteng serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekitar 30 peserta wartawan dari TV dan media cetak.
Dua pembicara yang ditampilkan, Meity Taqdir Qodrati dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Koordinator Penyelaras Bahasa Indonesia Kompas TV, Sofyan Martanto.
Sementara Kepala Balai Bahasa Sulteng, Adri, selain membuka acara, juga memberi pengatar. Ia mengungkapkan adanya kesulitan menghimpun bahasa daerah untuk diajukan sebagai bahasa nasional.
Menurutnya, ikan yang dimasak dengan racikan bumbu yang popular disebut palumara, kini sudah menjadi bahasa nasional.
“Wartawan kadang menjadi penyumbang dosa terbanyak dalam jumlah penyalahgunaan kosa kata. Juga sering membuat kalimat-kalimat yang ambigu,” kata pula Meity secara bergurau.
Ia juga mencontohkan beberapa kalimat yang ambigu. Pencuri berhasil ditangkap polisi. Padahal sebaiknya ditulis Polisi berhasil menangkap pencuri. Mengedarkan narkoba, polisi tangkap dua remaja. Senaiknya ditulis Polisi tangkap dua remaja yang mengedarkan narkoba.
Meity menjelaskan pemilihan kata serapan dari bahasa asing di media harus memperhatikan aspek kecermatan. Dia mencontohkan, kata “pasca”, ditulis menggunakan huruf c sehingga dibacanya “pasca”, bukan paska (dalam contoh kata pasca-panen). Sebab, menurutnya, jika salah tulis dengan “paska” (dengan huruf k) bisa berarti lain. Dalam bahasa etnis tertentu, kata Meity, kata itu bisa berarti aktivitas seksual.
Menurutnya, media massa berperan penting dalam mengembangkan bahasa, dan berpengaruh positif terhadap perkembangan Bahasa Indonesia. Namun di sisi lain mengkhawatirkan, karena banyak kata di media massa yang tidak menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Sebab bisa bahasa media yang kacau, kasihan pembacanya,” katanya.
Meity juga menyinggung bahasa lisan pejabat yang kadang tidak sesuai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.TUR